Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Seri Rambai

5°25′16″N 100°20′37″E / 5.421022°N 100.343677°E / 5.421022; 100.343677

Meriam Seri Rambai di Benteng Cornwallis, George Town, Pulau Pinang, Malaysia.

Seri Rambai adalah sebuah meriam Belanda abad ke-17 yang kini berada di Benteng Cornwallis di George Town, sebuah Situs Warisan Dunia UNESCO dan ibu kota negara bagian Pulau Pinang, Malaysia. Meriam tersebut merupakan meriam perunggu terbesar di Malaysia, diperbincangkan dalam berbagai legenda dan ramalan maupun sebagai simbol kesuburan.

Meriam tersebut didatangkan ke kawasan Selat Malaka pada awal 1600-an, saat Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) mempersembahkannya kepada Sultan Johor demi mendapatkan konsesi dagang. Pada tahun 1613, Kesultanan Aceh menyerang dan menghancurkan Johor, menawan Sultannya serta membawa pulang Seri Rambai ke Aceh. Menjelang akhir abad ke-18, meriam tersebut dikirim Aceh ke Selangor dan ditempatkan di sebelah salah satu benteng dekat kota tersebut. Pada 1871, pemerintah kolonial Britania (Inggris) menyerang Selangor sebagai balasan atas serangan bajak laut. Britania membakar kota tersebut, menghancurkan bentengnya dan merampas Seri Rambai. Meriam tersebut lalu disimpan di Esplanade di George Town, dan pada 1950-an dipindahkan ke Benteng Cornwallis.

Latar belakang

Sejarah Asia Tenggara diwarnai dengan kisah-kisah terkait meriam: ada yang dikatakan memiliki kekuatan supranatural; ada yang dihormati karena memiliki arti spiritual dan budaya; ada yang dikenal hadir dalam momen-momen penting sejarah.[1] Kronik Istana Kaca dari Burma mencatat sebuah kisah tentang Perang Burma-Siam (1765–1767) yang mengilustrasikan sifat-sifat supranatural sebuah meriam. Setelah upaya menghalau serangan-serangan Burma di ibu kota Siam mengalami kegagalan, Raja Siam memerintahkan agar "roh penjaga" kota tersebut, sebuah meriam besar bernama Dwarawadi, digunakan untuk menghambat pergerakan musuh. Sebuah upacara diadakan untuk memasang dan menembakkan meriam tersebut ke arah musuh, namun mesiunya gagal meledak. Khawatir karena telah diabaikan sang roh penjaga, para petinggi kerajaan memohon agar sang raja menyerah saja.[2][a]

Di Jakarta, Meriam Si Jagur, sebuah meriam Portugis yang dipamerkan di sebelah Museum Fatahillah, dijadikan simbol kesuburan.[4] Penulis Aldous Huxley pada tahun 1926 menyebut meriam tersebut sebagai "Dewa Bersujud" yang dibelai, diduduki dan dimintai doa oleh wanita yang ingin memiliki anak.[5] Ada pula meriam Phaya Tani yang berada di dekat halaman gedung Kementerian Pertahanan Thailand di Bangkok. Meriam ini direbut dari Kesultanan Pattani pada 1785,[6] dan merupakan sebuah simbol identitas budaya di Pattani. Rasa kehilangan akibat dirampasnya meriam ini masih terasa di Pattani sampai sekarang: saat Bangkok menolak untuk mengembalikan meriam tersebut dan malah mengirim sebuah replika pada tahun 2013, para pengebom yang diduga pemberontak menghancurkan replika tersebut sembilan hari kemudian.[7]

Seri Rambai

Sebuah gambar dekoratif di depan trunionnya yang menampilkan tiga pasang singa. Setiap pasang dipisah dengan bunga-bungaan.

Seri Rambai adalah sebuah meriam Belanda yang ditempatkan di atas tembok Benteng Cornwallis di George Town, ibu kota Penang dan sebuah Situs Warisan Dunia UNESCO.[8] Dua artikel tentang meriam tersebut diterbitkan di Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society. Artikel pertama adalah sebuah penjelasan singkat dari sejarah meriam tersebut di Selat Malaka; artikel kedua adalah sebuah kajian mendetail yang diriset oleh Carl Alexander Gibson-Hill, seorang mantan direktur Museum Nasional Singapura dan presiden Perhimpunan Fotografi di kota-negara tersebut.[9] Surat-surat kabar juga membahas meriam tersebut; pada 2013, Sunday Times memulai sebuah artikel tentang Penang dengan komentar "Meriam-meriam tak selalu memiliki nama, namun Seri Rambai, di tembok Benteng Fort Cornwallis, adalah sesuatu yang cukup spesial".[8]

Seri Rambai dapat menembakkan peluru 28 pon, memiliki panjang 325 cm dengan kaliber 15 cm; larasnya berukuran 302 cm. Meriam tersebut dicetak pada 1603 dan merupakan meriam perunggu terbesar di Malaysia. Meriam ini memiliki pegangan bergaya lumba-lumba, dan di depannya terdapat bagian dekoratif yang menampilkan tiga pasangan singa heraldik dengan ekor melingkar yang panjang. Setiap pasang singa mengapit sebuah vas yang berisi bunga. Di antara pegangan dan cap VOC di pangkalnya terdapat sebuah inskripsi Jawi berhias perak yang menceritakan direbutnya meriam tersebut oleh Aceh pada 1613. Di bagian pangkal terdapat tanda tangan pembuat meriam tersebut beserta tanggal pembuatannya, yang dicetak melingkari meriam dalam bentuk "cincin".[10][b][c]

Sejarah

Insiden Santa Catarina

Upaya Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Asia Tenggara bergantung pada dua strategi utama: pertama, menyerang langsung aset-aset Spanyol dan Portugis di kawasan tersebut, termasuk benteng Portugis di Malaka maupun pelayaran Spanyol di antara Manila dan Acapulco; kedua, membuat persekutuan dengan penguasa-penguasa setempat dan menawarkan bantuan militer dengan syarat konsesi dagang.[17] Pada 1603, VOC memulai persekutuan penting dengan Kesultanan Johor, dan mereka menggabungkan kekuatannya untuk merebut Santa Catarina, sebuah kapal kerakah Portugis yang sedang melewati Selat Singapura.[18] Kargo dari kapal tersebut kemudian dijual ke Eropa untuk sekitar 3.5 juta florin, setara dengan setengah modal awal VOC, dan dua kali lipat modal Perusahaan Hindia Timur Britania.[19] Setelah kejadian tersebut, mungkin pada 1605, para pejabat VOC menghadiahkan Seri Rambai kepada Sultan Johor.[20][d]

Kesultanan Aceh

Salah satu pesaing utama Johor pada masa itu adalah Kesultanan Aceh, sebuah pusat perdagangan kosmopolitan dan pusat pembelajaran agama dan ideologi. Kebangkitan Aceh dimulai pada awal 1500-an. Selama beberapa dasarwarsa selanjutnya, kesultanan tersebut meluaskan wilayahnya di Sumatra dan sempat meminta bantuan militer dari Suleiman I dalam rangka menyingkirkan Portugis dari Malaka.[21] Pada 1613, Aceh melancarkan serangan ke Johor, menghancurkan ibu kotanya dan menawan sang sultan, keluarganya, beserta pengikut dekatnya. Aceh merebut Seri Rambai saat serangan tersebut dan membawanya pulang: di laras meriam tersebut kini terdapat catatan beraksara Jawi yang menyebutkan peristiwa tersebut dan para panglima Aceh yang terlibat.[22][e]

Insiden Selangor

Tak ada catatan sejarah tentang meriam tersebut antara 1613 dan 1795. Pada 1795, Aceh mengirim Seri Rambai kepada Sultan Ibrahim dari Selangor untuk membalas jasa-jasa seorang saudara Sultan Ibrahim dalam sebuah perang.[24] Pada Juni 1871, sekelompok bajak laut merebut sebuah kapal jung Penang, menewaskan 44 awak dan penumpangnya, dan membawa kapal tersebut ke Selangor. Pemerintah kolonial Britania menanggapinya dengan mengerahkan sebuah kapal uap dan sebuah kapal perang milik Angkatan Laut Britania ke Selangor dengan perintah untuk menangkap para pembajak dan mengambalikan kapal jung yang dirampas.[25] Setelah serangkaian pertempuran dan datangnya bantuan pasukan dan artileri, kota tersebut dibakar, benteng-bentengnya dihancurkan dan Seri Rambai dibawa ke Penang.[26] Saat itu, rasa kehilangan meriam tersebut sangat terasa di Selangor; menurut sebuah ramalan setempat, kota tersebut akan meraih kembali kemasyhuran lamanya hanya jika Seri Rambai dipulangkan.[27]

Penang

Menurut legenda, Seri Rambai tidak benar-benar diturunkan di Penang tetapi dibuang ke laut lepas pantai George Town dan dibiarkan selama hampir satu dasawarsa. Menurut cerita ini, meriam tersebut akhirnya dipungut kembali oleh seorang bangsawan Selangor yang mengikatkan tali ke meriam tersebut, dan secara magis meriam tersebut mengapung dan bergerak ke daratan atas perintah sang bangsawan.[28] Sampai 1950-an, meriam tersebut dipamerkan di Esplanade di jantung kota George Town, berdekatan dengan Benteng Cornwallis.[29][f] Di sinilah meriam tersebut diberi nama Seri Rambai, dan memperoleh reputasi sebagai simbol kesuburan.[28] Meriam tersebut sempat diamankan pada masa pendudukan Jepang pada Perang Dunia II, namun dikembalikan ke Esplanade setelah perang selesai.[13] Pada 1953, sebuah artikel The Straits Times melaporkan sebuah pencarian meriam lama untuk dipajang di Benteng Cornwallis, menyebutkan bahwa meriam terdekat saat itu ada di Esplanade, sekitar 200 meter dari lokasi Benteng Cornwallis.[31] Pada 1970, Seri Rambai telah ditempatkan di atas tembok Benteng Cornwallis, tetapi salah satu rodanya sudah tidak ada lagi.[32]

"Meriam Mengapung" Butterworth

Di dekat terminal feri di Butterworth (kota terbesar kedua di Pulau Pinang yang berada di daratan Malaya), terdapat sebuah meriam tua yang menurut tradisi Tionghoa lokal adalah pasangan wanita dari Seri Rambai. Menurut kisah ini, meriam tersebut meninggalkan "kekasih"nya dan mengapung dari Pulau Penang ke Butterworth. Riwayat dari kalangan Melayu memberikan kisah asal-usul yang berbeda bagi meriam Butterworth ini, meski sama-sama meyakini bahwa Seri Rambai memiliki pasangan.[33] Kemungkinan adanya kembaran atau "kerabat" Seri Rambai bukannya dugaan tanpa dasar. Seorang peneliti yang mengkaji Si Jagur di Jakarta menemukan sebuah meriam serupa di Museum Militer Lisbon dan menyimpulkan bahwa keduanya dibuat oleh Manuel Tavares Bocarro, seorang pemimpin Portugis di Makau.[34] Sebuah cerita menyatakan bahwa Phaya Tani di Pattani memiliki sebuah kembaran yang bernama Seri Negara. Keduanya direbut saat Pattani ditaklukkan Siam dan diperintahkan untuk dibawa ke Bangkok. Satu versi dari cerita tersebut mengisahkan bahwa Seri Negara jatuh ke laut di Teluk Pattani saat sedang diangkut ke atas kapal; klaim lainnya menyatakan bahwa meriam tersebut hilang di laut saat kapal Siam yang mengangkatnya tenggelam.[35]

Catatan

  1. ^ Meriam lain dari periode Ayuthaya Thailand adalah Phra Phirun, yang tercatat dalam Kronik Kerajaan Ayuthaya. Ceritanya mengisahkan soal bagaimana Raja Narai berusaha untuk mendemonstrasikan pengerahan luang dari teman dekat dan orang kepercayaannya, Constance Phaulkon. Raja memerintahkan para abdinya untuk memastikan berat meriam agar sesuai dengan yang mereka inginkan. Anggota bangsawan tersebut membicarakan permintaan raja dan membuat sebuah set dari skala berat. Niatan tersebut berakhir dengan kegagalan Phaulkon menyelesaikan masalah tersebut dengan menawarkan meriam tersebut dan menandai tanda air pada sisi perahunya. Ia kemudian mengganti meriam tersebut dengan batu dan bata sampai tawaran jatuh pada tingkat yang sama. Berdasarkan berat batu dan bata, ia dapat menhitung berat meriam tersebut. Kurang dari seabad kemudian, Phra Phirun hancur saat perang Burma-Siam.[3]
  2. ^ Seri Rambai terbuat dari perunggu, dengan campuran tembaga dan timbal, namun seperti kebanyakan alat artileri perunggu, ini umum disebut sebagai meriam bras atau tembakan bras.[11] Sebuah meriam yang diletakkan di sebelah tiang bendera di Royal Hospital Chelsea menunjukkan bagaimana terminologi berbeda ini dapat penyamaan: meskipun meriam tersebut dilabeli "Meriam Bras (Siam)", sebuah artikel yang diterbitkan dalam Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society menekankan bahwa meriam tersebut terbuat dari perunggu.[12]
  3. ^ Dr Gibson-Hill menyatakan bahwa tanda tangan pembuat meriamnya adalah IAN BERGERUS.[13] Nama sebenarnya adalah Jan Burgerhuis (juga disebut Burgerhuys), seorang Belanda yang bermukim di Middelburg dan mensuplai meriam ke Kelaksamanaan Zeeland dan membuat lonceng-lonceng untuk gereja-gereja di Skotlandia.[14] Barang lainnya yang diketahui berasal dari orang tersebut meliputi dua meriam perunggu yang disimpan di Benteng Belvoir, Virginia. Mereka diberikan kepada Jepang oleh Perusahaan Hindia Belanda pada akhir abad ke-17 dan direbut oleh pasukan Amerika pada Perang Dunia II. Kedua meriam tersebut dipasang pada 1620an oleh putra Jan, Michael.[15] Meriam lainnya yang dibuat oleh Michael dilelang di Bonhams pada 2007. Katalog menyatakan "himpunan membesarnya dari bagian melingkar di bagian tengah atas, di sebuah vas yang berisi buah antar kuda yang saling berhubungan", sebuah rancangan yang tampak mirip dengan Seri Rambai. Meriam tersebut adalah bagian dari koleksi pribadi dan tak ada tanda-tanda bahwa itu diberikan.[16]
  4. ^ Sebuah catatan sejarah Malaka dari awal abad kedelapan belas yang ditulis oleh François Valentijn menyatakan bahwa seorang komandan Belanda datang ke Hokor menjelang akhir 1605 dan memberikan sultan dengan dua meriam perunggu dan sebuah surat dari Pangeran Maurice dari Nassau. Dr Gibson-Hill menyebutnya "sangat tampak" bahwa Seri Rambai adalah salah satu dari dua meriam tersebut.[20]
  5. ^ Inskripsi Jawi tersebut diterjemahkan menjadi "Pembuangan Sultan. Ditangkap oleh kami, Sri Perkasa Alam Johan Berdaulat, pada masa saat mereka memerintahkan Orang Kaya Seri Maharaja dengan para kaptennya dan Orang Kaya Laksamana dan Orang Kaya Raja Lela Wangsa untuk menyerang Johor, pada tahun 1023 A.H.".[22] Seperti yang Profesor Anthony Reid sebutkan dalam Verandah of Violence: The Background to the Aceh Problem, Sri Perkasa Alam adalah nama resmi dari Iskandar Muda, Sultan Aceh.[23]
  6. ^ Kartu-kartu pos Vintage dan sebuah foto lama dari Seri Rambai pada Esplanade di Penang direproduksi dalam buku Profesor Jin Seng Cheah, Penang: 500 Early Postcards. Dalam plat 132 dan 133, meriam tersebut terlihat bersebelahan dengan garis pantai, menyentuh laut; plat 123 menunjukkan bahwa meriam tersebut berada pada posisi yang sama tak lama setelah PDII.[30]

Kutipan

  1. ^ Andaya 1992, hlm. 48–49; Watson Andaya 2011, hlm. 26–28.
  2. ^ Phraison Salarak 1914–1915, hlm. 47–48.
  3. ^ Sewell 1922, hlm. 22–23.
  4. ^ Samodro 2011, hlm. 193–199; Gibson-Hill 1953, hlm. 161.
  5. ^ Huxley 1926, hlm. 205–207.
  6. ^ Watson Andaya 2013, hlm. 41–45; Sewell 1922, hlm. 15–17.
  7. ^ Watson Andaya 2013, hlm. 41–45; Replica Cannon Bombed Nine Days After its Installation (Isranews Agency) 2013.
  8. ^ a b Far and Malay (The Sunday Times) 2013.
  9. ^ Douglas 1948, hlm. 117–118; Gibson-Hill 1953, hlm. 157–161; Dr Gibson-Hill Found Dead in Bath (The Straits Times) 1963.
  10. ^ Gibson-Hill 1953, hlm. 149, 157–158, 172.
  11. ^ Lefroy 1864, hlm. 5.
  12. ^ Scrivener (1981), hlm. 169; Sweeney (1971), hlm. 52.
  13. ^ a b Gibson-Hill 1953, hlm. 157.
  14. ^ Bouchaud et al. 2014, hlm. 144; Puype & Van Der Hoeven 1996, hlm. 24, 26; Clouston 1947–48, hlm. 175.
  15. ^ Bronze Cannon Conservation: Fort Belvoir (Conservation Solutions).
  16. ^ A Very Fine and Impressive Dutch 24 Pdr. Bronze Cannon (Bonhams).
  17. ^ Borschberg 2002, hlm. 59–60.
  18. ^ Borschberg 2002, hlm. 60–61; Borschberg 2004, hlm. 13–15.
  19. ^ Borschberg 2010, hlm. 68.
  20. ^ a b Gibson-Hill 1953, hlm. 159–160.
  21. ^ Reid 2006, hlm. 39–41, 47–48, 56–57, 59–60.
  22. ^ a b Douglas 1948, hlm. 17–18.
  23. ^ Reid 2006, hlm. 55.
  24. ^ Douglas 1948, hlm. 118.
  25. ^ Affair with Pirates (The Straits Times) 1920.
  26. ^ Affair with Pirates (The Straits Times) 1920; Gibson-Hill 1953, hlm. 160–161.
  27. ^ Watson Andaya 2011, hlm. 28.
  28. ^ a b Douglas 1948, hlm. 118; Gibson-Hill 1953, hlm. 161.
  29. ^ Gibson-Hill 1953, hlm. 157; Bouchaud et al. 2014, hlm. 129.
  30. ^ Cheah 2012, hlm. 84–85.
  31. ^ Wanted: Old Cannon for Fort (The Straits Times) 1953.
  32. ^ Dutch Carriage for Cannon (The Straits Times) 1970.
  33. ^ Coope 1947, hlm. 126–128.
  34. ^ Guedes 2011, hlm. 56–57.
  35. ^ Syukri 1985, hlm. 71; Sewell 1922, hlm. 15–17.

Sumber

Buku / Monografi

Jurnal / Majalah

Surat Kabar / Agensi Berita

Situs web

Kembali kehalaman sebelumnya