Sulfolobus solfataricus adalah spesies dari arkeatermofilik. Sulfolobus solfataricus adalah spesies dari archaea termoasidofilik yang aerob, kemoorganotrof/heterotrof, atau autotrof. Sesuai seperti namanya, termoasidofil memiliki arti bahwa spesies ini dapat tumbuh pada suhu yang tinggi dan lingkungan yang asam. Umumnya S. solfataricus berbentuk bulat dan memiliki lobus. Spesies ini pertama kali ditemukan dan diisolasi pada tahun 1980 oleh Karl Setter dan Wolfram Zillig di sekitar kawah gunung berapi Solfatara, tepatnya pada sebuah lubang air asam panas beruap dengan suhu 95-110 °C.[1] Selain ditemukan pada kawah gunung berapi, ternyata spesies ini dapat pula ditemukan pada kawasan air panas. S. solfataricus dapat tumbuh secara optimum pada suhu 80 °C dan pH 2-4 dengan melakukan metabolisme sulfur untuk mendapatkan energi, tetapi pH pada sitoplasmanya dijaga sekitar 6,5. Gradien pH yang besar ini dimanfaatkan untuk menghasilkan energi melalui ATP sintase yang memanfaatkan pergerakan proton dan juga berguna untuk mendorong penyerapan zat terlarut anorganik dan organik termasuk gula dan peptida melalui sistem transportasi sekunder. Saat ini, S. solfataricus merupakan organisme dari Crenarchaeota yang sering kali dipakai secara luas untuk dipelajari mekanisme replikasi DNA, siklus sel, integrasi kromosom, transkripsi, pengolahan RNA, dan translasinya.[2] Berdasarkan hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh Sakai dan Kurosawa pada tahun 2018 terkait S. solfataricus dan S. shibatae, didapatkan hasil bahwa berdasarkan sekuens 16S rRNA antara S. solfataricus dengan S. shibatae, terdapat nilai similaritas yang tinggi yaitu 99,5%. Sedangkan nilai similaritas S. solfataricus dengan S. acidocaldarius adalah 91,8% dan nilai similaritas S. shibatae dengan S. acidocaldarius adalah 90,6%. Selain itu berdasarkan pemanfaatan gulanya, S. solfataricus dan S.shibatae sangat berbeda dari S. acidocaldarius. Oleh karena itu, dilakukan analisis 16S rRNA antara S. solfataricus dan S.shibatae dengan Saccharolobus caldissimus untuk melihat similaritasnya. Didapatkan hasil bahwa S. solfataricus dengan Saccharolobus caldissimus memiliki nilai similaritas 96,3% dan S. shibatae dengan Saccharolobus caldissimus memiliki nilai similaritas 96,1%. Berdasarkan hasil tersebut, maka S. solfataricus dan S. shibatae diusulkan untuk masuk ke dalam genus Saccharolobus dengan nama spesiesnya adalah Saccharolobus solfataricus dan Saccharolobus shibatae.[3]
Genom
S. solfataricus sangat menarik dipelajari dari segi molekuler, genetik, dan biokimianya karena memiliki kemampuan untuk hidup di lingkungan ekstrim karena memiliki protein yang stabil pada suhu tinggi, dimana pada umumnya protein akan terdenaturasi pada suhu tinggi. Selain itu, spesies ini mudah dikultivasi di laboratorium dan juga dapat melakukan pertukaran materi genetik melalui proses transformasi, transduksi, dan konjugasi. Secara lengkap, ukuran genom S. solfataricus adalah 2.992.245 bp yang mengkode 2.977 protein dan RNA yang berlebihan. Sepertiga protein yang dikodekan oleh S. solfataricus ternyata tidak memiliki homolog dalam genom lainnya. Dari protein yang dikodekan ini, 40% spesifik untuk Archaea, 12% dibagikan dengan bakteri, 2,3% dibagikan dengan eukariot, dan 33% dari protein ini hanya dikodekan secara eksklusif di Sulfolobus. Selain itu, Sulfolobus memiliki banyak ORF, dengan 743 ORF khusus dimiliki oleh S. solfataricus dan 1602 ORF mirip dengan Euryarchaeota dengan 193 ORFnya tidak memiliki kecocokan di luar Archaea.[2]
Small nucleolar RNAs (snoRNAs) yang dimiliki oleh eukariot ternyata juga dimiliki oleh S. solfataricus dan S. acidocaldarius yang berperan dalam modifikasi setelah transkripsi dan membuang intron dari rRNA di eukariot.[4] Genom dari Sulfolobus dicirikan dengan adanya pengulangan tandem (urutan pendek DNA yang diulang), insersi, dan repetisi elemen, mikroba ini memiliki keragaman yang tinggi karena adanya 200 elemen IS (insertion sequence) yang berbeda.
Reverse Girase Termofilik
Kestabilan dari DNA untai ganda terhadap denaturasi pada Archaea dan bakteri hipertermofil atau termofil ini dikarenakan adanya enzim termofil spesifik yaitu reverse gyrase. Sulfolobus memiliki dua gen yang masing-masing mengkodekan reverse gyrase yang merupakan DNA topoisomerase yang berfungsi untuk membentuk superkoil positif (lebih banyak putaran) pada DNA sirkuler.[5] Superkoil positif sangat penting untuk mencegah pembentukan kompleks terbuka. Reverse gyrase terdiri dari dua domain, yaitu sejenis helikase dan topoisomerase I.[6] Selain itu, pada tahun 1997, para peneliti menemukan sifat penting lainnya pada Sulfolobus, yaitu memiliki DNA topoisomerase tipe II yang disebut TopoVI, dengan subunit A-nya homolog dengan faktor rekombinasi meiosis (Spo11) yang berperan dalam inisiasi rekombinasi meiosis di semua eukariot.[7][8] Sehingga S. solfataricus memiliki tiga jenis topoisomerase tipe I ( TopA dan dua reverse gyrase), TopR1 dan TopR2, dan satu topoisomerase tipe II (TopoVI).[9]
Protein Pengikat DNA
Pada filum Crenarchaeota terdapat tiga jenis protein yang mengikat alur minor DNA seperti protein histon, yaitu Alba, Cren7, dan Sso7d yang dimodifikasi setelah proses translasi. Ketiga protein itu ditemukan pada beberapa galur Sulfolobus dan tidak ditemukan pada genom lain dan jumlahnya hanya 1-5% dari total protein yang memiliki fungsi struktural dan regulatori. Hal ini mirip seperti protein HMG-box pada manusia yang mempengaruhi genom untuk ekspresi, stabilitas, dan pada proses epigenetik.[10]S. solfataricus memiliki protein pengikat DNA Sso7d yang berperan dalam menstabilkan DNA untai ganda, melindungi DNA dari denaturasi oleh suhu tinggi, dan melakukan renaturasi pita DNA pada suhu diatas titik leleh.[11] Selain itu, komponen utama protein pengikat DNA pada Archaea adalah famili protein Sac10b yang dikenal sebagai Alba (Acetylation lowers binding affinity). Protein ini merupakan protein pengikat asam nukleat dimer yang kecil, sederhana, dan lestari pada kebanyakan genom Archaea. Keadaan asetilasi dari protein Alba dapat mempengaruhi akses promoter dan transkripsi secara in vitro, sedangkan keadaan metilasi dari protein Sso7d sangat dipengaruhi oleh suhu kultur[11][12].
Transfer DNA
Bila S. solfataricus dipaparkan pada agen perusak DNA seperti radiasi UV, bleomisin, atau mitomisin C, maka agregasi selular atau berkumpulnya sel-sel mikroba membentuk agregat akan diinduksi. Pada keadaan tidak terinduksi, S. solfataricus tidak terlihat memiliki flagella tetapi setelah dipaparkan UV, maka pada bagian yang terpaparkan ini akan terbentuk struktur seperti pili yang menyebar di seluruh permukaan. Hal ini disebabkan karena UV akan menginduksi operon ups (untuk pembentukan pili) sehingga terjadi overekspresi dari pre-pilin yaitu Ups-A/B yang menghasilkan filamen yang sangat panjang. Tetapi bila dipaparkan dengan agen stress secara fisik seperti perubahan pH atau perubahan suhu, maka tidak terjadi agregasi selular. Agregasi selular ini akan memediasi pertukaran marker kromosom dengan frekuensi tinggi sekitar tiga kali lipat dari yang tidak terpaparkan sinar UV. Ajon. et al berhipotesis bahwa proses transfer DNA yang diinduksi oleh radiasi UV dan perbaikan rekombinan homolog merupakan mekanisme yang penting untuk menjaga integritas kromosom. Respon ini mungkin merupakan bentuk interaksi seksual primitif yang mirip dengan transformasi pada bakteri yang telah dipelajari dengan baik dan juga terkait dengan transfer DNA antar sel untuk perbaikan rekombinan homolog pada DNA yang rusak.[13][14]
Metabolisme
S. solfataricus dapat hidup sebagai kemoorganotrof memakai oksigen dengan berbagai substrat kompleks seperti pepton, tripton, dan asam kasamino; berbagai gula seperti pati, sukrosa, laktosa, maltosa, rafinosa, D-glukosa, D-manosa, D-arabinosa, dan L-arabinosa. alkohol; serta senyawa aromatik seperti fenol. Dalam melakukan oksidasi glukosa, S. solfataricus memakai jalur Entner-Doudoroff yang sudah dimodifikasi untuk menghasilkan molekul piruvat yang dapat dimineralisasi seutuhnya pada siklus Krebs. Oksigen digunakan sebagai akseptor elektron pada bagian akhir rantai transport elektron. Selain memakai molekul organik, S. solfataricus dapat memakai hidrogen sulfida dan elemen sulfur sebagai donor elektron dan memfiksasi CO2 untuk siklus HP/HB dan menyebabkan spesies ini dapat hidup secara kemoautotrof.[15] Selain itu, dapat hidup secara anaerob dengan adanya FeCl3 dan ekstrak ragi, serta dapat tumbuh secara lambat dengan melakukan oksidasi hidrogen.[3]
Feredoksin
Feredoksin berperan sebagai pembawa elektron metabolik utama pada S. solfataricus yang tentunya berbeda dengan bakteri dan eukariot yang memakai NADH sebagai pembawa elektron utamanya. S. solfataricus memiliki sifat eukariotik yang kuat yang digabungkan dengan kemampuan spesifik archaea yang sangat unik. Hal ini didapatkan dari berbagai metode mekanisme DNA, siklus sel, dan organ transisinya.[16]
Ekologi
Habitat
S. solfataricus adalah archaea termofil yang tumbuh optimum pada area gunung berapi yang aktif dengan suhu yang tinggi dan pH yang sangat rendah, sehingga daerah gunung berapi, geyser, atau air panas merupakan tempat yang paling banyak diteliti terkait archaea ini.[17] Beberapa peneliti Indonesia juga telah menemukan keberadaan komunitas Sulfolobus pada Jawa Barat di daerah yang pHnya rendah dan adanya sulfur yang cukup banyak.[18]
Pengasaman Tanah
S. solfataricus dapat mengoksidasi sulfur untuk menghasilkan H+ yang mengakibatkan area di sekitar spesies ini menjadi asam secara perlahan-lahan. Semakin tinggi emisi dari polutan hasil aktivitas industri akan meningkatkan keasaman tanah dan juga mengurangi jumlah populasi bakteri heterotrof yang umumnya terlibat dalam dekomposisi yang penting untuk mendaur ulang materi organik dan kesuburan tanah.[19]
Bioteknologi
Saat ini, banyak sekali bidang aplikasi yang tertarik memakai S. solfataricus sebagai sumber enzim yang stabil pada suhu tinggi untuk penelitian dan diagnostik, industri makanan, tekstil dan industri pembersih, dan industri pulp dan kertas. Enzim ini memiliki diversitas katalitik yang tinggi, stabil pada pH dan suhu tinggi, menjadi pelarut organik, dan ketahanan yang kuat terhadap proteolisis. Selain itu, saat ini enzim testreaester lipid, membran vesikel dengan sifat antimikroba, komponen trehalosa, dan ꞵ-galaktooligosakarida sangat penting dalam aplikasinya.[20]
β-galaktosidase
Enzim ꞵ-galaktosidase yang termostabil (tahan pada suhu tinggi) yang diisolasi dari S. solfataricus strain MT-4, kemudian dipurifikasi dengan berbagai metode, contohnya kolom kromatografi penukar ion dan kromatografi afinitas serta hasil purifikasinya dianalisis fisikokimianya. Enzim ini umum digunakan untuk berbagai proses industri cairan yang mengandung laktosa.[21]
Protease
Saat ini, banyak sekali industri yang tertarik dengan protease yang stabil pada suhu tinggi yang dimiliki oleh S. solfataricus MT-4 yaitu aminopeptidase (mengkatalisis pemotongan asam amino dari N terminusnya) yang berasosiasi dengan chaperonin ATPase (enzim yang mengkatalisis dan membentuk ATP).[22] Selain itu, Sommaruga et al (2014) telah meningkatkan stabilitas dan jumlah karbopeptidase dari S. solfataricus MT4 dengan magnet nanopartikel yang menyebabkan enzim tidak dapat bergerak.[23]
Esterase/Lipase
Serine arylesterase merupakan enzim lipolitik ekstraseluler yang termostabil dan diisolasi dari S. solfataricus P1 untuk menghidrolisis organofosfat.[24]
Chaperonin
Pada semua sel, protein kejut panas (heat-shock)nya memiliki aktivitas ATPase yang dikenal sebagai chaperonin yang berperan dalam membentuk konformasi fungsional dari protein setelah dibentuk pada ribosom, setelah translokasi melewati membran organel, dan setelah kerusakan akibat lingkungan. Chaperonin Ssocpn (920 kDa) dari S. solfataricus mengandung ATP, K2+, dan Mg2+ dan tidak memerlukan protein tambahan untuk aktivitas totalnya, membantu pelipatan protein secara in vitro padahal memiliki spesifitas substrat yang rendah karena dapat aktif pada protein monomer dan oligomer, dan dapat bekerja dalam rentang suhu yang lebih luas.[25]
Liposom
Dikarenakan adanya material berupa lipid tetraeter, S. solfataricus memiliki membran yang tahan terhadap suhu tinggi yang ekstrim. Lipid pada archaea merupakan sumber liposom dengan stabilitas terhadap suhu tinggi, stabilitas terhadap pH ekstrim serta kekokohannya terhadap kebocoran sangat luar biasa. Sehingga diaplikasikan dalam pembuatan sistem memakai archaeosom atau liposom lipid eter untuk mengirimkan obat, vaksin, dan gen pada lokasi yang spesifik dalam tubuh.[26]
Referensi
Bacaan lebih lanjut
Fiorentino, Gabriella; Del Giudice, Immacolata; Petraccone, Luigi; Bartolucci, Simonetta; Del Vecchio, Pompea (June 2014). "Conformational stability and ligand binding properties of BldR, a member of the MarR family, from Sulfolobus solfataricus". Biochimica et Biophysica Acta (BBA) - Proteins and Proteomics. 1844 (6): 1167–1172. doi:10.1016/j.bbapap.2014.03.011.
Gamsjaeger, Roland; Kariawasam, Ruvini; Touma, Christine; Kwan, Anne; White, Malcolm; Cubeddu, Liza (June 8, 2013). "Backbone and side-chain 1H, 13C and 15N resonance assignments of the OB domain of the single stranded DNA binding protein from Sulfolobus solfataricus and chemical shift mapping of the DNA-binding interface". Biomolecular NMR.Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)
Wang, Jianjun; Zhu, Junge; Min, Cong; Wu, Sheng (May 13, 2014). "CBD binding domain fused gamma-lactamase from Sulfolobus solfataricus is an efficient catalyst for (-) gamma-lactam production". BMC Biotechnology. 14: Article No.: 40. doi:10.1186/1472-6750-14-40.