* Penampilan dan gol di klub senior hanya dihitung dari liga domestik
Andi Ramang (24 April 1924 – 26 September 1987)[1] adalah seorang pemain sepak bolaIndonesia dari PSM Makassar yang terkenal pada tahun 1950-an dan dikenal dengan julukan Si Kancil. Dia secara luas dianggap oleh para ahli sepak bola Indonesia dan mantan pemain sebagai salah satu pemain terbesar dalam sejarah sepak bola Indonesia. Dia sangat dikenal karena tendangan saltonya dan kemampuannya untuk mencetak gol dari tendangan sudut kanan.[2] Dia juga disebut sebagai Rusli Ramang dalam dokumen resmi FIFA.[3]
. Ayahnya, Djonjo Daeng Nyo'lo, adalah ajudan Raja Gowa, I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangpngang. Beliau dikenal karena kemampuannya dalam sepak takraw. Bakat inilah yang menurun pada anaknya Ramang. Daeng Ramang menghabiskan masa kecilnya bermain sepak takraw menggunakan bola yang terbuat dari rotan, kain, dan terkadang buah jeruk. Inilah yang diyakini menjadi alasan mengapa Ramang sering mencetak gol menggunakan tendangan salto.[4][5]
Karier sebagai pemain
Awal karier
Andi Ramang memulai karirnya sebagai pemain sepak bola pada tahun 1939 dengan bergabung di klub sepak bola di Barru. Dia bermain sampai 1943, ketika dia memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya. Bersama istrinya, mereka membuka kedai kopi kecil untuk mencari nafkah. Setelah kematian bayi mereka yang baru lahir, mereka memutuskan untuk berangkat ke Ujungpandang (sekarang Makassar) sebelum Indonesia merdeka. Mereka tinggal di rumah seorang teman, dan Ramang memulai hidupnya di sana sebagai sopir becak, kemudian menjadi asisten sopir truk. Selama waktu ini, istrinya melahirkan anak kedua mereka.[4]
Andi Ramang mulai memperkuat PSM Makassar pada tahun 1947, waktu itu masih bernama Makassar Voetbal Bond (MVB). Melalui sebuah klub bernama Persis (Persatuan sepak bola Induk Sulawesi) ia ikut kompetisi PSM. Pada sebuah pertandingan, ia mencetak sebagian besar gol dan membuat klubnya menang 9-0. Sejak itulah ia dilamar bergabung dengan PSM. Ramang memang sudah mulai menendang-nendang buah jeruk, gulungan kain dan bola anyaman rotan dalam permainan sepak raga sejak berusia 10 tahun. Ayahnya, Nyo'lo, ajudan Raja GowaDjondjong Karaenta Lembangparang, sudah lama dikenal sebagai jagoan sepakraga. Bakat Ramang memang menurun dari sang ayah. Mulanya ia memperkuat Bond Barru, kota kelahirannya, tetapi menjelang proklamasi 1945, ia membawa keluarganya pindah ke Ujungpandang dan meninggalkan usaha warung kopi yang ia bangun bersama istrinya.
Pekerjaan lain
Sambil melakoni profesinya sebagai pemain sepak bola, Ramang juga menjadi seorang kenek truk dan tukang becak. Namun dalam sebuah wawancara di Majalah Tempo (7/10/1978), Ramang mengatakan bahwa ia terpaksa meninggalkan profesinya sebagai penarik becak karena sibuk bermain bola. Hal itu membuat kondisi keluarganya yang tinggal menumpang di sebuah rumah temannya menjadi sangat memprihatinkan. "Namun apapun yang terjadi, coba kalau isteri saya tidak teguh iman, mungkin sinting," kata macan bola itu. Ramang memang tak bisa lepas dari lapangan sepak bola. Baginya, meninggalkan lapangan sepak bola sama saja menaruh ikan di daratan. "Hanya bisa menggelepar-gelepar lalu mati," katanya.
Setahun setelah kemenangan klubnya 9-0 dalam kompetisi PSM, Ramang sudah keliling Indonesia bermain bola. Tapi ketika ia kembali ke Makassar seorang datang melamarnya bekerja sebagai opas di Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Gajinya? Tak pernah naik tetap saja Rp 3.500. Untungnya hanya satu: ia masih tetap bisa main bola.
Pada tahun 1952 ia menggantikan Sunardi, kakak Suardi Arlan mengikuti latihan di Jakarta. Ini menyeretnya menjadi pemain utama PSSI. Didampingi Suardi Arlan di kanan dan Nursalam di kiri, ia bagai kuda kepang di tengah gelanggang. Permainannya sebagai penyerang tengah sangat mengagumkan. Maka setahun kemudian ia keliling di beberapa negeri asing. Namanya meroket menjadi pemain favorit penonton dan disegani pemain lawan.
Pada lawatannya tahun 1954 ke berbagai negeri Asia (Filipina, Hongkong, Muangthai, Malaysia) PSSI hampir menyapu seluruh kesebelasan yang dijumpai dengan gol menyolok. Dari 25 gol (dan PSSI hanya kemasukan 6 gol) 19 di antaranya lahir dari kaki Ramang.
Berkat prestasi Ramang, Indonesia masuk dalam hitungan kekuatan bola di Asia. Satu demi satu kesebelasan Eropa mencoba kekuatan PSSI. Mulai dari Yugoslavia yang gawangnya dijaga Beara (salah satu kiper terbaik dunia waktu itu), klub Stade de Reims dengan si kaki emas Raymond Kopa, kesebelasan Rusia dengan kiper top dunia Lev Jashin, klub Locomotive dengan penembak maut Bubukin, sampai Grasshopers dengan Roger Vollentein. "Tapi itu bukan prestasi saya saja, melainkan kerjasama dengan kawan-kawan," ujar Ramang merendah, sembari menyebut nama temannya satu per satu: Maulwi Saelan, Rasjid, Chaeruddin, Ramlan, Sidhi, Tan Liong Houw, Aang Witarsa, Thio Him Tjiang, Danu, Phoa Sian Liong dan Djamiat.
Ramang dikenal sebagai penyerang haus gol. Ramang memang penembak lihai, dari sasaran mana pun, dalam keadaan sesulit bagaimanapun, menendang dari segala posisi sambil berlari kencang. Satu keunggulan yang masih diidamkan oleh setiap pemain bola kita hingga saat ini, terutama tembakan salto. Keahlian itu tampaknya karunia alam untuk pribadi Ramang seorang sebagai bekas pemain sepakraga yang ulung. Gol melalui tendangan salto yang indah dan mengejutkan sering kali dipertunjukkan oleh Ramang. Satu di antaranya saat PSSI mengalahkan RRC dengan 2-0 di Jakarta. Kedua gol itu lahir dari kaki Ramang, satu di antaranya tembakan salto. Itu pertandingan menjelang Kejuaraan Dunia di Swedia, 1958. Pertandingan kedua dilanjutkan di Peking, Indonesia kalah dengan 3-4, sedang yang ketiga di Rangoon (juga melawan RRC) dengan 0-0. Sayang sekali lawan selanjutnya ialah Israel (yang tak punya hubungan diplomatik dengan Indonesia) maka PSSI terpaksa tidak berangkat.
Mendengar kehebatan Ramang di lapangan sepak bola, tak heran jika pada tahun 50-an, banyak bayi lelaki yang lahir kemudian diberi nama Ramang oleh orangtuanya.
Jika Ramang ditanya mengenai pertandingan paling berkesan, di sejumlah media, ia menyebut ketika PSSI menahan Uni Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne 1956. "Ketika itu saya hampir mencetak gol. Tapi kaus saya ditarik dari belakang," kata Ramang.
Akhir karier
Kejayaan Ramang ternyata singkat saja, tahun 1960, sesudah namanya sempat melangit ia dijatuhi skorsing. Ramang dituduh makan suap. Tahun 1962 ia dipanggil kembali, tetapi pamornya sudah berkurang. Pada tahun 1968, dalam usia 40 tahun, Ramang bermain untuk terakhir kalinya membela kesebelasan PSM di Medan, yang berakhir dengan kekalahan. Meskipun setelah itu kariernya di sepak bola tidaklah betul-betul mati. Saat ia sedang menggelepar-gelepar seperti ikan di daratan, ia mendapatkan panggilan Bupati Blitar untuk menjadi pelatih di sana.
Karier kepelatihan
Karier kepelatihan Ramang juga tercatat di PSM dan Persipal Palu. Sewaktu menjadi pelatih di Persipal, ia bahkan pernah dihadiahi satu hektare kebun cengkih oleh masyarakat Donggala, Palu, karena prestasinya membawa Persipal menjadi satu tim yang disegani di Indonesia. Penghargaan seperti ini tak pernah ia dapatkan di PSM Makassar. Tetapi menjadi pelatih sepak bola ternyata tidak mudah bagi seorang tamatan Sekolah Rakyat seperti Ramang. Ia kemudian harus disingkirkan pelan-pelan hanya karena ia tidak memiliki sertifikat kepelatihan. Dalam melatih, Ramang hanya mengajarkan pengalamannya ditambah dengan teori yang pernah ia dapatkan dari mantan pelatih PSSI, Tony Pogacknic, yang ia sangat hormati.
Ramang pernah menyebut bahwa pemain sepak bola sepertinya tidak lebih berharga dari kuda pacuan. "Kuda pacuan dipelihara sebelum dan sesudah bertanding, menang atau kalah. Tapi pemain bola hanya dipelihara kalau ada panggilan. Sesudah itu tak ada apa-apa lagi," katanya dengan kecewa. Namun Ramang sudah berketetapan hati menutup kisah masa lampaunya itu. "Buat apa mengenang masa-masa seperti itu sementara orang lebih menghargai kuda pacuan?" katanya. Kekecewaan itu tampaknya begitu berat merundungnya, hingga ia sering kali sengaja sembunyi hanya untuk mengelak wawancara dengan seorang wartawan. Meski banyak dorongan dan tawaran buat menulis biografinya, ia selalu menggelengkan kepala. Dulu katanya, memang pernah ada seseorang yang menerbitkan riwayat hidupnya. Tapi ia sendiri sudah lupa judul buku dan nama penulisnya.
Meninggal dunia
Suatu malam pada tahun 1981, sehabis melatih anak-anak PSM, Ramang pulang dengan pakaian basah dan membuatnya sakit. Enam tahun ia menderita sakit di paru-parunya tanpa bisa berobat ke Rumah sakit karena kekurangan biaya. Pada tanggal 26 September 1987, di usia 63 tahun, mantan pemain sepak bola legendaris itu meninggal dunia di rumahnya yang sangat sederhana yang ia huni bersama anak, menantu dan cucunya yang semuanya berjumlah 19 orang. Ramang dimakamkan di TPU Panaikang. Untuk mengenang jasanya, sebuah patung di lapangan Karebosi dibuat untuknya, lalu kemudian patung tersebut diganti dengan patung baru yang berada di Kawasan Pantai Losari dekat Masjid Amirul Mukminin. Selain itu hingga sekarang salah satu julukan PSM Makassar adalah Pasukan Ramang.
Ironis memang mengetahui kisah hidup mantan bintang sepak bola itu. Apalagi Ramang kini hanya diapresiasi dengan sebuah patung yang dibuat seadanya, yang berdiri di pintu utara Lapangan Karebosi.