Sindrom Ruminasi
Sindrom Ruminasi adalah sebuah sindrom atau kondisi dimana seseorang memuntahkan kembali secara alami makanan yang telah ditelan kemudian mengunyahnya kembali dan menelan kembali atau memuntahkannya.[1] Sindrom ini termasuk dalam gangguan fungsi pencernaan dan sering terjadi pada bayi atau anak-anak.[2] Sindrom ini pada umumnya terjadi pada anak-anak yang mengalami keterlambatan pertumbuhan atau gangguan neurologis.[3] SejarahKata "ruminasi" diambil dari istilah latin ruminationem atau ruminare yang memiliki arti "mengunyah makanan yang telah dimuntahkan".[4] Sindrom ini pertama kali disebutkan di tulisan Aristotle dan didokumentasikan secara klinis pada tahun 1618 oleh seorang ahli anatomi Italia bernama Fabricus ab Aquapendende yang menulis gejala-gejala dari pasiennya.[5][6] Salah satu kasus Sindrom Ruminasi paling awal terjadi pada Charles-Édouard Brown-Séquard. Ia melakukan eksperimen tentang respon asam lambung terhadap berbagai macam makanan menggunakan dirinya sendiri. Ia akan menelan sepon yang telah diikat dengan tali sebelumnya kemudian menariknya kembali untuk diteliti. Hal itu menyebabkannya menjadi terbiasa mengeluarkan makanannya kembali dan menderita Sindrom Ruminasi.[7] PenyebabBelum diketahui secara pasti apa penyebab dari sindrom ini. Namun diduga sindrom ini disebabkan oleh peningkatan tekanan perut. Sindrom ini sering terjadi pada bayi atau anak-anak yang memiliki gangguan pertumbuhan dan orang-orang yang memiliki gangguan kecemasan, depresi, atau gangguan psikologi lainnya.[1] Selain itu, terdapat faktor-faktor lain yang meningkatkan risiko terjadinya Sindrom Rumilasi, seperti memiliki penyakit akut dan pernah menjalani operasi besar.[8] Gejala
DiagnosaDiagnosa penyakit ini tidak perlu melalui tes tertentu dan dapat dilihat dari gejala-gejala yang dialami oleh pasien. Setidaknya pasien telah mengalami "pemuntahan kembali makanan" selama kurang lebih 2 bulan. Pemuntahan kembali tersebut biasanya terjadi tidak lama setelah makanan masuk. Pasien juga tidak mengalami "muntah-muntah" karena pemuntahan kembali makanan pada Sindrom Ruminasi terjadi tanpa kesulitan atau paksaan (terjadi secara alami). Pasien tidak mengidap penyakit refluks gastroesofagus dan tidak ada inflamasi pada proses anatomik, metabolisme atau neoplastik.[2] Penanganan medisTerapi perilakuTerapi perilaku untuk Sindrom Ruminasi berfokus pada mengubah kebiasaan mengeluarkan kembali makanan. Ada berbagai alternatif dan pendekatan medis yang dapat dilakukan. Cara yang paling mudah dan efektif adalah dengan latihan pernapasan diafragma, yaitu pencegahan pengeluaran kembali makanan dengan menarik napas dalam dan merelaksasikan diafragma karena pengeluaran kembali makanan tidak dapat terjadi saat diafragma rileks.[9] Usaha lainnya untuk pengobatan sindrom ini adalah mengubah posisi tubuh saat makan siang dan malam, menghilangkan gangguan saat makan, mengurangi stress, dan melakukan psikoterapi.[9] Penanganan dengan obatJika sindrom ini mempengaruhi kerongkongan, penghambat pompa proton seperti esomeprazol (Nexium) atau omeprazol (Prilosec) dapat diberikan. Obat-obatan ini dapat melindungi kerongkongan selama terapi perilaku dilakukan.[10] Selain itu, obat-obatan untuk merilekskan perut setelah makan juga dapat berguna bagi penderita Sindrom Ruminasi.[10] KomplikasiKomplikasi fisik
Komplikasi mental
EpidemiologiDiagram pasien pengidap Sindrom Ruminasi berdasarkan umur[11] Sindrom ruminasi dapat terjadi pada semua usia baik anak-anak, remaja, orang dewasa maupun orang tua. Sindrom ini juga dapat terjadi pada wanita maupun pria. Berdasarkan pengamatan disebutkan bahwa jumlah pasien bayi dan orang dewasa hampir sama. Yaitu 6-10% dari populasi untuk bayi dan 8-10% populasi untuk orang dewasa.[12] Untuk bayi, biasanya terjadi pada usia 3-12 bulan.[13] Belum diketahui apakah faktor keturunan mempengaruhi dalam terjadinya sindrom ini.[14] Namun, terdapat sebuah kasus dimana terdapat sebuah keluarga yang seluruh anggotanya menderita Sindrom Ruminasi.[15] Ruminasi pada binatangSindrom Ruminasi sangat lumrah terjadi pada binatang seperti sapi, kambing, dan jerapah. Meski disebut ruminasi karena mengunyah kembali makanan yang dimuntahkan, namun ruminasi pada binatang berbeda dengan Sindrom Ruminasi pada manusia. Pada binatang, ruminasi adalah hal biasa.[16] Binatang yang melakukan ruminasi dikenal sebagai "binatang memamah biak" atau ruminant.[14] Lihat jugaReferensi
Pranala luar
|