Dr.Ir.Tan Sin Hok adalah Ahli Paleontologi asal Indonesia.Pantanellium squinaboli, Eucyrtis hanni, Hemicryptocapsa capita dan Cyrtocapsa grutterinki adalah beberapa nama species radiolaria yang dikenal di daratan Eropa dan Jepang. Aslinya, spesies itu dinamai pertama kali oleh Tan Sin Hok atas fosil renik radiolaria dari sampel batuan yang berasal dari Pulau Rote (Rotti), Nusa Tenggara Timur. Pada 1927 Tan Sin Hok mempublikasikan desertasinya yang berisi deskripsi disertai sketsa terhadap 143 species radiolaria dari Pulau Rote. Hasil karya Tan Sin Hok ini ikut memperkaya pengetahuan di bidang mikropaleontologi radiolaria. Walaupun namanya sudah dikenal dunia, namun siapa jatidirinya, tak banyak yang mengetahuinya. Cuplikan kisah hidupnya di bawah ini sebagian disarikan dari situs http://brieven-tan-schepers.nl.
Riwayat Hidup
Tan Sin Hok lahir di desa Cipadang, Cianjur, Jawa Barat pada 28 Maret 1902, sebagai anak bungsu dari pasangan Tan Kiat Tjay (1870-1910) dan Thio Hian Nio (1875-1948) yang menjalankan usaha penggilingan padi. Dua kakaknya adalah Tan Sin Ho (1898-1964) dan Tan Sin Houw (1900-1994). Sehari-hari di rumahnya, Tan Sin Hok berbicara bahasa Melayu yang sekarang menjadi Bahasa Indonesia dan bahasa Sunda seperti bahasa ibunya. Pada tahun 1907, pada usia 5 tahun, Tan Sin Hok masuk Sekolah Dasar (Europeesche Lagere School) di Cianjur. Sejak ayahnya meninggal dunia, ia beserta keluarganya diangkat oleh keluarga Tan Kiat Hon (1875-1924) kakak dari ayah Tan Sin Hok yang juga menjalankan usaha penggilingan padi di Cijoho, Cianjur. Selanjutnya, Tan Sin Hok mengikuti sekolah tata bahasa Koning Willem III di Batavia, sampai lulus pada 1919.
Kuliah di Delft
Pada akhir 1919, Tan Sin Hok dan Tan Sin Houw berangkat ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan, sedangkan Tan Sin Ho tetap di Cipadang untuk menjaga bisnis keluarga. Tan Sin Hok belajar pada Jurursan Teknik Pertambangan di Delft. Ia meraih gelar Doktor pada 5 Oktober 1927 berdasarkan disertasinya ”Over de samenstelling en het ontstaan van krijt-en mergelgesteenten van de Molukken” dengan promotor Profesor Dr. H. A. Brouwer (1886 – 1973). Setelah lulus dari Delft pada 1927, Tan Sin Hok sempat melakukan penelitian tentang foraminifera di Bonn. Sebelumnya pada tahun yang sama, yaitu pada 5 Juli 1927, R.W. Van Bemmelen, penulis buku “The Geology of Indonesia”, lulus dari Sekolah Delft juga dengan promotor yang sama. Bisa jadi Tan Sin Hok dan Van Bemmelen adalah teman kuliah di Delft.
Setelah 10 tahun belajar di Eropa, Tan Sin Hok kembali ke Pulau Jawa pada 8 Juni 1929 bersama isterinya, Eida Schepers (1908-1983), warganegara Belanda yang dinikahinya pada 16 April 1929. Pasangan ini dikaruniai tiga anak, yaitu Axel Tan Siang Tjoen (1932), Lisa Tan Hsi Chun (1935) dan Gijsbert Tan Bing Tjoen (1942). Tan Sin Hok tinggal di Bandung dan bekerja sebagai ahli geologi pada Jawatan Pertambangan milik Pemerintahan Kolonial Belanda (sekarang Badan Geologi) yang berlokasi di Jalan Diponegoro, Bandung.
Hasil penelitian Tan Sin hok yang dapat dilihat dalam kartu katalog di Perpustakaan Badan Geologi sebanyak 63 entri (laporan, makalah dan disertasi) yang ditulisnya sampai dengan tahun 1942. Entri tersebut menyangkut substansi tentang paleontologi dan sebagian lagi tentang geologi ekonomi yang merupakan hasil penelitian lapangan selama ia bekerja pada Jawatan Pertambangan di Bandung. Satu karyanya yang menjadikan Tan Sin Hok dikenal dunia adalah buku disertasi tentang mikropaleontologi radiolaria dari Pulau Rote. Buku ini perlu dijaga kelestariannya, misalnya dibuat versi digital dengan memindainya (scan) karena kertasnya mulai rapuh.
Selama tinggal di Bandung, beberapa kali keluarga Tan Sin Hok berpindah rumah. Salah satu alamat tempat tinggal yang didiami pada periode 1938-1943 adalah di Van Hoytemaweg (Jalan Sumur Bandung di Kota Bandung sekarang). Alamat di Jalan Sumur Bandung ini menjadi rumahnya yang terakhir, karena setelah itu mereka tinggal di kamp-kamp selama pendudukan Jepang atas wilayah kolonial Belanda dulu. Tan Sin Hok bahkan sempat ditahan di penjara Sukamiskin dan berpisah dari keluarganya yang tinggal berpindah-pindah dari satu kamp ke kamp yang lain, seperti Kamp Cihapit, Bandung dan Kamp Kramat di Batavia (Jakarta).
Dalam suatu kesempatan di bulan November 1945, Tan Sin Hok tinggal di rumah salah satu koleganya di Carel Fabritiuslaan (Jalan Haji Wasid, dekat Taman Panatayuda, Bandung sekarang). Masa itu adalah masa pascakemerdekaan Republik Indonesia. Dalam catatan sejarah ada disebutkan bahwa sejak berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia menyebar ke pelosok Indonesia, suasana revolusi menyapu seluruh negeri. Dalam euforia kemerdekaan saat itu, laskar-laskar pemuda dan laskarlaskar rakyat berdiri sendiri, berakibat pada koordinasi yang kacau. Keadaan ini dikenal sebagai masa “Bersiap” (pada periode Agustus 1945 – 1947). Dalam masa tak menentu inilah bangsa Eropa, India dan Tionghoa paling sering menjadi korban perampokan dan pembunuhan.
Di Bandung, pada 30 November 1945 terjadi gegap gempita dan pekik kemerdekaan oleh laskar-laskar rakyat. Segerombolan pemuda sambil meneriakkan yelyel
kemerdekaan memasuki rumah Tan Sin Hok. Puteri Tan Sin Hok, Lisa Tan yang ketika itu berumur 10 tahun menuliskan pengalamannya. Ayahnya terluka parah oleh serangan tembakan gerombolan itu. Ibunya pun terluka di bagian lengan kanan. Setelah dibawa ke Rumah Sakit Borromeus, Tan Sin Hok dinyatakan meninggal pada 1 Desember 1945. Dari cerita kenangan Lisa Tan, ada kesan bahwa Tan Sin Hok dimakamkan di taman di kompleks Rumah Sakit Borromeus.
Tan Sin Hok hanyalah anak desa yang lahir hingga masa remajanya di Cianjur, Jawa Barat. Tetapi hasil karya Tan Si Hok membuat mata dunia melihat Indonesia melalui fosil renik radiolaria yang digambar olehnya sendiri. Sepatutnya kita memberi penghormatan yang tinggi kepada Tan Sin Hok atas hasil karyanya itu.[1]
Referensi
Pranala luar
|
---|
Umum | |
---|
Perpustakaan nasional | |
---|
Basis data ilmiah | |
---|
Lain-lain | |
---|