Soeroadiningrat V
Raden Adipati Aria Soeroadiningrat V (lahir dengan nama Bagus Badrun, biasa dipanggil sebagai Kanjeng Sepuh (di Jombang) atau Kanjeng Jimat (di Sidayu); EYD: Suroadiningrat V; lahir di Sidayu, Hindia Belanda pada tahun 1850 - meninggal di Jombang, 20 April 1946 pada umur 96 tahun[1]) adalah Bupati Jombang pertama yang memerintah dari tahun 1910 hingga 1930. Ia juga Bupati Sidayu periode 1884-1910. Ia adalah putra dari Raden Adipati Aria Soeroadiningrat IV (Bupati Sidayu 1855-1884) dengan salah satu selirnya. Jabatannya sebagai bupati Jombang lalu digantikan oleh putranya Raden Adipati Aria Setjoadiningrat VIII. SilsilahIa adalah keturunan ke-15 dari Prabu Brawijaya V (Raja Majapahit terakhir). Menurut silsilah Soeroadiningrat IV yang merupakan Bupati (Regent) Sidayu 1855-1884. Raden Adipati Arya Soeroadiningrat IV merupakan putra dari Raden Museng atau Raden Adipati Arya Soeroadiningrat III (Bupati Sidayu 1816-1855). Raden Museng adalah keturunan Raden Anom dan Raden Ayu Suradilaga (Patih Panembahan Madura). Raden Anom adalah keturunan Tjakraningrat IV (1718-1745). Tjakraningrat IV adalah keturunan dari Raden Undakan atau Raden Tjakraningrat II (Panembahan Madura 1648-1707 dan Bupati/Wedana Bangwetan 1705-1707). Raden Undakan adalah putra dari Raden Prasena atau Raden Tjakraningrat I (Adipati Madura 1624-1628). Raden Prasena adalah putra dari Raden Kara (Pangeran Tengah Arosbaya, Bangkalan, 1592-1621). Raden Kara adalah putra Raden Pratanu (Pangeran Lemahluhur/Lemahduwur (Pangeran Atas) Arosbaya, Bangkalan 1531-1592). Raden Pratanu putra dari Ki Pragalba (Pangeran Palakaran, Bangkalan). Ki Pragalba adalah putra Ki Demung (Demang Palakaran, Kota-Anyar, Arosbaya, Bangkalan). Ki Demung adalah putra Nyi Ageng Buda. Nyi Ageng Buda, putri dari Aria Pratikel/Pabekel (Madekan, Sampang). Aria Pratikel putra Aria Menger (Madekan, Sampang). Aria Menger adalah putra Raden Lembu Peteng (Madekan, Sampang). Raden Lembu Peteng adalah putra Prabu Brawijaya V dan Kanjeng Ratu Handarawati (Putri Campa).[2][3] Berdasarkan silsilah ini, Raden Setjo memiliki hubungan darah dengan beberapa tokoh yang berasal dari Madura seperti Gubernur Jawa Timur Raden Panji Mohammad Noer (1967-1976).[2] Kehidupan awalMasa kecil Raden Adipati Arya Soeroadiningrat bernama Bagus Badrun. Dia merupakan putera dari salah satu selir R.A.A. Soeroadiningrat IV. Sebagai putera seorang Regent atau Adipati, maka Bagus Badrun harus menjalani proses pendadaran sebagai pemimpin. Bagus Badrun kecil lalu menimba ilmu agama di Pesantren Giri. Tidak cukup hanya ilmu agama, Bagus Badrun juga mendalami ilmu kanuragan atau beladiri di Perguruan Gilingwesi.[1] Menjadi BupatiBupati Sidayu dan Raden JamilunBagus Badrun diangkat oleh Pemerintah Belanda menggantikan ayahandanya R.A.A. Soeroadiningrat IV sebagai Regent atau Adipati di daerah Sidayu, Gresik pada kurun waktu 1884-1910, bergelar R.A.A. Soeroadiningrat V, sebelum menjabat kedudukan yang sama di wilayah Jombang pada periode berikutnya. Pengangkatannya sebagai Adipati Sidayu menimbulkan kecemburuan di kalangan saudaranya. Salah satu di antara yang kurang setuju Bagus Badrun menggantikan ayahandanya adalah saudara lain Ibu bernama Raden Jamilun. Kelak Raden Jamilun memposisikan diri sebagai oposan R.A.A. Soeroadiningrat V hingga menjadi Regent atau Adipati di Jombang. Berbeda dengan R.A.A. Soeroadiningrat yang berprinsip mengikuti arus air tapi jangan sampai terbawa arus, artinya mengikuti kemauan Belanda, tetapi tetap berjuang dan bekerja untuk rakyat. Bagi Raden Jamilun sikap moderat ala saudaranya itu sangat bertentangan dengan hati nurani. Maka Raden Jamilun memilih berjuang membela rakyat dengan cara dan keyakinannya sendiri. Ia akhirnya menjadi penyamun mencuri harta kaum kaya dan hasilnya dibagi-bagikan untuk rakyat kecil. Kejahatan maling Jamilun akhirnya terdengar juga oleh Pemerintah Belanda. Namun pihak Belanda tidak bisa berkutik, karena Raden Jamilun adalah saudara R.A.A. Soeroadiningrat yang pada waktu itu sangat disegani Belanda dan disayang rakyatnya. Sehingga sepak terjang Raden Jamilun terus berlanjut tanpa ada yang menghentikan. Meskipun tidak sedikit maling-maling kelas teri harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di landraad (pengadilan Hindia Belanda).[1] Awal mula Kabupaten Jombang dan menjadi bupatiSebelum masa kepemimpinan Kanjeng Sepuh, Jombang merupakan daerah afdeeling Karesidenan Surabaya dengan pusat pemerintahan Jombang. Namun sebelum masuk di bawah afdeeling Surabaya terlebih dahulu Jombang menjadi bagian afdeeling Mojokerto wilayah paling barat. Kemudian pada tahun 1881 Jombang dipisahkan menjadi afdeeling tersendiri. Sekitar tahun 1910 afdeeling resmi dipisahkan dan menjadi sebuah kabupaten baru dengan cakupan luas sekitar 920 km persegi. Sebagai daerah afdeeling baru Jombang dibagi menjadi dua kontrol afdeeling, yaitu kontrol afdeeling Jombang, meliputi distrik Jombang dan Ploso. Kontrol afdeeling kedua terletak di Mojoagung yang membawahi distrik Mojoagung dan Ngoro.[4] Beberapa pihak memang sangat mendukung pengangkatan Kanjeng Sepuh menjadi Bupati Jombang pertama. Salah satunya adalah Bupati Mojokerto ketiga Raden Adipati Arya Kramadjajaadinegara (dukungan yang diberikan karena latar belakang hubungan daerah yang dahulunya dalam satu afdeeling). R.A.A. Kramadjajaadinegara sendiri memiliki orang kepercayaan untuk memantau perkembangan Jombang bernama Imam Zahid, seorang penghulu di Sumobito. Bahkan Imam Zahid inilah yang mengambil Surat Keputusan pengangkatan (beselit) R.A.A. Soeroadiningrat V sebagai Bupati Jombang ke Batavia. Masa awal jabatan Raden Adipati Arya Soeroadiningrat V sebagai Bupati Jombang ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan Pendopo Kabupaten Jombang pada tanggal 22 Februari 1910 dan penanaman pohon beringin di halaman pendapa serta beringin di lokasi Ringin Conthong. Penanaman pohon beringin ini menurut simbolisme Jawa adalah sebagai lambang pengayoman seorang pemimpin kepada rakyat yang dipimpinnya. Upaya untuk mendekati Belanda digunakan Bupati Jombang pertama ini sebagai media penyambung. Sehingga memudahkan agenda tersembunyi dia untuk semaksimal mungkin memakmurkan rakyat. Dengan cara ini akhirnya rakyat tidak terbebani, baik pungutan pajak yang mencekik maupun kebijakan lain. Justru banyak kaum jelata menghormati dia karena mengerti kebutuhan rakyat. Atas jasa baik dia sebagai pemimpin dan disukai rakyatnya, maka Pemerintah Belanda memberikan bintang kehormatan Ridder Der Oranye Nassau atau bintang kehormatan sebagai tangan kanan Raja (orang kepercayaan Belanda). Salah satu acara pesta rakyat yang digelar rutin setiap tahun oleh Kanjeng Sepuh adalah pesta memperingati ulang tahun Ratu Juliana. Biasanya dilakukan di Pendopo Kabupaten dengan diwarnai arak-arakan massal para petani yang memamerkan hasil bumi mereka. Hasil-hasil bumi yang diarak keliling dengan menggunakan kendaraan dokar sepanjang jalan-jalan di Kota Jombang. Kemudian pada sesi akhir acara dilakukan penyerahan hadiah dari Pemerintah Belanda kepada pemenang yang menyajikan hasil bumi terbaik, terbanyak, dan terbesar. Hasil-hasil bumi itu berupa umbi-umbian seperti uwi, gembili, talas, padi dan palawija. Puncak acara peringatan ulang tahun Ratu Juliana dilakukan dengan menggelar tarian dansa ala Eropa dan pertunjukan karawitan. Di setiap kesempatan selalu digunakan Kanjeng Sepuh untuk memperluas jaringan sosial. Sering di sela-sela tugas dia sebagai Bupati, dia secara sengaja bergabung dengan orang-orang Belanda dan orang asing lainnya di sebuah komunitas yang bermarkas di selatan kantor pos sekarang yang dulu bernama community society. Atau kelompok tingkat tinggi zaman Belanda. Kegiatan community society ini antara lain olahraga bowling dan bilyar bersama di rumah bola (ballroom). Posisi rumah bola adalah kantor Telkom sekarang. Di situlah sering Kanjeng Sepuh mendapatkan perhatian lebih dari pejabat Pemerintah Belanda. Tidak mengherankan jika Dr. Van Der Plass selaku Residen Surabaya sangat menaruh hormat pada Kanjeng Sepuh. Karena Dr. Van Der Plass sering melakukan kunjungan ke kediaman Kanjeng Sepuh. Akhirnya beberapa pabrik-pabrik gula banyak didirikan di wilayah Kabupaten Jombang. Tidak kurang dari tujuh pabrik gula pernah berdiri di Kabupaten Jombang, antara lain; pabrik gula Tjoekir, Ceweng, Djombang Baru, Peterongan, Ploso, Sumobito, dan Mojoagung.[1] Sisi lainSebagai pemimpin lulusan pondok pesantren dan perguruan seni beladiri, R.A.A. Soeroadiningrat V memiliki bekal keilmuan yang cukup. Tulisan tangan dia dikenal sangat indah, terutama jika menggunakan huruf Arab Pego dan huruf Jawa. Namun sangat jelek jika memakai huruf latin. Hal ini diakui oleh Bapak Raden Panji Darmodi selaku cucu dia. Sosok R.A.A. Soeroadiningrat V juga dikenal sebagai seorang tokoh pluralis dan moderat. Bukti kepluralisan dia diwujudkan pada penghormatan terhadap keyakinan lain di luar Agama Islam yang dia anut. Bahkan di ruang kerja dia terdapat patung Budhis simbol Agama Buddha dan Batara Wisnu sebagai simbol Agama Hindu. Meskipun demikian R.A.A. Soeroadiningrat bukan penganut sinkretis agama. Mengenai kesaktian Kanjeng Sepuh atau R.A.A. Soeroadiningrat V suatu hari diceritakan bahwa Kanjeng Sepuh kerap menggelar tikar di Pendopo Kabupaten untuk pengobatan gratis. Dikatakan demikian karena pasien yang berobat biasanya tidak menyerahkan uang sebagai ongkos melainkan hasil bumi yang mereka miliki, seperti pisang, kelapa, dan beras satu takar. Tikar atau klasa dalam bahasa Jawa digunakan antrian pasien atau warga Jombang yang ingin berobat. Tiba-tiba ketika giliran salah satu pasien, Kanjeng Sepuh berpesan kepada anak si pasien agar memberikan ramuan daun Sembung kepada Ibunya sampai hari Rebo Wage. Kemudian setelah tiba hari Rebo Wage menurut pesan Kanjeng Sepuh, pasien bersangkutan meninggal dunia. Dan pada waktu yang telah diinformasikan tadi, ibu pasien tersebut meninggal dunia. Kanjeng Sepuh adalah figur Bupati yang sederhana. Kesan ini terekam pada keseharian dia yang menyukai laku prihatin. Pada setiap malam Jumat Legi dia selalu membakar dupa sebagai media kontemplasi. Dupa tersebut biasanya dibuat oleh Raden Ajeng Asiyah Airmuna (putri keduanya). Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat dupa dengan aroma khas dan berkelas diperoleh dari warisan turun-temurun, antara lain menggunakan kulit duku, kemenyan, dan ramuan-ramuan lainnya. Keteladanan hidup sederhana ini juga ditunjukkan dengan tidak bergaya hidup mewah, meskipun gaji Kanjeng Sepuh sebagai Adipati sebesar 1000 gulden setiap bulan memungkinkan untuk itu. Sebagai pembanding uang 15 gulden saja pada waktu itu bisa digunakan untuk membeli sebuah rumah mewah serta pekarangannya.[1] Masa PensiunMasa pensiun Kanjeng Sepuh sebagai Bupati di Jombang, terjadi Perang Dunia II. Ketika itu Jepang mulai masuk ke wilayah Indonesia setelah berhasil mematahkan dominasi Barat dengan mengebom pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat Pearl Harbor di Hawaii. Semula kehadiran bala tentara Jepang disambut dengan sukacita, tetapi setelah bangsa Indonesia tersadar bahwa tindakan Jepang lebih parah, bahkan lebih sadis dari Belanda, maka mulailah perlawanan di mana-mana. Tidak terkecuali di Jombang. Kedatangan Jepang ternyata menyulut penderitaan panjang rakyat Jombang. Salah satu bentuk kebiadaban gaya baru ala prajurit Jepang tersebut berupa penculikan gadis-gadis belia untuk digunakan sebagai budak seks tentara Jepang. Penculikan berakhir perkosaan massal itu yang kemudian terungkap sebagai jugun ianfu (wanita pemuas nafsu tentara Jepang). Untuk menghindari kebiadaban bala tentara Jepang, akhirnya Kanjeng Sepuh bersama beberapa cucu dia yang sudah beranjak remaja memutuskan untuk sementara mengungsi ke suatu Desa Gempollegundi (sekarang Kecamatan Gudo). Di desa itulah sekitar empat hari Kanjeng Sepuh ditolong Lurah dan warga setempat agar tidak diketahui tentara Jepang. Pengungsian ini terjadi setelah melakukan serangkaian diskusi antara Kanjeng Sepuh dan putranya R.A.A. Setjoadiningrat serta penasehat spiritual dia yang terkenal dengan sebutan Mbah Jimbrak, Lurah Gambang (Desa Plumbongambang, Kecamatan Gudo). Benar juga dugaan Kanjeng Sepuh, setelah empat hari mengungsi di Gempollegundi, Kanjeng Sepuh dan keluarga memutuskan kembali ke Ndalem Kasepuhan yang berada di Jalan Arjuna (sekarang Jalan dr. Sutomo, tepatnya lokasi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Jombang). Setiba di sana kondisi Kasepuhan sudah diacak-acak bala tentara Jepang. Kamar tidur Kanjeng Sepuh dan keluarga kusut masai bekas digunakan serdadu Jepang. Beberapa potong roti sisa prajurit Jepang tertinggal di meja kamar tidur dia. Beruntung para prajurit Jepang itu sudah meninggalkan kediaman Kanjeng Sepuh. Sehingga kehidupan keluarga Bupati Jombang pertama itu bisa normal kembali. Setelah jabatan Kanjeng Sepuh sebagai Bupati pertama Jombang diserahkan kepada putra dia Raden Adipati Arya Setjoadiningrat, maka mulailah masa pensiun dia. Untuk mengisi waktu di sela aktivitas pensiun, Kanjeng Sepuh sering melukis di kamar pribadinya.[1] KeluargaRaden Adipati Arya Soeroadiningrat meninggalkan seorang istri bernama Raden Ayu Maimunah Soeroadiningrat dan 4 orang putri-putra, yaitu Raden Ayu Badariyah, Raden Ayu Asiyah Airmuna, Raden Adipati Arya Sarwadji atau Raden Adipati Arya Setjoadiningrat VIII [1] dan Raden Ayu Yohanna Ratna Asmara. KematianKanjeng Sepuh murud kasidan jati atau meninggal dunia pada 20 April 1946, tepatnya pada bulan Suro, hari Jumat Pahing. Sebagai bentuk penghormatan terakhir sebelum jenazah dimakamkan di pemakaman keluarga Pulo Sampurno, sebanyak empat ulama pemimpin empat pondok pesantren besar di Kabupaten Jombang (Tebuireng, Bahrul Ulum Tambakberas, Mambaul Maarif Denanyar, dan Darul Ulum Peterongan[5]) melakukan sholat jenazah bagi almarhum.[1] Lihat pulaReferensi
|