Ri Seung Man (Korea: 이승만) (26 Maret 1875 – 19 Juli 1965) adalah seorang presiden pertama Korea Selatan. Karier kepresidenannya yang dimulai dari bulan Agustus 1948 sampai April 1960, dianggap kontroversial akibat sifat anti-komunis dan tangan besinya yang menyulut terjadinya Perang Korea. Syngman Rhee meninggal dalam pengasingan di Hawaii, setelah kariernya berakhir akibat protes masyarakat dalam pemilihan umum yang dianggap curang.
Masa kecil
Syngman Rhee dilahirkan di Provinsi Hwanghae dari ayah bernama Yi Gyeong-seon, seorang anggota keluarga bangsawan (Yangban).[2] Rhee adalah keturunan dari Pangeran Yangnyeong (Yi Je), yang merupakan anak sulung dari Raja Taejong.[3][4] Ia mengikuti pendidikan di Pai Chai Hak Dang namun segera menjadi aktif di Korea dalam perjuangan melawan penjajahan Jepang. Ia ditangkap di 1897 karena melakukan demonstrasi melawan kolonialisme Jepang, yang kemudian dilepaskan tahun 1904 dan pergi ke Amerika Serikat. Dia mendapat beberapa gelar (termasuk AB dari George Washington University dan gelar Ph.D dari Universitas Princeton) dan menjadi kebarat-baratan sehingga ia mulai menulis namanya dalam cara barat, dengan nama kecil di depan nama keluarga.
Karier kepresidenan
Pada 1910, dia kembali ke Korea, yang saat itu masih dalam masa kolonial Jepang. Aktivitas politiknya tak disukai militer Jepang dan ia pergi ke Tiongkok pada tahun 1912. Pada 1919, semua faksi utama pro-kemerdekaan membentuk Pemerintahan Sementara (Pemerintahan Provisional) di Shanghai. Rhee terpilih menjadi presiden, ia memimpin selama enam tahun, sampai tahun 1925 ketika dia didakwa oleh Majelis Pemerintahan Sementara karena melakukan penyalahgunaan otoritas.
Setelah Korea merdeka dari Jepang, Rhee kembali ke Seoul mendahului para pejuang kemerdekaan lain, sebab hanya ia yang paling dikenal dekat dengan Sekutu. Pada 1945, ia terpilih sebagai kepala pemerintah Korea Selatan.
Dalam masa kekuasaannya, secara diam-diam, Rhee melakukan kampanye untuk "menghapus Komunisme" yang sebenarnya adalah rencana untuk menyingkirkan semua potensi oposisi.
Rhee memenangkan kursi Majelis Pertama Korea Selatan pada 10 Mei 1948 oleh pemilihan parlemen setelah partai sayap kiri memboikot pemilu. Setelah terpilih sebagai Pembicara dari Majelis Konstituante pada 31 Mei, Rhee terpilih sebagai presiden pertama Korea Selatan, mengalahkan Kim Koo, Presiden terakhir dari Pemerintahan Sementara dengan hitungan 182-13 pada tanggal 20 Juli 1948. Perlu dicatat bahwa Kim Koo tidak menyadari pencalonannya sebagai presiden; nominasi ini adalah upaya untuk mendiskreditkannya yang merupakan nasionalis.
Pada tanggal 15 Agustus 1948, ia secara resmi mengambil alih kekuasaan militer Amerika Serikat dan kedaulatan de jure atas rakyat Korea Selatan dari Pemerintahan Provisional.
Sebagai presiden, Rhee dikenal memerintah dengan kekuasaan kediktatoran bahkan sebelum Perang Korea pada tahun 1950. Ia mememerintahkan tentara sekuritas internalnya (dikepalai tangan kanannya, Kim Chang-ryong) untuk menangkap dan menyiksa agen yang diduga komunis dari Korea Utara. Pemerintahannya juga pernah melakukan beberapa pembantaian, yang paling besar salah satunya adalah Pembantaian Pulau Jeju dikarenakan pemberontakan oleh golongan sayap kiri.
Rhee lebih jauh merusak reputasinya dengan memerintahkan warga kota Seoul untuk tetap tinggal di kota, sementara dia sendiri mengungsi ketika perang terjadi. Keputusannya memotong jembatan di Sungai Han menyebabkan ribuan masyarakat kota tidak bisa lolos dari serbuan pihak komunis. PBB dan Korea Selatan kembali berperang dan mendorong tentara Korea Utara menyingkir ke arah utara Sungai Yalu (lalu mundur ke sekitar DMZ karena Cina membantu Korea Utara melakukan serangan balasan). Sementara, Rhee mulai tidak disukai para pengikutnya karena menolak untuk menyetujui gencatan senjata dalam perang yang menyebabkan terbaginya Korea. Berharap untuk menjadi pemimpin Korea yang bersatu, dengan bantuan PBB, ia memveto setiap rencana perdamaian yang ternyata gagal untuk merangkul pemerintahan Korea Utara.
Ia juga memulai usaha anti-Cina dan sering menyatakan kekecewaannya pada AS yang enggan untuk berkonfrontasi dengan Cina.
Setelah Perang Korea dan akhir rezimnya, dia merumahkan janda permaisuri Ratu Yun dari Kaisar Sunjeong (dari Kekaisaran Korea) di Bangunan Suin, sebuah rumah kecil dan tidak pantas di Jeongneung, Seoul karena takut akan kekuasaan Ratu yang masih dihormati sebagian besar rakyat Korea, dan ia juga berusaha mengklaim bahwa ia masih berhubungan darah dengan keluarga kerajaan Yi.
Akhir jabatan
Pada 1960, Rhee kembali menduduki kursi presiden yang keempat dengan memenangkan 90% suara. Kemenangan besar ini terjadi setelah calon presiden dari partai oposisi utama, Cho Byeong-ok, tiba-tiba meninggal dunia sebelum Pilpres tanggal 15 Maret .
Namun Rhee memutuskan untuk menunjuk anak didiknya, Lee Gibung sebagai Wakil Presiden independen - bagian pemerintahan yang terpisah pada waktu itu.
Tetapi ketika Lee, yang bersaing dengan Chang Myon, mantan duta besarAmerika Serikat selama Perang Korea, memenangkan pemilihan wapres dengan suara yang terlalu besar, pihak oposisi mencurigai telah terjadinya kecurangan. Hal ini memicu kemarahan dari berbagai kalangan rakyat Korea. Massa melakukan demonstrasi untuk menuntut Rhee mundur pada tanggal 26 April 1960, tetapi mereka ditembaki oleh militer.
Pada hari yang sama, masyarakat dikejutkan dengan insiden pembunuhan sekeluarga Wapres terpilih Lee Gibung oleh putra keduanya (juga putra adopsi Rhee).
Pada tanggal 28 April 1960, DP-4 milik Central Intelligence AgencyAmerika Serikat - yang dioperasikan oleh Civil Air Transport - mengungsikan Rhee dari Korea setelah demonstran menduduki istana presiden, Blue House. Kemudian diungkapkan oleh Kim Yong Kap, Deputi Menteri Keuangan, bahwa pada masa rezimnya Rhee telah menggelapkan lebih dari $ 20 juta dana pemerintah. Mantan Presiden Rhee, istrinya Franziska Donner (berasal dari Austria), dan anak adopsinya tinggal dalam pengasingan di Honolulu, Hawaii.
Pada tanggal 19 Juli 1965, Rhee meninggal dunia di Hawaii akibat stroke. Jasadnya dikembalikan ke Korea dan dimakamkan di Pemakaman Nasional di Seoul pada tanggal 27 Juli tahun yang sama.
Warisan
Rezim Rhee dianggap sangat kontroversial. Secara umum, di kalangan konservatif menganggap Rhee sebagai pahlawan bangsa, sedangkan kaum liberal cenderung kritis terhadapnya.
Kediaman Rhee di Ihwajang, Seoul, saat ini digunakan sebagai museum memorial presiden, dan Woo-Nam Presidential Preservation Foundation juga didirikan untuk memberikan pengormatan baginya.