Ujir adalah nama sebuah pulau yang terletak di kecamatanKepulauan Aru. Nama desa di kawasan ini diambil dari nama pulau utama, yakni Pulau Ujir, yang melingkupi dua pulau kecil di sekitarnya, yakni Pulau Kenari, dan Pulau Wasir. Pulau ini terletak sekitar 28 km sebelah utara daripada pusat kecamatan Pulau-Pulau Aru,[5][riset asli?] yakni Galai Dubu, yang terletak di Pulau Wamar. Ujir menjadi persinggahan pertama para pendatang, pedagang, ataupun penjelajah dari Nusa Tenggara Timur maupun Maluku Utara sebelum pembangunan Dobo sejak akhir abad ke-19.[6]
Sejarah
Pulau Ujir dihuni, setidaknya, sejak abad XVI, oleh orang-orang Eropa, yang tidak dapat dikonfirmasi antara orang Belanda ataupun orang Portugis.[7] Setelah Pulau Ujir ditinggalkan oleh orang-orang Eropa,[per kapan?] sebelum akhirnya ditinggalkan dan dihuni oleh penduduk Maluku beragama Islam yang memiliki relasi dengan orang-orang yang berada di Kesultanan Ternate.[8] Orang-orang Islam yang memiliki relasi dengan Kesultanan Ternate ini lalu singgah di Pulau Ujir, mendirikan masjid, dan mengembangkan pemukiman yang disebut sebagai Kampung Lama Uifana.[7] Datangnya orang-orang Islam yang memiliki relasi dekat dengan Kesultanan Ternate, khususnya pedagang, ke Pulau Ujir ini menyebabkan pulau ini menjadi titik persinggahan di samping titik persinggahan yang ada di Kepulauan Kei dan Kepulauan Banda.[9] Pulau ini, pada akhirnya, menjadi pulau pertama yang mayoritasnya dihuni oleh penganut agama Islam di Kepulauan Aru.[10] Catatan VOC menyebutkan bahwa Islam, melalui qadi, masuk ke Pulau Ujir sejak 1650-51.[11] Warga Pulau Ujir juga sempat meminta bantuan pengiriman guru agama Islam melalui seorang naturalis berkebangsaan Jerman, yakni Georg Rumphius, pada tahun 1668.[11]
Warga Desa Ujir, dalam persaingan politik antara Uli Lima dengan Uli Siwa, selalu berpihak kepada Uli Siwa, setidaknya sejak tahun 1646, '53, dan '59.[12] Seorang prajurit berpangkat kopral dan seorang guru agama Kristen di Pulau Wokam, pada tahun 1674, menyebutkan bahwa setidaknya dua kapal dari Kesultanan Buton berdagang dengan warga Desa Ujir.[11] Pada abad XVIII, Pulau Ujir menjadi pusat perlawanan warga Kepulauan Aru terhadap VOC.[6] Satu serangan tercatat dari tentara VOC pernah terjadi di tahun 1790 untuk mengurangi pemberontakan warga Kepulauan Aru antara tahun 1787-91, yang dipimpin oleh Tamalola.[13] Pada awal abad XIX, Ujir merupakan suatu daerah setingkat kabupaten bersama-sama dengan Pulau Wokam, Pulau Wamar, dan Pulau Maikoor di Kepulauan Aru.[14] Catatan dari Odo Deodatus Taurn pada tahun 1918 menunjukkan bahwa Pulau Ujir menjadi destinasi para pedagang dari Pulau Seram sebelah timur.[15]
Selain Kampung Lama Uifana, terdapat juga Kampung Lama Ujir yang menjadi pemukiman di Pulau Ujir. Kampung ini terletak di sebelah kiri daripada sungai utama di pulau ujir.[6] Kampung ini diberi nama Kampung Maiabil (Bahasa Ujir: pinggir kali).[6] Kampung ini berusia lebih muda[sebutkan angka] dibandingkan dengan Kampung Lama Uifana meskipun keduanya sama-sama telah ditinggalkan pada akhir Perang Dunia II.[16][6] Kampung Maiabil pernah dibom oleh Angkatan Udara Australia di tahun 1942 karena kampung Maiabil pernah dikira sebagai pemukiman orang Jepang.[6][13]
Sesudah pemboman Kampung Maiabil, Kampung Maiabil terabaikan dan sebahagian besar penduduk di Pulau Ujir kemudian berpindah ke sebelah barat pulau hingga saat ini.[13]
Geografi
Penduduk
Ekonomi
Perekonomian Desa Ujir ditopang daripada budidaya mutiara, khususnya di Pulau Ujir dan Pulau Kenari, dan budidaya benih ikan kerapu, yang hanya eksis di Pulau Ujir sahaja.[17]