Sejarah Fujian adalah suatu periode panjang kemunculan manusia dan perkembangannya di Provinsi Fujian, Tiongkok. Sejarah provinsi ini berbeda dengan sebagian besar Tiongkok, dengan penduduk asli yang kemudian ditaklukkan dan diserap ke dalam populasi bangsa Tionghoa yang datang dari Dataran Tengah Tiongkok.
Awal sejarah
Pengaruh Tionghoa terhadap Fujian tercatat datang agak terlambat.[1] Sampai akhir periode Dinasti Han, daerah ini dianggap kosong, sementara hampir sebagian besar daerah lain di Tiongkok telah diperintah oleh administrasi kekaisaran. Tidak ditemukan catatan sejarah mengenai Fujian sebelum abad ke-3 Masehi sehingga awal sejarah Fujian praktis tidak diketahui. Secara umum diasumsikan bahwa daerah ini dikuasai oleh bangsa Minyue, salah satu dari kerajaan kesukuan Yue yang telah mengadakan kontak dengan bangsa Tionghoa sejak Periode Negara Berperang. Kerajaan Yue berpusat di bagian utara Fujian. Pada periode pemerintahan Qin Shi Huang (221 SM-210 SM), kepemimpinan suku Yue dihapus dan pada daerah bekasnya didirikan Distrik Min Chung. Distrik ini dianggap hanya sebagai nama saja sebab belum ada kota Tionghoa yang didirikan karena daerah itu sulit ditembus kolonisasi. Menurut catatan sejarah Tiongkok, Shiji, “Pada masa pemerintahan Kaisar Wu dari Dinasti Han (140 SM – 87 SM), pemberontakan oleh penguasa Minyue dipadamkan.[1] Kaisar memerintahkan bangsa Minyue untuk pindah ke utara, di daerah antara Sungai Yangtze dan Huai, sehingga teritori Minyue kini kosong karena ditinggalkan”. Menurut sejarawan Hans Bielenstein, pernyataan ini tidak akurat sebab tidak mungkin seluruh penduduk asli dipindahkan ke Tiongkok bagian tengah, sementara daerah Fujian nyaris tak disentuh oleh pemerintahan sama sekali.[1] Kaisar Wu (140 SM-87 SM) adalah satu-satunya yang pernah memerintahkan penyerbuan terhadap Suku Yue sekitar tahun 111 SM. Kaisar Wu dan penerusnya hanya mendirikan satu buah kota prefektur di pesisir Fujian. Kecuali dari kota prefektur tersebut, daerah Fujian masih merupakan daerah perbatasan.[1] Tidak pernah ada usaha untuk menundukkannya dengan militer. Dalam abad-abad berikutnya, Fujian ditionghoakan hanya oleh perpindahan secara perlahan lambat dan damai oleh bangsa Tionghoa. Pada tahun 742, jumlah penduduk Fujian diperkirakan 412.000 jiwa.[1]
Migrasi Bangsa Tionghoa dan perkembangannya
Migrasi besar pertama terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Jin (317 M -420 M).[2] Dikarenakan kekacauan akibat serbuan dari bangsa nomaden yang mendiami utara Tiongkok, bangsa Tionghoa dari Dataran Tengah pindah ke selatan. Migrasi berlangsung lama dan sampai ke selatan dalam kelompok-kelompok kecil.[2] Migrasi besar kedua terjadi pada masa Dinasti Tang (618-907). Setelah tentara Tang berhasil memadamkan pemberontakan suku She, mereka membawa serta keluarga mereka dan beranak-pinak. Mereka juga membawa serta teknologi dan keterampilan dari dataran tengah untuk mengembangkan daerah tersebut. Banyak yang memiliki leluhur dari Provinsi Henan, Tiongkok bagian tengah.[2] Gelombang migrasi ketiga terjadi pada periode Lima Dinasti dan Sepuluh Negara (907-960) dimana setelah kejatuhan Dinasti Tang, meletus perang saudara. Kedua bersaudara Wang Chao dan Wang Shenzhi yang berasal dari Henan pindah ke Fujian dan mendirikan Dinasti Min yang berusia singkat.[2] Gelombang migrasi pada masa Dinasti Sung ke daerah Fujian diikuti oleh banyak pejabat dan petinggi pemerintahan, diyakini memberi warna bagi perkembangan budaya setempat. Kekacauan yang terjadi pada periode Dinasti Ming dan Qing, membuat rakyat di daerah Fujian mengungsi dan pindah keluar antara lain ke Taiwan dan Asia Tenggara.
Sejarah perdagangan dan masyarakat pesisir Fujian
Sebagian sejarawan menganggap pada masa lalu Fujian termasuk daerah perbatasan karena letaknya yang jauh. Sebagian besar (90%) daerahnya adalah wilayah bergunung-gunung, menyisakan sedikit ruang untuk populasi pesisir yang padat.[3] Penduduknya di bagian selatan lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang asing. Menurut catatan zaman Ming, walau dengan daerah yang begitu sempit untuk dikembangkan, masyarakat Fujian giat berusaha dalam menghasilkan produk pertanian, kerajinan tangan, tekstil, sutera, katun, satin, gula tebu, keramik dan sebagainya.[3] Hasil-hasil produksi ini kemudian menstimulasi dibangunnya transportasi dan perdagangan. Sejak pertengahan periode Ming, kota-kota dagang yang baru tumbuh di pesisir Quanzhou dan Zhangzhou, menandai puncak periode perdagangan di Fujian pada periode Ming.[3]
Sejarah Fujian banyak berkaitan dengan bahari. Catatan sejarah Ming menyebutkan bahwa rakyat Fujian merupakan pelaut ulung serta ahli dalam pembuatan kapal. Kapal kayu terbesar di dunia (Kapal Harta Zhenghe) yang dibuat di Fujian pada zaman Ming pernah mengarungi lautan ke Afrika dan India.
Selama berabad-abad para pedagang Fujian mengadakan perdagangan lewat laut dikarenakan posisi geografisnya.[4] Kemakmuran dari perdagangan pada akhirnya membentuk organisasi-organisasi dagang kelautan (jiaoshang) di Fujian. Organisasi seperti ini telah ada sebelum Dinasti Ming. Namun demikian, Pelarangan Maritim memengaruhi aktivitas mereka karena Ming melarang semua perdagangan yang dilakukan secara privat namun pada akhirnya menciptakan sistem penyelundupan.[4] Penyelundupan serta perdagangan ilegal dengan orang asing terjadi amat marak di pesisir Fujian.[4] Para pedagang gelap dan rakyat Fujian di pesisir dianggap penguasa Ming sebagai kriminal dan daerah Fujian sering dijuluki sebagai sarang penyamun dan pedagang gelap (karena melanggar aturan Pelarangan Maritim).[5] Pelarangan berdagang keluar oleh Ming menumbuhkan bibit pemberontakan.
Selanjutnya pada masa transisi Ming ke Qing pada abad ke-17 yang merupakan salah satu kekacauan terbesar dalam sejarah Tiongkok yang berlangsung setidaknya 100 tahun. Konflik meletus antara penguasa Qing dengan Klan Zheng yang berbasis di Fujian. Daerah ini menjadi latar dari pertempuran antara Pasukan Qing dan prajurit Koxinga (Zheng Chenggong).[4] Pada tahun 1661 Koxinga mengusir Belanda dari Taiwan lalu berlindung di sana. Perpindahannya diikuti pula oleh orang-orang dari Fujian. Hal ini menandai migrasi besar pertama bangsa Tionghoa ke Taiwan.[4]
Klan Koxinga mendominasi daerah pesisir yang akhirnya membuat pemerintah Qing membuat kebijakan qianjie, Pengusiran masyarakat dari pesisir atau Depopulasi Pesisir.[5] Hal ini berlangsung antara tahun 1661-1683. Kebijakan ini diperintahkan oleh Qing untuk mengosongkan daerah-daerah di pesisir sejauh 25 km. Daerah pesisir dianggap menguntungkan bagi pemberontak yang melawan Qing. Daerah-daerah pesisir Fujian dan Guangdong yang menjadi target mengalami kemunduran dan kehancuran paling parah karena dianggap sebagai basis sumber daya Koxinga.[5] Kebijakan mengusir penduduk dari pesisir membuat Qing kehilangan kendali atas perdagangan maritim. Klan Zheng menguasai jalur perdagangan antara Taiwan dengan Jepang dan Asia Tenggara.[4]
Perkembangan pada periode Qing dan abad ke-20
Ekonomi Provinsi Fujian mengalami perbaikan dengan dibukanya Kota Fuzhou dan Xiamen sebagai pelabuhan perjanjian.[6] Industri pembangunan kapal modern di kota Mawei hancur karena Perang Sino-Prancis tahun 1883-1885.[6] Setelah Revolusi Tiongkok tahun 1911-1912, Fujian menjadi ajang pertarungan penguasa lokal dan terbagi menjadi wilayah-wilayah politik dan militer.[6] Pada awal tahun 1930-an, bagian barat Fujian digabungkan ke dalam wilayah komunis Jiangxi Soviet. Pemberontakan dari tentara nasionalis terhadap tentara komunis terjadi tahun 1933. Pendudukan Jepang atas Fujian dimulai tahun 1938, Jepang terutama di kawasan pesisir, sehingga pemerintahan provinsi mundur ke Yongan, Fujian tengah. Sejak tahun 1949, Fujian dikuasai oleh tentara merah dan menjadi bagian Republik Rakyat Tiongkok.[6]
Referensi
^ abcdeBielenstein, Hans. The Chinese colonization of Fukien until the end of Tang. Canberra: Canberra University College.
^ abcdefChang, Ting Ting. Trade and Immigration History in 16th-20th Century Taiwan: Historical Similarity and Continuity with Post-1980 Cross-strait Relations.