Tenaga nuklir di IndonesiaRencana tenaga nuklir di Indonesia meliputi rencana pembangunan reaktor nuklir di negara ini untuk aktivitas damai. Lembaga legislatif yang mengatur tenaga nuklir, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), didirikan tahun 1998. Lembaga pemerintah yang mengurus tenaga atom adalah Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN).[1] SejarahPada tahun 1954, Indonesia mulai meneliti tenaga atom. Selain memproduksi listrik, teknologi nuklir juga dipakai untuk keperluan medis, pertanian, dan keamanan pangan. Rencana pengembangan atom ditangguhkan pada tahun 1997 karena ladang gas Natuna ditemukan. Rencana ini diangkat lagi pada tahun 2005.[2] Menurut Keputusan Presiden No. 5 Tahun 2006, Indonesia berencana memiliki empat PLTN pada tahun 2025. Total kapasitas minimalnya 4.000 MW, sekitar 1,96% kebutuhan listrik nasional yang diperkirakan tahun 2025 (200.000 hingga 350.000 MW).[3] Indonesia menyatakan program ini akan dikembangkan bersama International Atomic Energy Agency (IAEA).[butuh rujukan] Direktur Jenderal IAEA, Mohamed ElBaradei, diundang ke Indonesia pada Desember 2006. Protes menolak pembangkit listrik tenaga nuklir terjadi di Jawa Tengah pada Juni 2007[2] dan mulai meluas pada pertengahan tahun itu.[4] Pada Desember 2013, Indonesia berencana membangun reaktor tahun 2015.[5] Bulan Februari 2014, pemerintah membenarkan bahwa mereka akan membangun reaktor 30 MW beberapa tahun yang akan datang.[6] Namun, per Desember 2015, Indonesia belum menetapkan tenaga nuklir sebagai salah satu cara mencapai target kapasitas listrik 136,7 gigawatt tahun 2025 dan 430 gigawatt tahun 2050.[7] Bulan Agustus 2016, CNEC dan BATAN menyepakati pengembangan reaktor gas bersuhu tinggi (HTGR) di Indonesia.[8] Kerja sama internasionalIndonesia adalah anggota IAEA dan penandatangan perjanjian non-proliferasi. Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Coba NuklirPada 6 Desember 2011, DPR Republik Indonesia meratifikasi Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir (CTBT). Indonesia sepakat untuk tidak melakukan uji coba senjata nuklir.[9][10] PerjanjianPada tahun 2006, Indonesia menandatangani perjanjian kerja sama nuklir dengan beberapa negara, antara lain Korea Selatan, Rusia, Australia, dan Amerika Serikat. Australia menyatakan kesiapannya memasok uranium ke Indonesia untuk aktivitas damai. Perjanjian pembangunan reaktor nuklir terapung di Gorontalo dengan Rusia mandek. Sejak saat itu, Indonesia menyatakan ingin membangun PLTN berkapasitas tinggi di darat. Pada pertengahan 2014, BATAN dan Rosatom menyepakati kerja sama pengembangan PLTN pertama berkapasitas 30 MW.[11] Penilaian IAEAPada November 2009, International Atomic Energy Agency (IAEA) menilai Indonesia siap mengembangkan tenaga nuklir. Penilaiannya mencakup empat aspek kesiapan: sumber daya manusia, pemangku kepentingan, industri, dan regulasi. BATAN telah melakukan penelitian nuklir sejak 1980-an.[12] Badan Tenaga Nuklir NasionalBadan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) adalah lembaga eksekutif yang ditubuhkan dalam UU No. 10 Tahun 1997 tentang tenaga nuklir dan Perpres No. 46. Pada tahun 2013, BATAN ditetapkan sebagai lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) yang berada di bawah Presiden diwakili Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. BATAN bertugas menjalankan tugas-tugas pemerintah di bidang penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu dan teknologi nuklir sesuai yang diatur undang-undang. BATAN mengekspor materi fisi molibdenum-99 (Mo99) ke Malaysia, Filipina, dan Bangladesh dengan nilai total Rp 50 miliar ($5,5 juta) pada tahun 2011. Akibat jatuhnya produksi radioisotop global dan naiknya permintaan dari Tiongkok dan Jepang, BATAN akan menanam Rp 100 miliar ($11,1 juta) untuk meningkatkan kapasitas produksinya dari 40 Ci/minggu menjadi 900 Ci/minggu. Kapasitas penuh dapat dicapai pada tahun 2013, tetapi ekspor besar-besaran sudah bisa dilakukan pada akhir 2012.[13] Lokasi reaktorUntuk keperluan penelitian, reaktor-reaktor percobaan berikut ini sudah berdiri di Indonesia:
Menurut seorang pengamat, Indonesia mampu membangun satu reaktor nuklir di setiap provinsi karena materinya cukup dan kondisi geologinya memadai. Sebagai gudang timah, Pulau Bangka dan Belitung memiliki kandungan monazit di seluruh wilayahnya. Kurang lebih 183 ton sedimen monazit ditemukan di Gunung Muntai. Materi ini cukup untuk memasok PLTN yang rencananya dibangun di Bangka Barat dan Selatan.[14][perlu rujukan lengkap] BATAN terus mencari sumber uranium dan tempat yang cocok untuk mendirikan PLTN. Geologi Bangka Belitung relatif stabil dan letaknya dekat dengan dua daerah konsumen listrik terbesar, Pulau Jawa dan Sumatra. Penduduk setempat juga menerima kehadiran PLTN. Namun, BATAN masih mempertimbangkan Gunung Muria dan Serang meski sudah ditentang oleh penduduknya.[15] Pada Juli 2011, gubernur Bangka Belitung meminta pemerintah melanjutkan rencana PLTN di Muntok dan Permis antara tahun 2025 dan 2030. Kedua pembangkit akan menghasilkan dua gigawatt listrik dengan biaya Rp 70 triliun ($8,2 miliar) dan memasok 40 persen kebutuhan listrik di Sumatra, Jawa, dan Bali.[16] Ada beberapa daerah yang diusulkan sebagai lokasi PLTN:
Terkait bencana Fukushima, seorang dosen geodesi Indonesia mengatakan bahwa meski sebagian besar Jepang rawan gempa, Indonesia punya banyak daerah bebas gempa seperti Kalimantan, Bangka-Belitung, Jawa Utara, dan Papua.[19] UsulanSeorang dosen fisika Universitas Airlangga mengatakan bahwa kebutuhan listrik terus meningkat, sementara cadangan bahan bakar fosil terus berkurang; Indonesia sudah siap dan mampu mengembangkan PLTN sendiri. Para pakar nuklir sudah melakukan penelitian sejak tahun 1970-an.[20] BAPETEN membenarkan bahwa tujuh pengawas nuklir sedang menjalani misi IAEA di beberapa negara dan Indonesia siap mengoperasikan PLTN setelah kompleks pembangkitnya selesai dibangun.[21] Meski ada bencana nuklir Fukushima, Indonesia memutuskan untuk melanjutkan pengembangan PLTN karena negaranya sedang mengalami krisis listrik. Kepala pengembangan tenaga nuklir BATAN mengatakan bahwa kekhawatiran akan terjadinya bencana seperti Jepang tidak tepat sasaran. PLTN di Indonesia akan menggunakan teknologi yang lebih canggih daripada reaktor Fukushima yang usianya sangat tua.[22] Pembangkit modern dirancang untuk tetap beroperasi apabila terjadi padam listrik total seperti Fukushima berkat sistem pengaman pasif yang tidak membutuhkan listrik. Sumber daya alamIndonesia memiliki sedikitnya dua tambang uranium, Remaja-Hitam dan Rirang-Tanah Merah di Kalimantan Barat. Apabila tidak cukup untuk pembangkitan listrik, negara ini akan mengimpor uranium. BATAN memperkirakan negara ini memiliki 70.000 ton cadangan uranium (dari cadangan bayangan sampai cadangan pasti) dan 170.000 ton cadangan torium (bayangan). Sebagian besar kandungan uranium terdapat di Kalimantan Barat, sedangkan sisanya tersebar di Papua, Bangka Belitung, dan Sulawesi Barat. Sebagian besar kandungan torium terdapat di Bangka Belitung, sedangkan sisanya berada di Kalimantan Barat. Di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, kandungan uranium mencapai 100–1.500 ppm (part per million) dan kandungan torium mencapai 400–1.800 ppm. Kecamatan Singkep di Mamuju memiliki radiasi gamma tertinggi di Indonesia.[23] Untuk memperdagangkan uranium dan bahan radioaktif lainnya, DPR perlu mengamendemen UU No. 10/1997 tentang tenaga nuklir yang melarang eksploitasi sumber daya radioaktif secara komersial oleh investor dalam dan luar negeri. Saat ini, pemerintah hanya mengizinkan eksploitasi untuk keperluan penelitain.[24] KontroversiRencana nuklir Indonesia dikritik oleh Greenpeace, beberapa organisasi, dan kalangan individu. Pada Juni 2007, 4.200 orang berunjuk rasa di Jawa Tengah. mereka meminta pemerintah membatalkan rencana pembangunan PLTN di sana. Mereka mengkhawatirkan bahaya limbah nuklir dan kerentanan bencana alam karena aktivitas geologi membahayakan reaktor nuklir.[2] Lihat pula
Referensi
Sumber
Pranala luar |