Prasasti Dinoyo (juga disebut Prasasti Kanjuruhan) adalah prasasti yang berupa lempengan batu berukir yang berisi beberapa baris tulisan.[1] Prasasti ini adalah salah satu prasasti yang ditemukan di desa Dinoyo, kecamatan Lowokwaru, sekitar 5 kilometer sebelah barat dari pusat kota Malang, Jawa Timur.[2] Prasasti ini unik karena selain sebagai prasasti pertama yang berhuruf Jawa Kuno, juga dipadu dengan bahasa Sanskerta.[2] Prasasti ini merupakan bukti adanya pemerintahan Kerajaan Kanjuruhan.[3] Ciri kental lain yang menunjukkan bahwa Prasasti Dinoyo ini menceritakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan adalah cara penulisan tahun berbentuk sengkala berbunyi nayana-vasu-rasa, yang mewakili tahun 682 Śaka, yaitu tahun 760 Masehi.[3]
Isi prasasti Dinoyo tersebut memberikan ketertangan bahwa pada pertengahan abad ke 8, telah ada kerajaan yang berpusat di Kanjuruan yang diperintah oleh raja Dewa Simha.[4] Pada masa pemerintahanya, Dewa Simha pernah mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk penghormatan terhadap Dewa Siwa, berupa arca Maharsi Agastya yang terdapat di Candi Badut dekat kota Malang.[4] Di dalam candi tersebut berisikan sebuah lingga dan arca Putikeswara yang merupakan lambang agastya yang selalu digambarkan seperti Siwa dalam wujudnya seperti Mahaguru.[4]
Sejarah
Wilayah Dinoyo diketahui merupakan kawasan pemukiman prasejarah.[4] Berbagai prasasti (misalnya Prasasti Dinoyo 2), bangunan percandian dan arca-arca, bekas-bekas pondasi batu bata, bekas saluran drainase, serta berbagai gerabah ditemukan dari periode akhir Kerajaan Kanjuruhan (abad ke-8 dan ke-9) juga ditemukan di tempat yang berdekatan.[4] Di desa Dinoyo (barat laut Malang) diketemukan sebuah prasasti berangka tahun 760, berhuruf Kawi dan berbahasa Sanskerta, yang menceritakan bahwa dalam abad VIII ada kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan (sekarang desa Kejuron) dengan raja bernama Dewasimha dan berputra Limwa (saat menjadi pengganti ayahnya bernama Gajayana), yang mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk dewa Agastya dan diresmikan tahun 760.[5] Upacara peresmian dilakukan oleh para pendeta ahli Weda (agama Siwa).[5] Bangunan kuno yang saat ini masih ada di desa Kejuron adalah Candi Badut, berlanggam Jawa Tengah, sebagian masih tegak dan terdapat lingga (mungkin lambang Agastya).[5]
Isi prasasti
Isi dari prasasti inilah yang menguak sejarah masa lalu Malang.[1] Isinya dapat kita tafsirkan sebagai berikut: Malang pernah berdiri sebuah kekuasaan / kerajaan yang disebut dengan Kanjuruhan.[1] Kanjuruhan dipimpin oleh raja yang bijaksana yang bernama Deva Singha, dia memiliki putra bernama sang Liswa sebagai penerusnya.[1] Setelah menjadi raja Liswa bergelar Gajayana.[1] Gajayana sangat memuliakan sang Resi Agastya. Gajayana memiliki seorang putri bernama Uttejana, yang kelak kawin dengan klan dari kerajaan di kawasan Barat.[1]
Salah satu isi piagam Dinoyo adalah sederet kalimat yang tiada lain dari simbol penanggalan Kuno yang berbunyi NAYANA VASU RASA, yang bila diterjemahkan berdasarkan 'rumus' Candra Sengkala maka deretan kata-kata itu bernilai angka 286.[1] Untuk membacanya harus dibalik menjadi 682, sehinggga prasasti Dinoyo berangka tahun 682 Saka.[1] Bila ingin dikonversi ke tahun masehi maka tinggal ditambah angka 78, sehingga ketemu tahun 760 masehi alias 13-an abad silam.[1] Lebih dari seribu dua ratus tahun yang lalu.[1]
Berikut adalah transkripsi lengkap Prasasti Dinoyo:[2]
1. (svasti śaka varṣātīta 682)
2. || āsīt (nārāpatiḥ dhīman devasiṁhaḥ)
3. tāpavān yena gupta (parībhāti pūtikeśvā)
4. rapāvitā || limvaḥ api tana(-yaḥ tasyagajayānaḥ)
a. (alih-aksara) = alih aksara yang ada di potongan yang lain.
b. (…) = aksara yang hilang.
c. [ ] = bagian yang seharusnya ada di prasasti.
d. { } = aksara yang belum pasti.
Terjemahan
Terjemahannya menurut Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka, dengan mengganti kata Liswa menjadi Limwa, dan dibagi sesuai bait adalah sebagai berikut:[2]
Kemuliaan pada tahun Saka 682 yang telah berlalu.[2]
1. Ada seorang raja bijaksana dan berkuasa, (namanya) Dewasimha, di bawah lindungannya api Putikeswara yang menyebarkan sinar di sekelilingnya.[2]
2. Juga Limwa, putranya, yang bernama Gajayana, melindungi manusia bagaikan anaknya, ketika ayahnya marak ke langit.[2]
3. Limwa melahirkan anak perempuan, namanya Uttejana dan dia adalah permaisuri raja Pradaputra.[2]
4. Dia juga ibu A-nana yang bijaksana, cucu Gajayana, orang yang selalu berbuat baik terhadap kaum brahma, dan pemuja Agastya, tuan yang dilahirkan dari tempayan.[2]
5. (A-nanah) (yah) yang menyuruh penduduk dan banyak orang penting untuk membangun kediaman yang indah untuk Agastya yang agung dan suci, untuk menghancurkan kekuatan musuh (atau: wabah penyakit disentri).[2]
6. Sesudah dia melihat patung Kalasaja dari kayu cendana yang dibuat oleh nenek moyangnya, dan tak boleh dipandangnya lebih lama, diapun dengan segera memerintahkan kepada seorang seniman untuk membuat arca resi yang sama dari batu hitam yang keindahannya sangat menakjubkan.[2]
7. Pada tahun saka 682, di bulan Margasira, pada hari Jum’at, hari pertama dari pertengahan bulan baru, pada kumpulan bagian-bagian bulan yang gelap dan yang terang, di Ardranaksatra, sementara horoskop menunjukkan Aquarius, maka raja yang bersemangat memerintahkan para pendeta, para ahli Weda, para pertapa, pedanda yang menyiramkan air, pertapa dan ahli-ahli, untuk mendirikan patung Kumbhayoni.[2]
8. Pada kesempatan itu raja menghadiahkan kepada Ksrtra sapi dan sekumpulan kerbau gemuk, budak-budak lelaki dan perempuan, yang diperuntukkan bagi pemandian suci, upacara pembakaran dan persembahan kurban padi, untuk menghormati tokoh resi yang hebat dan agung.[2] Didirikan juga tempat tinggal kaum Brahmana, serta rumah tinggi dan indah, lengkap dengan pakaian, tempat tidur, gandum, dan padi, untuk peristirahatan bagi para tamu.[2]
9. Apabila sanak keluarga, para putra raja dan para perdana menteri bermaksud merintangi gagasan raja ini, maka mereka akan cacat karena berada di jalan yang sesat dan penuh dosa, mereka akan terjerumus ke dalam neraka dan baik di sini maupun di akhirat mereka tidak akan menginjakkan kaki di jalan pembebasan.[2] Jika keturunan raja dalam hal meningkatkan gagasan itu dihalang-halangi, semogalah pikiran-pikiran suci bersih, pernyataan-pernyataan hormat, hadiah-hadiah dan perbuatan baik, kurban-kurban, pelajaran Weda dan perbuatan-perbuatan baik lainnya melindungi kerajaan.[2] Demikian bunyi perintah raja.[2]
Perbedaan Pembacaan
Pada pembacaan awal prasasti ini oleh Dr. F.D.K. Bosch di bukunya dengan judul “De Sanskrit-Inscriptie op den Steen van Dinaya”. Bait kelima dibaca "tâte puram kâñjuruhan mahat"[6]. Hal ini kemudian diperbarui oleh Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka di bukunya "Agastya in den Archipel" dengan kalimat "tate sutān puruṣān mahatah"[7]. Hal ini menyebabkan tafsir keberadaan kerajaan Kanjuruhan berubah. Dikarenakan penyebutan awal "kanjuruhan" hanya bersumber pada prasasti ini. Sampai sekarang belum ditemukan prasasti atau catatan sejaman yang menyebutkan kanjuruhan.
^Bosch,, F.D.K; Hoesein Djajadiningrat, Pangeran Ario, . De Sanskrit Inscriptie op den steen van dinaja/ door F.D.K Bosch. Weltevreden :: Albrecht,. (1886-1960. (1923)). De Sanskrit Inscriptie op den steen van dinaja/ door F.D.K Bosch. Weltevreden: Albrecht, 1923.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
^Poerbatjaraka, Raden Mas Ngabei (1926). Agastya in der Archipel. Leiden: E.J.Brill.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)