Suro Sardjono
Raden Suro Sardjono[a], juga dikenal dengan panggilan Petruk, (10 November 1910; meninggal tidak diketahui) adalah seorang guru dan politikus Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia merupakan pendiri sekaligus anggota Barisan Tani Indonesia (BTI). Ia pernah menjadi anggota Partai Sosialis (PS) dan Gerindo. Pada masa pendudukan Jepang, ia masuk dalam Hokokai. Sardjono lalu menjabat sebagai anggota DPR RIS (kelak DPR RI) mewakili BTI. Sardjono juga menjadi anggota Fraksi PKI di Dewan Konstituante. Kehidupan awalSardjono lahir di Kelurahan Pengawatrejo, Kabupaten Sleman (kini Banguntapan, Kabupaten Bantul), pada tanggal 10 November 1910. Dia terlahir dari kalangan priyayi dan menyandang gelar Raden.[1] Sardjono menempuh pendidikan di Sekolah Guru (Kweekschool) di Surakarta, dan setelah lulus pada tahun 1927, menjadi guru di Klaten hingga tahun 1930.[2] Selama masa penjajahan Belanda, Sardjono juga menjadi anggota Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).[3] Masa Revolusi NasionalPada tahun 1945, Sardjono, bersama dengan beberapa tokoh seperti Mochamad Tauchid, Wijono Surjokusumo, Djadi, Asmu, dan Sajoga, mendirikan BTI.[4] Sardjono ditunjuk sebagai Wakil Ketua I BTI berdasarkan hasil Konferensi Yogyakarta pada Oktober 1945.[5][b] Sebagai hasil dari Kongres BTI pertama di Jember yang diselenggarakan dari tanggal 29 Desember 1946 hingga 1 Januari 1947, Sardjono terpilih sebagai Ketua BTI dan merangkap sebagai Ketua Bagian Pemuda. Pada tahun 1946, Sardjono juga duduk sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Partai Sosialis sebagai pengganti Wijono Surjokusumo, yang saat itu diangkat menjadi Menteri Muda Dalam Negeri dalam Kabinet Sjahrir III.[6] Pada tanggal 24 Maret 1947, dia diangkat menjadi anggota Badan Pekerja KNIP.[7] Akibat terjadinya Peristiwa Madiun, Sardjono ditangkap pada tanggal 19 September 1948. Karena ia ditahan, kepemimpinan BTI diambil alih untuk sementara waktu oleh Mochamad Tauchid pada tanggal 21 September. Namun, karena Tauchid juga kemudian ditangkap, maka pada tanggal 13 Oktober kepemimpinan dipegang oleh Sadjarwo. Sardjono kemudian dibebaskan saat Belanda melancarkan Agresi Militer II. Di hari yang sama, Sadjarwo mengembalikan mandat kepemimpinan kepada Sardjono.[8] Sardjono kemudian membentuk sebuah dewan pengurus darurat. Sardjono dan Asmu bertugas di Yogyakarta, sedangkan Sadjarwo dan Susilo bertugas di luar kota. Sardjono kemudian tidak lagi menjabat sebagai ketua sebagai hasil dari rapat Dewan Pimpinan BTI pada tanggal 25 April 1949, dan menjabat sebagai Ketua Harian sejak tanggal 9 Januari 1950.[9] Pasca kemerdekaanPada masa Republik Indonesia Serikat, ia menjabat sebagai anggota DPR RIS. Sejak dihapuskannya RIS pada tanggal 17 Agustus 1950, ia menjabat sebagai anggota DPRS dan menjadi ketua Fraksi BTI di parlemen.[10][11][12] Sardjono berperan dalam penyelesaian Peristiwa Tanjung Morawa, di mana dia, bersama dengan Sidik Kertapati dari Sarekat Tani Indonesia (Sakti) dan Munaba dari Petani, mengajukan hak interpelasi kepada Menteri Dalam Negeri, Mohamad Roem, mengenai kebijakan agrarianya dan sikap "otokratis" dari Gubernur Sumatra Utara saat itu, Abdul Hakim Harahap. Sardjono juga tergabung dalam sebuah panitia peninjauan yang dibentuk oleh DPR, di mana dia bersikap kritis terhadap kebijakan agraria Roem dan sang Gubernur.[13] Pada tahun 1955, Sardjono ikut serta dalam pemilihan umum sebagai calon anggota DPR dan Dewan Konstituante dari Fraksi PKI. Ia berhasil terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante.[2][14] Sardjono menjabat kembali sebagai ketua BTI pada tahun 1954. Namun, setelah Kongres Kelima BTI yang diselenggarakan pada tanggal 5-12 September 1957, dia didepak dari posisinya dan hanya diberi jabatan simbolis sebagai Wakil Ketua III karena kedekatannya dengan Alimin. Adapun pucuk pimpinan BTI kini didominasi oleh kader-kader yang setia pada Aidit.[15] Meski demikian, Sardjono tetap bertahan di BTI. Sejak tanggal 25 Juni 1960, ia duduk di DPR-GR sebagai perwakilan dari Golongan Tani dan mewakili BTI.[16] Pasca Gerakan 30 SeptemberSetelah kegagalan Gerakan 30 September, pemerintah dan tentara melancarkan aksi pembersihan besar-besaran terhadap golongan komunis. Sardjono, bersama dengan anggota DPR-GR lain yang mewakili PKI dan semua organisasi yang terafiliasi dengannya, dibekukan keanggotaannya sejak tanggal 15 November 1965. Meski demikian, Sardjono baru secara resmi dinyatakan berhenti pada tanggal 1 April 1966.[16][17] Nasibnya kemudian tidak diketahui. CatatanReferensi
Daftar Pustaka
|