Segara Anakan adalah sebuah laguna luas yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa di perbatasan antara Provinsi Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Segara Anakan merupakan laguna di antara Pulau Jawa dan Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap. Kawasan Segara Anakan merupakan tempat bertemunya 3 (tiga) sungai besar, yaitu Sungai Citanduy, Sungai Cibereum dan Sungai Cikonde serta sungai-sungai kecil lainnya. Kawasan ini juga menjadi penghubung pergerakan ekonomi dan sarana transportasi air masyarakat dari Cilacap menuju Pangandaran.[1][2]
Latar belakang
Laguna sendiri dalam istilah geografi adalah perairan yang hampir seluruh wilayahnya dikelilingi daratan dan hanya menyisakan sedikit celah yang berhubungan dengan laut. Segara Anakan merupakan kawasan perairan yang unik, karena didominasi hamparan hutan bakau (mangrove) yang sangat luas. Tempat ini merupakan salah satu laboratorium alam bagi para peneliti dalam dan luar negeri dari aneka disiplin ilmu antara lain biologi, geologi, fisika, sosial, ekonomi, budaya, dan hukum.[3]
Ditinjau dari fungsi sosial ekonomi, ekosistem mangrove di wilayah ini menyangkut siklus kehidupan ikan, udang, kepiting dan fauna lainnya, seperti burung dan aneka reptile. Laguna ini merupakan tempat berkembang biaknya anak-anak satwa laut itu sebelum kemudian keluar melalui muara laguna ke laut lepas, Samudera Hindia, untuk selanjutnya ditangkap para nelayan. Hal itu penting untukt menunjang keberlanjutan produk perikanan laut setempat yang sangat erat berkaitan langsung dengan kondisi sosial ekonomi nelayan.
Sebagai sarana transportasi laut antar kecamatan dan pusat-pusat keramaian di tepi barat, selatan dan timur perairan Segara Anakan, laguna ini sangat vital. Potensi lain adalah daya tarik kepariwisataannya yang kuat. Pada tahun 1980-an, di Segara Anakan terdapat 26 jenis tumbuhan mangrove dengan tiga jenis vegetasi (tumbuhan). Yang paling dominan adalah jenis api-api, bakau, dan cancang (bruguiera gymnonthiza) yang sering dimanfaatkan penduduk untuk kerangka bangunan rumah panggung. Mangrove memang merupakan ekosistem paling produktif di antara komunitas laut. Daun-daunnya yang rontok ke air dan kemudian melapuk merupakan tempat mencari makan serta tempat pemijahan berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut bernilai ekonomi.[4]
Kawasan ini berperan besar terhadap tingginya hasil perikanan di laguna Segara Anakan. Karena, di kawasan itu ada sedikitnya 15 spesies kepiting bakau, dan 90% dari jenis tersebut dapat ditemui dengan mudah di kawasan yang tertutup rapat oleh kawasan mangrove yang masih baik di laguna tersebut. Keunikan ekosistem laguna Segara Anakan dapat dilihat dari keberadaan biota yang ada, salah satunya adalah ikan sidat. Ikan ini memiliki kandungan DHA hampir dua kali lipat dibandingkan ikan biasa. Dari 12 species ikan sidat di dunia, tujuh di antaranya berkembang di daerah ini. Karena begitu pentingnya peranannya, Badan Konservasi Segara Anakan dan Nusakambangan membagi laguna ini menjadi tiga bagian yaitu zona inti, zona transisi, dan zona pemanfaatan.[5]
Penyusutan area
Dengan tingginya potensi ekologis, sosial dan ekonomi dari Laguna Segara Anakan, laguna ini juga tak lepas dari permasalahan yang serius dalam lima puluh tahun terakhir yaitu pendangkalan, penyempitan luas kawasan laguna, dan kerusakan kawasan hutan mangrove.
Laguna Segara Anakan secara berkesinambungan mengalami degradasi akibat tingkat pengendapan yang tinggi. Adanya pengendapan pada perairan tersebut telah mengakibatkan terjadinya pendangkalan serta penyempitan luasan. Luas perairan Laguna Segara Anakan tahun 1903 masih 6.450 ha. Namun tahun 1939, tinggal 6.060 ha. Jadi, dalam kurun waktu 36 tahun luas wilayah perairan laguna yang hilang akibat sedimentasi mencapai 390 ha. Sekitar tahun 1971, luas Segara Anakan menyusut lagi menjadi 4.290 ha. Hal ini terus berlanjut hingga pada tahun 1984, luas laguna yang memiliki hutan mangrove terluas di Jawa itu hanya 2.906 ha. Jumlah itu, pada tahun 1994, atau 10 tahun kemudian, menyusut dari 1.331 ha menjadi 1.575 ha. Penyusutan kembali terjadi tahun 2005, atau 11 tahun kemudian, menjadi 834 ha. Artinya, dalam kurun waktu 21 tahun, terjadi penyusutan luasan laguna 2.072 ha atau 98,6 ha per tahun.[6][7]
Penumpukan sedimen terutama terjadi pada daerah utara laguna. Hal tersebut dimungkinkan karena bagian selatan laguna ialah bagian cekungan yang tidak memiliki arus deras. Sedangkan pada bagian selatan, yang mendekati Pulau Nusakambangan merupakan kawasan yang berarus deras.
Perkembangan pengurangan luas kawasan laguna padatahun 1998 – 2003 hanya mengalami pengurangan luas sekitar 60 Ha/tahun. Terdapat indikasi telah terjadi perbaikan kondisi 3 kali lebih baik dari 20 tahun sebelumnya, meskipun pengurangan luas 60 Ha per tahun masih tidak dapat dihindari.
Kerusakan laguna Segara Anakan terutama disebabkan tingginya materi sedimen yang masuk ke dalamnya. Diperkirakan besarnya sedimen yang masuk dari sungai Citanduy sebesar 8.05 juta ton/tahun, sungai Cimeneng sebesar 0.87 juta ton /tahun dan sungai Cikonde 0,22 juta ton/tahun, dengan total pasokan sedimen 9.14 juta ton/tahun. Dan total sedimen yang masuk ke Segara Anakan sekitar 8,5 juta ton/tahun keluar ke laut dan sekitar 0,66 juta ton/tahun mengendap di laguna Segara Anakan.[8]