Shengnü
Shengnü (Hanzi: 剩女; Pinyin: shèngnǚ; terjemahan umum: "wanita sisa" atau "perempuan sisa") adalah sebuah istilah ejekan yang dipopulerkan oleh Federasi Wanita Seluruh Tiongkok tentang klasifikasi wanita yang masih belum menikah pada usia 27 tahun atau lebih.[1][2][3][4] Istilah tersebut banyak dipakai di Tiongkok, termasuk program dan pengarahan yang disponsori negara, selain juga dipakai untuk menyebut wanita di sepanjang Asia, India, dan Amerika Utara.[5][6] Istilah tersebut banyak dipakai di media umum dan telah menjadi subyek dari beberapa serial televisi, majalah dan artikel surat kabar, dan publikasi buku yang berfokus pada aspek baik dan buruk dari istilah tersebut dan budaya sekitarnya.[7] Xu Xiaomin dari The China Daily menyebut shengnü merupakan "sepasukan sosial yang diperhitungkan" sementara yang lainnya berpendapat bahwa istilah tersebut harus dianggap positif sebagai pengartian "wanita sukses".[8][9] Istilah slang, 3S atau 3S Women, yang artinya "single, seventies (1970s), and stuck" ("lajang, tujuh puluhan (1970an), dan tersangkut") juga dipakai untuk menggantikan shengnü.[9][10] Istilah setara untuk pria, guang gun (光棍) yang artinya cabang tunggal, dipakai untuk menyebut pria yang belum menikah dan belum bisa menambahkan 'cabang-cabang' pada pohon keluarga.[11] Secara bersamaan, shengnan (剩男) atau "pria sisa" juga dipakai.[9][12][13] Latar belakangKebijakan satu anak (Program Keluarga Berencana) dan aborsi selektif jenis kelamin di Tiongkok menyebabakan meningkatnya ketimpangan dalam keseimbangan gender di negara tersebut.[1][2] Sejak tahun 1979, saat kebijakan satu anak diperkenalkan, sekitar 20 juta laki-laki lahir melebihi perempuan, atau 120 laki-laki dari 100 kelahiran perempuan,[14][15] dan pada tahun 2020, Tiongkok diperkirakan memiliki 24 juta laki-laki melebihi perempuan.[16] Rata-rata global adalah 103 banding 107 perempuan.[17] Menurut The New York Times, Dewan Negara Republik Rakyat Tiongkok (Pemerintahan Rakyat Pusat) mengeluarkan sebuah "maklumat" pada tahun 2007 terkait Program Keluarga Berencana dan Populasi (kebijakan satu anak) untuk melayangkan ketidakseimbangan gender dan menyebutnya sebagai "ancaman stabilitas sosial" yang besar.[18] Dewan tersebut kemudian mengutip "kualitas populasi yang ditingkatkan (suzhi)" sebagai salah satu tujuan utamanya dan menghimpun Federasi Wanita Seluruh Tiongkok, sebuah badan kenegaraan yang didirikan pada tahun 1949 untuk "melindungi hak dan kepentingan wanita", untuk mempelajari dan menyelesaikan masalah ini.[18] Asal-usul istilah tersebut tak diketahui secara pasti, tetapi banyak sumber yang mengutipnya saat muncul pada tahun 2006.[19] Pada tahun 2011, China Daily mengabarkan bahwa Xu Wei, ketua penyunting Cosmopolitan Magazine China, mencanangkan istilah tersebut.[20] Istilah tersebut, shengnü, secara harfiah diterjemahkan menjadi "perempuan sisa" atau "wanita sisa".[15][21][22] Pada tahun 2007, Kementerian Pendidikan Republik Rakyat Tiongkok merilis sebuah pernyataan resmi yang mendefinisikan shengnü sebagai "wanita yang belum menikah di atas usia 27 tahun" dan menambahkannya pada lexicon nasional.[18] Kementerian tersebut meluaskan pengartiannya menjadi "gagal menemukan suami" karena "terlalu berekspekstasi tinggi untuk pasangan pernikahan" dalam pernyataan berikutnya.[23] Menurut beberapa sumber, pemerintah memandatkan Federasi Wanita Seluruh Tiongkok untuk menerbitkan serangkaian artikel yang menstigatisasikan wanita yang belum menikah yang berusia akhir dua puluhan tahun.[1][18][24] Pada Maret 2011, Federasi Wanita Seluruh Tiongkok mengeluarkan sebuah artikel kontroversial berjudul 'Wanita Sisa Tak Memperdulikan Simpati Kami' tidak lama setelah Hari Wanita Internasional.[18] Seorang pakar menyatakan, "Gadis-gadis cantik tak membutuhkan pendidikan untuk menikah dengan keluarga kaya dan berkuasa. Namun, gadis-gadis dengan penampilan rata-rata atau jelek akan menemukan kesulitan" dan "Gadis-gadis tersebut lebih bertumpu pada tingkat pendidikan untuk meningkatkan daya saing mereka, Tragedinya adalah, mereka tak menyadari bahwa saat wanita menua, mereka makin dan makin memburuk. Sehingga saat mereka meraih MA atau PhD, mereka menjadi tua — bagaikan mutiara-mutiara yang menguning."[1] Berasal dari setidaknya 15 artikel yang tersedia di situs webnya terkait subjek shengnü termasuk nasihat dan tips mak comblang, namun sekarang situs webnya telah dihapus.[1] TiongkokBudaya dan statistikAngka-angka Biro Statistik Nasional Republik Rakyat Tiongkok (NBS) dan sensus negara melaporkan sekitar 1 dari 5 wanita yang berusia antara 25-29 tahun masih belum menikah.[1] Sebaliknya, proporsi pria yang lebih menikah pada rata-rata usia tersebut berjumlah lebih tinggi, berkisar 1 dari 3.[5] Dalam sebuah Survei Pernikahan Nasional Tiongkok tahun 2010, mereka mengabarkan bahwa 9 dari 10 pria meyakini bahwa wanita harus menikah sebelum mereka berusia 27 tahun.[1] 7.4% wanita Tiongkok yang berusia antara 30-34 tahun belum menikah dan persentasenya jatuh menjadi 4.6% antara usia 35–39.[7] Dalam perbandingan dengan negara-negara tetangga lainnya dengan nilai-nilai tradisional yang sama, angka-angka tersebut membuat Tiongkok memiliki peringkat pernikahan perempuan tertinggi di dunia.[7] Di samping dikategorisasikan sebagai demografi "yang relatif langka", budaya sosial dan tradisi Tiongkok menempatkan masalah tersebut dalam sorotan sosial.[7] Sebuah kajian dari pasangan berumah tangga di Tiongkok menyatakan bahwa pria memutuskan untuk menikahi pasangan yang lebih rendah secara sosio-ekonomi.[5] "Terdapat sebuah opini bahwa pria-pria kualitas A akan menemukan wanita kualitas B, pria-pria kualitas B akan menemukan wanita kualitas C, dan pria kualitas C akan menemukan wanita kualitas D," kata Huang Yuanyuan.[1] "Masyarakat menyisakan wanita kualitas A dan pria kualitas D. Sehingga jika kamu menjadi wanita sisa, kamu adalah kualitas A."[1] Seorang demografer University of North Carolina yang mengkaji ketidakseimbangan gender di Tiongkok, Yong Cai, lebih lanjut menyatakan bahwa "pria di bawah masyarakat meninggalkan pasar pernikahan, dan susunan yang sama tersebut datang untuk membuat wanita berada di puncak masyarakat".[15] Tiongkok, dan beberapa negara Asia lainnya, berbagi sejarah panjang pandangan pernikahan konservatif dan patriakhal dan struktur keluarga meliputi pernikahan di usia muda dan hipergami.[5][23][25] Tekanan dari masyarakat dan keluarga telah menjadi sumber kritikan, permaluan, penyudutan sosial dan kecemasan sosial bagi beberapa wanita yang belum menikah.[5] Chen, wanita lain yang diwawancara oleh BBC, menyebut bahwa shengnü "takut bila teman-teman dan tetangga-tetangga mereka akan menganggapku tidak normal. Dan orangtuaku juga merasa mereka akan benar-benar kehilangan muka, saat teman-teman mereka semua memiliki cucu".[1] Sentimen serupa telah dialami wanita lainnya di Tiongkok, terutama di kalangan lulusan universitas. Sebuah laporan dari CNN mengutip survei 900 lulusan universitas perempuan di 17 universitas Tiongkok dimana sekitar 70 persen dari mereka yang disurvei berkata "kekhawatiran terbesar mereka adalah menjadi perempuan 3S".[26] Peningkatan jumlah wanita yang belum menikah di Tiongkok sering kali dikaitkan dengan pertumbuhan kelas menengah terdidik.[8] Wanita lebih bebas dan hidup mandiri dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.[8] Pada tahun 2013, Forbes mengabarkan bahwa, "11 dari 20 wanita berdikari terkaya di dunia adalah Tionghoa".[27] Selain itu, mereka menyatakan bahwa para CEO perempuan Tiongkok meliputi 19 persen dari wanita dalam pekerjaan manajemen membuatnya terbesar kedua di seluruh dunia setelah Thailand.[28] Yang lainnya menyatakan bahwa fenomena ini telah mengurangi niat para pria untuk mengencani wanita yang secara profesional lebih sukses ketimbang mereka, atau tak berniat untuk bekerja, atau keduanya.[23] Sebuah tren pertumbuhan cepat dalam hubungan di luar nikah telah menjadi topik umum dalam survei dan dikenal kalangan wanita di Tiongkok.[25] Pada 1989, 15% wanita Tiongkok menjalani hubungan di luar nikah bertentangan dengan tahun 2013 di mana antara 60-70% telah melakukannya.[25] Profesor Chinese Academy of Social Sciences Li menyatakan bahwa ini menunjukkan peningkatan dalam jenis-jenis hubungan di kalangan generasi baru di Tiongkok.[25] Sebuah gerakan di Tiongkok agar kata tersebut dicekal dari sebagian besar situs web pemerintahan, termasuk situs web Federasi Wanita Seluruh Tiongkok, secara marginal sukses.[2] Pemakaian kata tersebut diubah menjadi "wanita tua yang belum menikah", tetapi shengnü masih merebak dan menjadi gagasan umum.[2] Istilah tersebut juga dikecam oleh beberapa feminis dengan pembukaan klub-klub sosial shengnü.[5] Dalam sebuah wawancara dengan penyunting fashion Sandra Bao oleh Pulitzer Center on Crisis Reporting, Bao menyatakan bahwa "beberapa wanita lajang modern di Tiongkok menikmati kemerdekaan mereka dan merasa nyaman memegang hak pria, bahkan saat mereka beranjak tua." Ia kemudian menjelaskan, "Mereka tak ingin membuat kompromi karena usia atau tekanan sosial".[5] Antara 2008 dan 2012, sosiolog Sandy To, saat di University of Cambridge, memakai kajian 'metode teori menurun; di Tiongkok terkait topik tersebut.[22] Riset To berfokus pada "pilihan mitra rumah tangga" oleh wanita profesional Tiongkok dalam bentuk tipologi dari empat "strategi pilihan mitra" yang berbeda.[22] Temuan utama dari kajian tersebut menemukan bahwa kepercayaan masyarakat bahwa wanita lajang dan berpendidikan tinggi yang masih belum menikah, atau tak ingin mengambil peran tradisional dalam pernikahan, karena niat sendiri berseberangan dengan mereka yang umumnya berniat untuk menikah dan tantangan utama mereka ada;lah sikap patriarkhal tradisional.[22] Kajian tersebut juga menekankan bahwa di negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan, di mana wanita meraih pendidikan tinggi, yang secara bersamaan, rata-rata usia pernikahan di kalangan mereka berjumlah lebih tinggi.[29] People's Daily dari Tiongkok mengutip sebuah servei Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2012 yang menemukan 74 persen wanita di Britania Raya dan 70 persen wanita di Jepang adalah lajang antara usia 25 dan 29 tahun.[6] The China Daily menerbitkan sebuah artikel yang mengutip angka dari Data Pernikahan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2012 yang mengabarkan 38% wanita di Amerika Serikat, dan lebih dari 50% wanita di Inggris masih belum menikah pada usia 30an tahun.[7] MediaMedia Tiongkok telah sering memakai materi subyek tersebut dengan acara televisi, video viral, surat kabar dan artikel majalah, serta pundit-pundit yang sangat mengkritik wanita yang "menunggu seorang pria dengan rumah besar atau mobil mewah".[15] Serial komedi televisi Will You Marry Me and My Family, yang tayang perdana di CCTV-8, mengisahkan tentang konsep utama shengnü tentang sebuah keluarga yang mencari pasangan yang cocok bagi karakter utama yang telah berusia 30-an tahun.[30] Serial Old Women Should Get Married dan You Are the One (MediaCorp Channel 8) diakreditasikan dengan istilah-istilah yang disematkan seperti "ekonomi shengnü" dan juga mengirimkan subyek tersebut ke dalam pembiusan dan obsesi masyarakat.[7] If You Are the One (Jiangsu Satellite Television) adalah sebuah acara permainan Tiongkok populer, yang berdasarkan pada Taken Out, yang dikenal karena "obsesi nasional" terhadap shengnü.[4] Antara 2010-2013, acara tersebut menjadi acara permainan yang paling banyak ditonton di Tiongkok.[31] Dalam membalas sebuah video musik populer berjudul "No Car, No House" tentang para lajang Tiongkok berkerah biru, video musik lainnya yang berjudul "No House, No Car" dibuat oleh sekelompok wanita dan diunggah pada Hari Wanita Internasional.[7] Video tersebut ditonton lebih dari 1.5 juta kali pada dua hari pertama di situs video Tiongkok Youku.[7] Kepentingan komersial lainnya memberi kemajuan dari keadaan tersebut seperti peningkatan populeritas "pacar untuk undangan".[32] Konsep tersebut telah diangkat ke sebuah serial drama televisi populer berjudul Renting a Girlfriend for Home Reunion.[32] Topik tersebut juga telah menjadi subyek karya-karya sastra. Novel yang paling laris terjual karya pengarang Hong Kong Amy Cheung Hummingbirds Fly Backwards (三个A Cup的女人) mengisahkan penyudutan tiga wanita lajang yang mencapai usia 30 tahun.[33] Perpanjangan dan konsekuensiPara pakar lebih lanjut menteorikan tentang keterpanjangan istilah tersebut saat Komisi Keluarga Berencana dan Penduduk Nasional telah mengeluarkan kebijakan satu anak dalam rangka "kebijakan keluarga berencana yang saintifik dan semestinya (kebijakan satu anak)" di mana batasan anak ditingkatkan.[8][17] He Feng dalam The China Daily menekankan, "fenomena shengnü tidaklah seperti gerakan feminis di Barat, di mana wanita menuntut hak setara dalam pekerjaan dan menjunjung independensi."[4] Selain itu, perubahan tersebut telah menjadi "anakan" dan bahwa "mungkin berdekade-dekade kemudian, akan dipandang sebagai perjuangan sosial simbolik Tiongkok dan titik balik peran wanita dalam masyarakatnya."[4] Dalam sebuah artikel dari South China Morning Post, mereka menyatakan, "dengan tekanan memuncak dan harapan tinggi dari pemenuhan karier dan ambisi pribadi di rumah, bagi wanita seperti Xu menganggap pengemasan dan peninggalan hanya bertumbuh lebih kuat dengan waktu. Meskipun demikian, tanpa wanita sepertinya, daratan utama tidak hanya akan meninggalkan kebangkitan ekonomi, namun sebuah kolam yang lebih besar dari pria sisa yang tertekan."[34] Tingkat perceraian di Shanghai dan Beijing, dua pusat ekonomi paling berpenduduk di Tiongkok, makin meningkat sejak 2005 dan mencapai 30% pada 2012.[35] Ini adalah salah satu hal lain yang berkontribusi pada faktor-faktor seperti kencan maya dan mobilisasi orang-orang yang berkaitan dengan penekanan rata-rata usia pernikahan di Tiongkok menjadi usia 27 tahun,[35] ditingkatkan dari usia 20 tahun pada tahun 1950, menjadikannya menyamai tren pernikahan global.[35] Dalam budaya lainAmerika SerikatGrafik pada sampul Newsweek tahun 1986 dan menampilkan artikel yang berkata "wanita yang tak menikah pada usia 40 tahun memiliki keputusan yang bagus untuk dibunuh oleh seorang teroris ketimbang menemukan seorang suami".[1][36] Newsweek kemudian meminta maaf atas cerita tersebut dan pada tahun 2010 meluncurkan sebuah kajian yang menemukan 2 dari 3 wanita yang berusia 40 tahun dan lajang pada 1986 telah menikah sejak itu.[1][37] Cerita tersebut menyebabkan "arus anksietas" dan beberapa "skeptisisme" di kalangan wanita berpendidikan tinggi dan profesional di Amerika Serikat.[1][37] Artikel tersebut dikutip beberapa kali dalam film Hollywood tahun 1993 Sleepless in Seattle yang dibintangi oleh Tom Hanks dan Meg Ryan.[1][38] People's Daily dari Tiongkok menyatakan sebuah kajian Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang disebutkan pada masa sebelumnya, bahwa di Amerika Serikat pada 2012, hampir setengah dari seluruh wanita antara 25 dan 29 tahun adalah lajang.[6] Istilah bachelorette dipakai untuk menyebut wanita tak menikah manapun yang masih lajang.[39] Serial televisi realitas Amerika populer The Bachelorette menampilkan pertandingan pengusahawati sukses pada usia pertengahan atas akhir dua puluhan tahun dengan lajang laki-laki layak lainnya.[40] Mantan deputi walikota Los Angeles Joy Chen, seorang Tionghoa-Amerika, menulis sebuah buku berjudul Do Not Marry Before Age 30 (2012).[41] Buku Chen, sebuah karya budaya masyarakat berpenjualan terbaik, dikomisikan dan diterbitkan oleh pemerintah Tiongkok sebagai buku bantuan diri bagi wanita yang belum menikah.[41] Dalam wawancara sebelumnya dengan The China Daily, ia dikutip dengan berkata, "Kalian tak harus berupaya untuk menemukan seorang 'Mr Right Now' (Pria Baik Saat Ini), namun seorang 'Mr Right Forever' (Pria Baik Selamanya)".[7] Pada tahun yang sama, Chen diangkat menjadi "Wanita Tahun Ini" oleh Federasi Wanita Seluruh Tiongkok.[41] Negara-negara lainSingapura disebut-sebut melakukan hal yang serupa.[4] Pada 1983, Perdana Menteri Singapura saat itu, Lee Kuan Yew menuai 'Debat Pernikahan Besar' saat ia mendorong pria Singapura untuk memilih wanita berpendidikan tinggi sebagai istri.[42] Ia menyoroti bahwa sejumlah besar wanita lulusan belum menikah.[43] Beberapa bagian dari populasi, termasuk wanita lulusan, dirancang oleh pandangannya.[43] Selain itu, agensi mak comblang Social Development Unit (SDU)[44] dihimpun untuk mempromosikan sosialisasi di kalangan lulusan wanita dan pria.[45] Dalam Graduate Mothers Scheme (Skema Ibu-ibu Lulusan), Lee juga mengenalkan insentif-insentif seperti rebat pajak, penyekolahan, dan prioritas perubahan bagi ibu-ibu lulusan yang memiliki tiga atau empat anak, dalam pemulihan kampanye keluarga berencana 'Stop-at-Two' (Berhenti di Dua [Anak]) yang melampaui kesuksesan pada 1960an dan 1970an. Pada akhir 1990an, tingkat kelahiran jatuh menjadi lambat saat penerus Lee Goh Chok Tong menarik insektif-insektif tersebut kepada seluruh wanita yang berumah tangga, dan memberikan insektif-insiektif lebih, seperti skema 'baby bonus' (bayi tambahan).[45] Lee mereafirmasi posisi kontroversialnya dalam memoir pribadinya, From Third World to First, "beberapa wanita Singapura yang sangat terdidik tak menikah dan memiliki anak."[4] Dalam kajian PBB tahun 2012 yang dikutip oleh People's Daily dari Tiongkok mengabarkan bahwa di Britania Raya 74 persen dan di Jepang 70 persen dari seluruh wanita antara 25 dan 29 tahun adalah lajang.[6] Sebuah fitur serupa dalam People's Daily berfokus pada tanggapan terhadap konsep shengnü dari para warganet di luar Tiongkok, terutama di Asia, secara khusus Korea, Jepang, dan India.[6] Seorang warganet Jepang menyatakan bahwa pada 1980an, istilah "kue Natal" umum dipakai untuk menyebut wanita yang belum menikah dan berada di luar rata-rata usia wanita menikah nasional.[6] Rujuan sebenarnya kepada kue Natal adalah pernyataan, "siapa yang ingin kue Natal setelah 25 Desember".[6] Kontributor lainnya menulis, "kelas wanita usia 27+ independen berpendidikan tinggi yang memilih untuk menjalani kehidupan yang lebih bebas dan memakai bakat/keterampilan mereka untuk pemakaian baik dalam masyarakat" juga terjadi di India.[6] "Orang harus membuat pilihan mereka sendiri dan harus singkatnya menolak yang label-label lain dan mewujudkan kebahagiaan," katanya lebih lanjut.[6] Selain itu, bagi pria di Jepang, istilah pria herbivora dipakai untuk menyebut pria yang tak berniat untuk menikah atau menemukan pacar.[46][47] The China Daily mengeluarkan sebuah pertanyaan, "Apakah 'wanita sisa' adalah fenomena khas Tiongkok?" pada kolom opini mereka.[48] Para pembaca mengutip pengalaman-pengalaman mereka sendiri yang secara universal menyatakan bahwa mereka juga merasakan tekanan masyarakat dan keluarga pada usia 30an dan 40an tahun untuk menikah.[48] Yong Cai yang mengkaji ketidakseimbangan gender Tiongkok di University of North Carolina menyatakan, "Fenomena shengnü mirip dengan tren-tren yang kami lihat di seluruh dunia, di negara-negara yang terbentang dari Amerika Serikat sampai Jepang dimana pendidikan tinggi dan peningkatan pekerjaan memberikan wanita otonomi lebih".[15] Cai mengutip kajian-kajian yang menunjukkan bahwa wanita sekarang mematahkan tradisi "mandat perkawinan" untuk memiliki sedikit anak atau menikah pada usia berikutnya.[15] Istilah serupa lainnya yang masih dipakai pada zaman modern di negara-negara dan budaya-budaya lain yang menunjukkan konsep tersebut telah ada semenjak abad ke-16. Istilah spinster (perawan tua) dipakai untuk menyebut wanita lajang atau belum menikah dari usia pernikahan.[49] Ini terjadi sampai 2004 saat Civil Partnership Act mengganti kata spinster dengan "single" (lajang) dalam bagian sejarah hubungan sertifikasi pernikahan di Britania Raya.[50] Kemudian, pada puncak Revolusi Industri, istilah surplus women/wanita surplus dipakai untuk menyebut keberadaan wanita yang belum menikah di Britania.[51] Catherinette adalah sebuah label Prancis tradisional bagi wanita berusia 25 tahun atau lebih yang masih belum menikah dalam Perayaan Santa Katarina dari Aleksandria pada 25 November.[52] Idiom Prancis, "untuk menata rambut St. Katarina," yang artinya "untuk mempertahankan seorang pelayan tua" juga dikaitkan dengan tradisi ini.[52] Referensi
Bacaan lanjutan
|