Muaranya adalah tempat bergabungnya dengan sungai Cijolang di desa Bingkeng.
Sungai Cibeet memiliki air sungai paling murni di Kabupaten Cilacap, karena berasal dari hutan tropis yang lebat dan belum berkembang.
Geografi
Sungai ini mengalir di wilayah tengah pulau Jawa yang beriklim hutan hujan tropis (kode: Af menurut klasifikasi iklim Köppen-Geiger).[2] Suhu rata-rata setahun sekitar 21 °C. Bulan terpanas adalah Oktober, dengan suhu rata-rata 22 °C, and terdingin Agustus, sekitar 20 °C.[3] Curah hujan rata-rata tahunan adalah 3618 mm. Bulan dengan curah hujan tertinggi adalah Desember, dengan rata-rata 541 mm, dan yang terendah September, rata-rata 45 mm.[4]
Tradisi
Sebuah jembatan gantung (nama lokal: sasak gayot) berada di atas aliaran Sungai Cibeet menghubungkan Dusun Nambo dan Dusun Aria di Desa Bingkeng, Kecamatan Dayeuhluhur, sejak tahun 1970. Jembatan tersebut panjangnya 50 meter dan lebarnya 1 meter, dengan pijakan terbuat dari anyaman bambu dan pegangannya digantung dengan kawat seling di sisi kiri dan kanan di kedua ujung jembatan. Jembatan gantung tersebut sangat vital gunanya bagi warga masyarakat RW 01 Dusun Nambo, yakni sebagai akses lalu lintas satu-satunya menuju pusat Desa Bingkeng dan jalur perekonomian masyarakat yang digunakan sehari-hari dalam menjual hasil bumi, sekaligus sebagai sarana interaksi warga ke pusat Desa Bingkeng.[5]
Di tepi sungai Cibeet juga terdapat makam sejumlah tokoh tradisional:[6]
Arya Sacanata atau Pangeran Salingsingan: dipusarakan di Dusun Nombo, Desa Bingkeng, yaitu di Kompleks Pemakaman Keramat Arya Desa Bingkeng; selalu diziarahi oleh para keturunan Panjalu dan pernah menjadi satu lokasi tempat pengambilan air suci untuk mencuci Pusaka Panjalu atau disebut Ritual Nyangku. Termasuk situs sejarah yang ikut terancam terendam karena adanya pembangunan Bendung Matenggeng.[6]
Raden Haji Alit Prawatasari, seorang pahlawan asal Cianjur yang juga keturunan Panjalu dan hidup sezaman dengan Arya Sacanata. Makamnya diduga di Keramat Tejakembang Desa Cijeruk.[6]
Tradisi budaya "Babarit kupat" ("sedekah ketupat") atau "babaritan" adalah sebuah acara ritual tahunan adat Suku Sunda yang dilaksanakan pada hari, bulan, dan tempat yang sama setiap tahun menjelang awal bulan maulud. Acara ini merupakan bentuk syukur atas kesejahteraan desa atas kecukupan berupa makanan dan minuman, selain memohon agar terbebas dari segala jenis bencana seperti gempa bumi, wabah penyakit, banjir, dan angin topan. Hampir seluruh warga desa di Kecamatan Dayeuhluhur melaksanakan tradisi itu, di mana warga berduyun-duyun membawa makanan dalam bentuk ketupat untuk digantungkan ke tiang yang sudah dipersiapkan oleh Kokolot Lembur atau sesepuh kampung, dan kemudian sesepuh itu memimpin ritual dan berdoa mohon keselamatan dan keberkahan, tidak hanya untuk semua warga desa setempat tapi juga untuk negara Indonesia. Kemudian semua gantungan ketupat ada yang dimakan di tempat tersebut, serta ada juga yang dibagikan kepada warga yang lewat jalan tersebut. Untuk daerah Desa Cijeruk, acara dipusatkan di jembatan Sungai Cibeet, sedangkan di Desa Kutaagung dilaksanakan di tapal batas desa dan di Desa Panulisan Barat di Sumanding Dusun Pendey.[7]
Sungai Cibeet memiliki seorang Juru kunci guna menjaga kerohaniannya. Dalam kepercayaan Dayeuhluhuran (agama Sunda), sungai ini sakral. Tercatat pada tahun 2014 kuncinya dipegang oleh Ceceng Rusmana.