Sosiologi hukum
Sosiologi hukum (atau kajian sosio legal) sering digambarkan sebagai sub-disiplin sosiologi atau pendekatan interdisipliner dalam studi hukum.[1] Beberapa ahli melihat sosiologi hukum sebagai turunan bidang sosiologi,[2] namun ada juga yang menganggap ilmu ini sebagai bidang penelitian yang terperangkap di antara disiplin hukum dan sosiologi.[3] Beberapa ahli lain mengelompokkan bidang ini bukan sebagai sub-disiplin sosiologi atau cabang studi hukum; tetapi merupakan bagian studi penelitian mengenai posisinya dalam tradisi ilmu sosial yang lebih luas. Dengan demikian, bidang ini dapat digambarkan tanpa mengacu pada sosiologi arus utama sebagai "studi hukum empiris yang sistematis, berdasarkan teori, sebagai perangkat praktik sosial atau sebagai aspek atau bidang pengalaman sosial".[4] Sosiologi hukum telah digunakan untuk meletakkan hukum dan keadilan sebagai institusi fundamental dalam struktur dasar masyarakat yang menangani "kepentingan politik dan ekonomi, budaya dan tatanan normatif masyarakat, serta membangun dan memelihara kebergantungan yang resiprokal; namun membentuk dirinya sendiri sebagai sumber konsensus, kekerasan dan kontrol sosial".[5] Terlepas apakah sosiologi hukum didefinisikan sebagai sub-disiplin sosiologi; namun sebuah pendekatan dalam studi hukum, atau suatu bidang penelitian yang mandiri, harus tetap bergantung pada kaidah ilmiah seperti tradisi intelektual, metode dan teori sosiologi arus utama, yang berupa ilmu sosial dengan tingkat yang lebih rendah seperti antropologi sosial, ilmu politik, kebijakan sosial, kriminologi dan psikologi; dengan demikian, hal ini mencerminkan penggunaan teori sosial dan metode ilmiah sosial dalam mempelajari hukum, institusi hukum dan perilaku hukum.[6] Sosiologi hukum terdiri dari berbagai pendekatan studi hukum di masyarakat, yang secara empiris menguji dan merumuskan interaksi antara hukum, lembaga hukum, lembaga non-hukum dan faktor sosial.[7] Bidang penyelidikan sosio legal meliputi pengembangan sosial lembaga hukum, bentuk kontrol sosial, pengaturan hukum, interaksi antara budaya hukum, konstruksi sosial dari masalah hukum, profesi hukum, dan hubungan antara hukum serta perubahan sosial. Sosiologi hukum juga mendapat landasan yang mengacu pada penelitian yang dilakukan pada bidang lainnya seperti hukum komparatif, kajian hukum kritis, yurisprudensi, teori hukum, hukum dan ekonomi, serta hukum dan sastra. Objek kajian sosiologi hukum mencakup pergerakan historis hukum dan keadilan, serta konstruksi kontemporer yang tanpa henti, misalnya, di bidang yurisprudensi yang berfokus pada pertanyaan kelembagaan yang dikondisikan oleh situasi sosial-politik di wilayah interdisipliner seperti kriminologi, dengan analisis efisiensi ekonomi dan dampak sosial atas norma hukum.[8] Intelektual awalAkar sosiologi hukum dapat ditelusuri kembali dalam karya sosiolog dan ahli hukum pada abad sebelumnya. Hubungan antara hukum dan masyarakat secara sosiologis dieksplorasi dalam karya seminal Max Weber dan Émile Durkheim. Tulisan-tulisan mereka tentang sosiologi hukum klasik merupakan landasan bagi seluruh kajian sosiologi hukum saat ini.[9] Para pengkaji, terutama ahli hukum, menggunakan teori-teori sosial dan metode ilmiah untuk mengembangkan teori sosiologi hukum seperti yang dilakukan Leon Petrazycki, Eugen Ehrlich dan Georges Gurvitch. Bagi Max Weber, "hukum rasional" merupakan suatu jenis dominasi dalam masyarakat, yang disebabkan norma-norma abstrak.[10] Menurutnya, dalam memahami koherensi hukum, dapat dipertimbangkan mengenai otoritas hukum legal. Hukum yang koheren dipertimbangkan melalui prasyarat yang dibentuk akibat perkembangan politik dan birokrasi negara modern, dan dikembangkan secara paralel seiring pertumbuhan kapitalisme.[11] Pusat pengembangan hukum modern merupakan rasionalisasi hukum formal atas dasar prosedur umum yang telah diterapkan, yang setara dan adil bagi semua orang. Penerapan hukum rasional modern pada kaksus-kasus tertentu, dikodifikasikan dan bersifat impersonal. Secara umum, Pandangan Weber dapat digambarkan sebagai pendekatan hukum eksternal yang mengkaji karakteristik hukum secara empiris, karena bertentangan dengan perspektif internal ilmu hukum itu sendiri, juga bertentangan dengan pendekatan moral filsafat hukum.[12] Émile Durkheim menulis dalam The Division of Labour in Society bahwa bagi masyarakat kompleks, badan hukum perdata menaruh perhatian tinggi terutama pada bentuk restitusi dan kompensasi dengan mengorbankan hukum pidana dan sanksi pidana.[13] Dari waktu ke waktu, undang-undang telah mengalami transformasi dari bentuk hukum represif ke bentuk hukum restitutif. Hukum restitutif beroperasi dalam masyarakat di mana terdapat level tinggi dari variasi individu, dengan penekanan pada hak-hak dan tanggung jawab pribadi.[14] Bagi Durkheim, hukum merupakan indikator modus integrasi dalam masyarakat yang mekanik, di mana pada bagian yang sama, atau organis tersebut; dibedakan bagian-bagiannya yang terdapat dalam masyarakat industri. Durkheim juga berpendapat bahwa sosiologi hukum harus dikembangkan bersama dengan sosiologi moral; yaitu kajian pengembangan sistem nilai yang direfleksikan dalam undang-undang.[15]
Pendekatan sosiologi dalam mempelajari hukumSosiologi hukum modernSosiologi hukum mulai ditetapkan sebagai bidang studi akademis dan empiris setelah Perang Dunia Kedua.[17] Setelah Perang Dunia II, studi hukum tidak penting dalam sosiologi, walaupun beberapa sosiolog terkenal menulis tentang peran hukum di masyarakat. Pada karya Talcott Parsons, misalnya, hukum dipahami sebagai mekanisme kontrol sosial yang esensial.[18] Sebagai tanggapan terhadap kritik yang dikembangkan atas fungsionalisme, sehingga mulai muncul perspektif sosiologi hukum lainnya. Sosiolog kritis,[19] mengembangkan perspektif hukum sebagai instrumen kekuasaan. Sedangkan, ahli teori sosiologi hukum lainnya, seperti Philip Selznick misalnya, berpendapat bahwa hukum modern menjadi semakin responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan harus dilakukan pendekatan moral.[20] Pengkaji lainnya, terutama sosiolog Amerika Donald Black, mengembangkan teori hukum ilmiah yang tegas berdasarkan paradigma sosiologi murni. Teori lainnya adalah teori sistem autopoietik yang ditemukan oleh sosiolog Jerman Niklas Luhmann; dengan orientasi yang sama luasnya, tetapi berbeda. Teori ini menyajikan hukum atau "sistem hukum" sebagai salah satu dari sepuluh sistem fungsi (lihat diferensiasi fungsional) pada masyarakat.[21][22]
Filsuf sosial Jürgen Habermas tidak setuju dengan Luhmann dan berpendapat bahwa hukum dapat berfungsi lebih baik sebagai 'sistem' institusi dengan menunjukkan kepentingan keseharian masyarakat di 'dunia yang terberi' lebih dalam. Selain itu, teori sosiologi tentang hukum dan pengacara lainnya diajukan oleh Pierre Bourdieu dan pengikutnya, yang melihat hukum sebagai bidang sosial di mana aktor memperjuangkan 'modal budaya', 'modal simbolis' dan ekonomi, yang dengan demikian juga mengembangkan 'ranah' profesional reproduksi para pengacara.[24] Di beberapa negara benua Eropa penelitian empiris dalam sosiologi hukum berkembang luas dari tahun 1960-an hingga 197-0an. Di Polandia karya Adam Podgórecki dan rekan-rekannya (yang dipengaruhi oleh gagasan Petrazycki) juga patut diberi perhatian; sedangkan di Swedia, penelitian sosiologi hukum empiris, dipelopori oleh Per Stjernquist, dan di Norwegia oleh Vilhelm Aubert. Beberapa tahun terakhir, sejumlah besar teori telah muncul dalam sosiologi hukum sebagai akibat penyebaran teori sosiologi. Pemikiran yang berpengaruh di zaman ini diantaranya adalah karya Michel Foucault, Jürgen Habermas, pemikiran feminisme, pascamodernisme dan dekonstruksi, neo-Marxisme, serta behaviorisme. Berbagai pengaruh teoretis dalam sosiologi hukum juga menandai bidang ilmu hukum dan masyarakat yang lebih luas. Bidang ilmu hukum dan multi-disiplin sangat populer di masyarakat, sementara bidang khusus seperti disiplin sosiologi hukum setidaknya "lebih terorganisasi daripada sebelumnya, baik secara kelembagaan maupun secara profesional".[25] Lihat juga
Catatan kaki
Daftar pustaka
Pranala luar
|