Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

 

Tari Prajuritan

Tari Prajuritan.

Tari Prajuritan adalah kesenian tradisional berbentuk tarian massal yang pertama kali muncul di Desa Getasan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Tarian ini kemudian berkembang ke wilayah lain di Kabupaten Semarang dengan versi asal-usul dan tema yang berbeda-beda, antara lain Kecamatan Ambarawa, Kecamatan Banyubiru, Kecamatan Sumowono, dan Kota Ungaran. Tarian tersebut juga berkembang di Kota Salatiga, tepatnya di Desa Tegalrejo, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga. Unsur-unsur yang terkandung di dalam tarian itu meliputi busana, tata rias, gerakan, dan alat musik. Tarian tersebut memang termasuk ke dalam kategori tarian kelompok, tetapi jumlah penarinya terkadang disesuaikan dengan kebutuhan dan luasnya tempat pementasan. Tarian ini di sisi lain bukanlah tarian kreasi baru yang lebih dinamis dan memiliki banyak variasi sesuai dengan selera anak muda. Hal ini disebabkan karena gerakan dan iringannya cenderung monoton. Tarian rakyat itu juga jarang ditampilkan, sehingga masyarakat kurang mengapresiasinya, bahkan tidak sedikit yang belum mengetahuinya.

Prosesi tarian ini kental dengan nuansa peperangan, yang dapat dilihat dari pakaian penari dan gerakannya yang membawa senjata mengikuti iringan organ gamelan. Tarian tersebut dalam pelaksanaannya telah mengalami perubahan seiring perkembangan zaman dan berbagai faktor yang memengaruhinya. Salah satu faktor intrinsik perubahan dalam tarian ini dapat dilihat dari perubahan komposisi penari. Pada awal kemunculannya, tari ini ditarikan oleh penari laki-laki, tetapi saat ini juga ditarikan oleh penari wanita. Selain itu, pengaruh nyata terhadap penampilan tarian ini adalah lagu-lagu modern yang ditampilkan untuk mengiringinya. Adapun faktor ekstrinsik yang mendorong perubahan komposisi penari adalah alasan ekonomi dan pasar, bukan semata-mata alasan fungsional seni sebagai hiburan.

Asal-usul

Secara umum, tarian ini pertama kali muncul di Getasan. Tarian tersebut kemudian berkembang ke wilayah lain di Kabupaten Semarang dengan versi asal-usul yang berbeda-beda, yaitu Ambarawa, Banyubiru, Sumowono, dan Ungaran. Selain itu, tarian rakyat ini juga berkembang di Salatiga, tepatnya di Desa Tegalrejo.

Salatiga

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rohman, tarian ini pertama kali muncul di wilayah Tegalrejo pada 1959 dan dikenal dengan nama Jatilan, sedangkan wadah bagi kesenian tersebut diberi nama Lestari Budi Tamtama. Alasan utama tarian itu awalnya dikenal sebagai Jatilan karena sepintas mirip dengan kesenian Kuda Lumping (sering disebut Reog di Salatiga) karena menggunakan jaran kepang ketika menari. Kesenian Kuda Lumping digambarkan sebagai sebuah seni tarian yang dimainkan dengan menggunakan kuda tiruan dari anyaman bambu. Ritme tarian ini hampir sama dengan tari Prajuritan, yaitu merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran zaman dahulu berupa pasukan kavaleri berkuda. Namun demikian, masyarakat lebih mengenal Kuda Lumping sebagai sebuah tarian yang mengandung unsur magis. Gerakan dalam tari Prajuritan di sisi lain lebih dinamis dan ritmis, apabila dibandingkan dengan Kuda Lumping yang lebih agresif.

Ngatemin, sesepuh lain Desa Tegalrejo, mengatakan bahwa gerakan dalam tari Prajuritan dilakukan secara sadar, sedangkan gerakan dalam Kuda Lumping umumnya dilakukan karena penarinya kesurupan, sehingga mereka bertindak aneh dengan memakan pecahan gelas atau bola lampu. Lebih lanjut, Ngatemin sendiri tidak menyangkal jika penari Prajuritan terkadang juga mengalami kesurupan secara tidak disengaja karena kerasukan roh halus. Namun, berdasarkan observasi di lapangan diketahui jika tidak ada ritual khusus dalam pementasan tarian ini.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Suwarno, salah satu sesepuh Desa Tegalrejo, diketahui bahwa anggota Lestari Budi Tamtama saat itu masih meminjam peralatan jaran kepang milik Mbah Jomakowan dari Kabupaten Banyuwangi. Ketika Mbah Jomakowan meninggal, jaran kepang bernama Megamendung yang hanya diletakkan di tembok rumahnya itu akan dibuang oleh warga setempat ke Rawa Pening, tetapi tidak disangka barang itu kembali lagi ke tempat semula. Hal itulah yang membuat warga desa, khususnya penari Prajuritan, tidak berani lagi mencoba membuangnya. Peninggalan tersebut lantas dirawat sampai sekarang oleh pegiat tari karena mereka memercayai bahwa jiwa Mbah Jomakowan masih melekat di dalamnya, meskipun jasadnya sudah tidak ada lagi.

Kesenian Jatilan ini kemudian dikreasikan gerakannya dan disebut dengan Ndeng Thek. Nama ini diambil dari suara pedang dan tameng buatan dari bambu yang dipukul dan berbunyi “thek, thek…” Peralatan tersebut digunakan sebagai simbol dalam melakukan peperangan. Kesenian tersebut dalam perkembangannya akhirnya dinamakan dengan tari Prajuritan karena anggotanya semakin banyak dan dibagi menjadi dua jenis, yaitu kelompok anak-anak dan dewasa. Namun demikian, faktor kuat yang menyebabkan perubahan nama tersebut adalah untuk memperjelas perbedaannya dengan kesenian Kuda Lumping.

Tarian tersebut merupakan kesenian yang diwariskan secara turun-temurun dan harus dipentaskan bersama Tayuban ketika berlangsung tradisi Saparan. Masyarakat setempat memercayai bahwa kedua kesenian itu wajib ditampilkan dalam kegiatan tersebut, meskipun tidak harus tepat waktu saat tanggal perayaan Saparan. Mereka beranggapan jika keduanya tidak dipentaskan akan dianggap sebagai utang kepada arwah leluhur dan akan terjadi bencana yang menghampiri desa.

Tema dan gerakan dalam tari Prajuritan ditengarai diambil dari kisah Arya Panangsang (Arya Jipang) yang gugur setelah berperang dengan Sutawijaya (Panembahan Mataram ke-1). Arya Panangsang bukanlah nama yang asing di wilayah Jawa Tengah. Menurut sejumlah tradisi lisan, dia dianggap sosok sakti yang sulit untuk dibunuh. Cerita rakyat tersebut di sisi lain belum dapat dipastikan keasliannya dengan bukti empiris, tetapi keberadaannya dapat dipastikan menurut naskah kuno Serat Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma (1874).

Arya Panangsang adalah putra dari Raden Kikin (Surowiyoto). Dia mewarisi jabatan ayahnya menjadi Adipati Jipang, bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Demak yang berpusat di Blora. Beberapa sumber menyatakan wilayah Kadipaten Jipang meliputi Bojonegoro, Rembang, Lasem, sebagian Tuban, sebagian Semarang, dan sebagian Salatiga. Bagi masyarakat Salatiga, kedudukan Panangsang dianggap tinggi karena merupakan keturunan dari Raden Patah berdasarkan silsilahnya. Dia juga disebut sebagai murid kesayangan Sunan Kudus.

Pakar Kebudayaan Jawa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Djumarwan, menjelaskan tema dalam tari Prajuritan yang mengadopsi kisah Arya Panangsang merupakan upaya menghidupkan kembali budaya pesisir. Budaya ini berhadapan dengan budaya pedalaman yang saat itu berpusat di Mataram. Dosen Program Studi Ilmu Sejarah itu mengakui bahwa kisah leluhur yang diklaim itu memang ada sejarahnya. Mereka merasa memiliki identitas lokal sama, yang kemudian diwakilkan dengan tokoh Arya Panangsang. Sosok tersebut dan Jipang adalah memori kolektif yang berusaha dimunculkan oleh masyarakat setempat. Namun, dia menggarisbawahi narasi yang dibangun masyarakat tentang memori Kadipaten Jipang itu sesuai dengan tempat, tokoh, alur, latar, dan pesan moral dari sejarah yang tepat.

---

Tari Prajuritan hanya dipentaskan dalam acara tertentu, yaitu Saparan dan festival kesenian Kota Salatiga, tetapi kesenian ini tetap dilestarikan dan dikembangkan secara turun-temurun sampai saat ini. Kesenian tersebut dalam penyelenggaraan kegiatan Saparan memegang peranan penting sebagai salah satu bagian utama dari prosesi upacara ritual yang berhubungan dengan tanah, dalam hal ini adalah sawah yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Mereka berharap hasil bercocok tanamnya akan melimpah jika Tari Prajuritan dan Tayuban dipentaskan dalam Saparan.

Selain memegang peranan penting sebagai bagian dari tradisi Saparan, tarian tersebut juga digunakan sebagai hiburan masyarakat.

Tema

Salatiga

Tema yang digunakan dalam tari Prajuritan di Desa Tegalrejo adalah kisah Arya Panangsang (Arya Jipang) yang gugur melawan Sutawijaya (Panembahan Mataram ke-1). Hal inilah yang menyebabkan barisan dalam tarian juga mengikuti kisah tersebut, yaitu manggalayuda yang menggambarkan Sunan Kudus sebagai guru dari Arya Panangsang, wiratama yang menggambarkan pasukan berkuda Arya Panangsang, rimang yang menggambarkan pasukan berkuda Hadiwijaya, tamtama yang menggambarkan pasukan bertombak Sutawijaya, dan pekatik yang menggambarkan pesuruh.

Unsur

Busana dan tata rias

Manggalayuda.

Menurut Suyanti, busana dalam tarian ini telah mengalami perkembangan. Penari Prajuritan dahulu hanya memakai celana kain dan ngligo (tidak memakai baju). Busana yang dipakai oleh penari bagian prajurit saat ini terdiri dari celana, kain loreng, beskap, songkok, dan sampur, sedangkan penari bagian Manggalayuda (pemimpin perang atau pemimpin barisan) menggunakan celana, kain loreng, beskap, blangkon, dan keris. Tari tersebut dahulu diperankan oleh laki-laki maupun perempuan, tetapi sekarang hanya laki-laki saja. Hal inilah yang menyebabkan tata rias yang digunakan adalah riasan laki-laki.

Analisis yang dilakukan oleh Sujatmi turut mengungkapkan jika tata rias tarian ini telah mengalami perkembangan. Dahulu riasan yang digunakan masih menggunakan singwit (bubuk warna) untuk menghias wajah; langes (jelaga) untuk mempertebal kumis, cambang, dan alis; serta gincu untuk memerahkan bibir dan pipi. Namun, saat ini telah menggunakan bedak, pensil alis, lulur bedak, lipstik, dan kosmetik pemerah pipi. Novriawan menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan tata rias antara prajurit dan Manggalayuda. Bentuk alis kedua karakter tersebut dipertebal dan diberi bentuk agak runcing di bagian ujung dan atasnya, kelopak mata diberi perona, kumis dibentuk menyesuaikan bentuk bibir, dan pipi diberi pewarna untuk memberikan kesan cerah. Jazuli menambahkan jika busana dan tata rias itu menggambarkan para prajurit Jawa yang akan berperang dan melindungi pemimpinnya. Adapun makna yang terkandung di dalamnya meliputi kebersamaan, kekompakan, dan patriotisme.

Gerakan dan alat musik

Jedhor dan kendang dhodhog.
Bendhe.

Gerakan yang dilakukan dalam tari Prajuritan antara lain:

  • Lumaksana, bermakna bahwa manusia harus bertanggung jawab melaksanakan tugasnya dan selalu mengingat Tuhan Yang Maha Esa.
  • Merong megar, bermakna bahwa manusia harus selalu melihat berbagai sisi dalam menjalankan kewajibannya.
  • Garuda nglayang, bermakna bahwa tindakan apa pun yang dilakukan oleh manusia harus melihat tatanan negara. Gerakan ini diambil dari lambang Indonesia, yaitu burung garuda.
  • Nyongklang, bermakna manusia yang melakukan perjalanan dalam mengemban tugas.
  • Gedrug, bermakna kesadaran manusia atas kehidupan yang ada di muka bumi.
  • Sendal pancing, bermakna bahwa seseorang harus menghadapi berbagai persoalan dengan sabar dan tidak terburu-buru.
  • Lumbung, bermakna bahwa semua hasil pekerjaan agar digunakan dan disimpan dengan baik.

Septiani turut memperjelas jika tarian ini awalnya hanya berupa gerakan saja, tanpa menggunakan tombak, pedang, dan tameng yang terbuat dari kayu. Namun, peralatan tersebut saat ini telah dipakai oleh penari sebagai simbol perang, sedangkan Manggalayuda hanya membawa peluit sebagai penanda pergantian gerakan. Adapun alat musik yang dipakai untuk mengiringi tari Prajuritan antara lain:

  • Jedhor, yaitu beduk berukuran kecil yang terbuat dari kayu jati dan kedua sisinya ditutup menggunakan kulit kambing. Pemukulnya terbuat dari kayu jati yang dililit karet hitam di ujungnya. Ukuran diameternya + 25 sentimeter.
  • Kendang dhodhog, yaitu beduk berukuran lebih kecil dari jedor yang terbuat dari kayu jati. Salah satu sisinya ditutup menggunakan kulit kambing, sedangkan sisi yang lain dibirkan terbuka. Pemukulnya terbuat dari kayu jati yang dililit karet hitam di ujungnya. Ukuran diameternya + 12,5 sentimeter.
  • Bendhe, yaitu organ gamelan yang terbuat dari besi dan kuningan, sedangkan pemukulnya dari kayu jati yang dililit karet hitam. Bendhe terdiri dari jurusan (ukuran diameter + 20 sentimeter), keprah (ukuran diameter + 18 sentimeter), penerus (ukuran diameter + 18 sentimeter), dan kenthing (ukuran diameter + 15 sentimeter). Menurut Sujatmi, jedor dan kendang dhodhog dipukul hampir bersamaan, hanya berselang satu ketukan saja. Adapun jurusan dan keprak dipukul secara monoton, sedangkan penerus dan kenthing dipukul secara bergantian. Ketika akan berganti gerakan, digunakan peluit yang dibawa oleh Manggalayuda sebagai penanda.[1][2][3][4][5][6][7][8][9][10][11][12][13][14]

Nilai

Pada dasarnya, tarian ini merupakan visualisasi dari gerakan prajurit yang sedang berperang, yang kemudian dirangkai agar terlihat tegas dan energik, yaitu menusuk, menangkis, dan mengayunkan pedang. Nilai sosial dalam tari Prajuritan dapat dilihat ketika tarian ini harus dilakukan oleh banyak orang atau setidaknya sepuluh orang. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Desa Tegalrejo tidak dapat hidup seorang diri. Mereka memerlukan bantuan dari keluarga maupun tetangganya dalam berbagai aktivitas. Selain itu, salah satu gerakan di dalamnya adalah membuka tangan. Hal tersebut merupakan simbol kekeluargaan di antara masyarakat. Mereka harus selalu melihat berbagai sisi dalam menjalankan kewajibannya, termasuk masyarakat di sekitarnya.

Secara religius, tarian ini dilakukan ketika berlangsung tradisi Saparan dan merti desa sebagai ungkapan rasa syukur kepada para leluhur karena berkat pelindungan roh-roh tersebut masyarakat Desa Tegalrejo memperoleh hasil panen yang melimpah. Menurut Ngadimin selaku Ketua RW III, tujuan masyarakat menyelenggarakan tradisi Saparan dengan pertunjukan tari Prajuritan dan Tayuban pada dasarnya adalah untuk mencari ketenangan dengan memahami tatanan alam dan kehidupan yang harmonis. Kegiatan tersebut merupakan warisan luhur dan menjadi proses masyarakat untuk lebih menghayati kehidupan, serta mendekatkan diri dengan alam dan Tuhan.

Hambatan dan perubahan

Selain memegang peranan penting sebagai bagian dari tradisi Saparan, tari Prajuritan juga digunakan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat. Namun, di sisi lain generasi muda Desa Tegalrejo kurang antusias untuk berpartisipasi dalam kelompok kesenian ini. Mereka lebih memilih kesenian drumblek karena komposisi pemainnya mayoritas kalangan anak muda. Faktor lain yang menjadi hambatan bagi kesenian ini adalah kurangnya dukungan dari pemerintah daerah dalam memberikan bantuan finansial. Hal inilah yang menyebabkan tarian ini sempat tidak dipentaskan dalam kegiatan Saparan tahun 2016 lalu karena kurangnya biaya. Biaya tersebut sebenarnya dibutuhkan untuk pengadaan sarana pentas seperti tata rias, tata busana, dan pengadaan konsumsi bagi penari. Saat ini, pementasan tari Prajuritan bergantung kepada bantuan dana desa dan kas kelompok kesenian.

Faktor intrinsik perubahan dalam tari Prajuritan terdiri atas faktor yang tidak kasat mata, tetapi dapat dirasakan, yaitu keindahan dan makna dalam lagu yang mengiringi tarian sebagai pembawa misi. Faktor ini melekat dalam tari tersebut sebagai produk budaya hasil kreasi manusia. Pada awal kemunculannya, tari ini ditarikan oleh penari laki-laki, tetapi seiring perkembangannya juga ditarikan oleh penari wanita. Ketika dimainkan oleh penari laki-laki, keindahan tidak menjadi faktor utama yang menjadi perhatian dan daya tarik dari seni itu, tetapi nilai keprajuritan yang terfragmentasikan oleh penari laki-laki. Selain itu, pengaruh nyata terhadap penampilan tarian ini adalah lagu-lagu modern yang ditampilkan untuk mengiringinya. Pada awalnya, lagu-lagu yang ditampilkan adalah tembang-tembang Jawa yang bernuansa nasihat. Namun, setelah terjadi akulturasi antara musik Jawa dengan musik modern, kini lagu-lagu yang dilantunkan cenderung campuran Indonesia-Jawa.

Menurut observasi di lapangan, kesenian ini mulai ada campur tangan dari Pemerintah Kota Salatiga pada dekade 2000-an yang membuat adanya perubahan komposisi penari. Pemerintah setempat menggalakkan kesenian daerah seperti tari ini sebagai aset wisata dengan menampilkannya dalam festival kesenian. Adapun faktor ekstrinsik yang mendorong perubahan komposisi itu adalah alasan ekonomi dan pasar, bukan semata-mata alasan fungsional seni sebagai hiburan, yaitu mayoritas penonton laki-laki merasa lebih tertarik jika tarian ini diisi oleh penari wanita.

Novriawan mengungkap jika ritual dalam tari Prajuritan juga mengalami perubahan. Saat ini, para penari yang akan pentas tidak lagi melakukan ritual puasa seperti penari terdahulu. Ritual puasa sebenarnya dilakukan untuk membersihkan hati dan pikiran agar ketika pentas mereka mudah berkonsentrasi. Laku puasa di sisi lain merupakan ajaran kejawen yang erat kaitannya dengan tradisi masyarakat Jawa. Menurut ajaran kejawen, laku puasa yang dilakukan oleh penari merupakan bentuk tirakat dengan jalan menahan hawa nafsu keduniawian agar penari dapat mensakralkan tari Prajuritan itu sendiri.

Perubahan dalam tarian juga terdapat dalam kekhusyukan penari. Berdasarkan pengamatan di lapangan, para penari Prajuritan hanya sebatas menari dan terkesan kurang antusias dalam latihan menari, bahkan di antara mereka kurang mengerti tentang asal-usul tarian ini. Mereka baru akan terlihat serius ketika tarian ini dipentaskan dalam kegiatan Saparan dan festival kesenian. Berdasarkan hal inilah dapat dikemukakan bahwa kekhusyukan penari disebabkan oleh penonton, bukan karena adanya kesadaran dari penari itu sendiri.

Beberapa perubahan itu telah menggeser makna tari Prajuritan menjadi keindahan formal yang tidak kasat mata dan berfungsi hanya sebagai hiburan semata. Implikasi sosialnya adalah masyarakat tidak bisa lagi benar-benar mengerti arti perjuangan dari pertunjukan tarian tersebut, melainkan hanya menikmati keindahan formal. Namun, implikasi positifnya adalah penari wanita menjadi terberdayakan. Pada titik inilah muncul semangat kesetaraan gender dengan mengangkat derajat wanita di level yang seimbang dengan laki-laki dalam hal peran sosial. Dengan demikian, tari Prajuritan tidak semata-mata milik kaum laki-laki sebagai pelaku dan penikmat, tetapi wanita juga dapat mengambil peran di dalamnya.

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ Pribadi, Bowo (2 Mei 2018). "Hardiknas Kesempatan Lestarikan Budaya Asli Daerah". Republika. Diakses tanggal 12 Desember 2021. 
  2. ^ Agung, Ranin (17 Februari 2018). "Kenalkan Tari Prajuritan, Disdikbudpora Gandeng Puluhan Guru SD". Suara Merdeka. Diakses tanggal 12 Desember 2021. 
  3. ^ Mukti, Akbar Hari (28 Januari 2020). "Beri Dana Hibah Rp 9 Miliar, Pemkab Semarang Ingin 2 Kesenian Ini Tak Mati". Tribunnews.com. Diakses tanggal 12 Desember 2021. 
  4. ^ Dinas Komunikasi dan Informasi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (28 Januari 2020). "Bupati Tak Mau Tari Prajuritan Mati". Dinas Komunikasi dan Informasi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Diakses tanggal 12 Desember 2021. 
  5. ^ Wilander, Arimacs (24 Februari 2017). "Kirab Seni Merti Desa". Tirto. Diakses tanggal 12 Desember 2021. 
  6. ^ Gromico, Andrey (26 Oktober 2016). "Parade Tari Prajuritan". Tirto. Diakses tanggal 12 Desember 2021. 
  7. ^ Baskoro (27 Oktober 2016). "Parade Tarian Prajurit". Kabare. Diakses tanggal 12 Desember 2021. [pranala nonaktif permanen]
  8. ^ Putra, Aditya Pradana (9 November 2016). "Regenerasi Penari Prajuritan". Antara. Diakses tanggal 12 Desember 2021. 
  9. ^ Putra, Aditya Pradana (21 Juli 2017). "Tari Prajuritan". Antara. Diakses tanggal 12 Desember 2021. 
  10. ^ Putra, Aditya Pradana (2 Mei 2018). "Tari Kolosal Prajuritan Meriahkan Hardiknas". Antara. Diakses tanggal 12 Desember 2021. 
  11. ^ Putra, Aditya Pradana (6 Oktober 2018). "Kesenian Tari Prajuritan". Antara. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-12-12. Diakses tanggal 12 Desember 2021. 
  12. ^ Putri, Vanya Karunia Mulia (20 Januari 2021). Nailufar, Nibras Nada, ed. "3 Jenis Tari Berdasarkan Jumlah Penarinya". Kompas.com. Diakses tanggal 12 Desember 2021. 
  13. ^ Warisan Budaya Takbenda Indonesia (tanpa tanggal). "Tari Prajuritan". Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya. Diakses tanggal 12 Desember 2021. 
  14. ^ Warisan Budaya Takbenda Indonesia (tanpa tanggal). "Tari Prajuritan Kabupaten Semarang". Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya. Diakses tanggal 12 Desember 2021. 

Daftar pustaka

Buku

  • Olthof, W.L.; Sumarsono, H.R. (2009). Babad Tanah Jawi: Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. Yogyakarta: Narasi. ISBN 978-979-1680-47-9. 

Jurnal

Majalah

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya