Periode Tulip
Periode Tulip adalah sebuah periode ketika Kesultanan Turki Usmani mulai melakukan perubahan-perubahan untuk mengorientasikan dirinya dengan bangsa-bangsa Eropa pada awal abad ke-18. Selama periode itu, kehidupan Turki Usmani banyak terpengaruh oleh negara-negara Eropa Barat, seperti Prancis dan Inggris, terutama dalam bidang kesenian dan kemajuan ekonomi. Pada Periode Tulip pula transfer ilmu pengetahuan dari dunia Barat ke dunia Timur semakin gencar terjadi. Periode ini dinamai "tulip" karena pada masa ini kelompok elit Utsmaniyah sangat menggemari bunga tulip.[1] Kondisi Turki Usmani sebelum Periode TulipSelama periode antara akhir abad ke-16 sampai abad ke-17, posisi pemerintahan kesultanan dipegang oleh para sultan dan perdana menteri yang lemah dan tidak cakap dalam mewarisi kebesaran Turki Usmani sebelumnya. Oleh karena itu, terjadi sebuah periode yang stagnan ketika Turki Usmani tidak lagi mengembangkan dan memperbaharui sistem-sistem negaranya. Hal ini disebabkan oleh dua faktor: internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan dengan keadaan di dalam pemerintahan kesultanan itu sendiri. Faktor eksternal berupa semakin intensifnya penetrasi-penetrasi Eropa ke wilayah Turki Usmani sehingga mereka selalu disibukkan dengan perang yang berkepanjangan. Setelah Sulaiman I (1520–1566) wafat, para calon sultan tidak lagi pergi ke sekolah-sekolah khusus untuk mendapatkan pendidikan, tetapi mengurung diri di Istana Seraglio, sebuah istana khusus untuk menyenangkan sultan yang diisi oleh para harem. Pemerintahan kesultanan sendiri dijalankan oleh wazir agung yang bergelar Pasha. Akibatnya, sultan menjadi tidak cakap dalam memerintah dan akhirnya banyak terjadi pergolakan di dalam kesultanan sehingga modernisasi menjadi terlambat. Selain itu, karena kuatnya peranan para ulama dan elit militer, beberapa kesempatan untuk modernisasi menjadi terhambat, seperti penolakan para ulama terhadap mesin cetak yang ditemukan Gutenberg pada abad ke-15 karena dianggap sebagai “alat setan”. Para janissari pun ikut mericuhkan suasana dengan meminta hak-hak khusus, seperti hak untuk menikah dan bekerja selain di bidang militer. Sebuah stagnasi pun terjadi dan Turki Usmani tidak berkembang karena tetap mempertahankan nilai-nilai lama yang bersumber pada agama dan hukum tradisional. Kondisi di EropaDi lain tempat, Eropa sudah berkembang akibat ramainya arus perdagangan dan munculnya industri-industri baru pada abad ke-18, ditambah dengan penemuan-penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Negara-negara Eropa, seperti Prancis dan Inggris, bahkan sudah menanamkan pengaruhnya di Mesir, Aljazair, dan beberapa wilayah muslim lainnya di Asia Barat. Kedekatan ini akhirnya mempertemukan Turki Usmani dengan kebudayaan Eropa Barat yang saat itu telah tercerahkan. Para pelajar Turki Usmani pun mulai membanding-bandingkan kedua kebudayaan tersebut. Dalam beberapa hal, bangsa Eropa terbukti lebih maju. Hal ini akhirnya disadari oleh Sultan Ahmed III (1703–1730), yang merasa memerlukan adanya satu perubahan di dalam tubuh kesultanan dan memulai reformasi agar bisa mengorientasikan Turki Usmani dengan Eropa. Hal ini mutlak dilakukan agar kesultanan tidak jatuh lebih dalam lagi ke dalam konflik yang berkepanjangan dengan bangsa-bangsa Eropa yang mana selalu menjadi musuh mereka selama berabad-abad lamanya. Konflik dengan RusiaHanya saja, sebelum era reformasi itu dimulai, ada beberapa masalah besar yang muncul. Pada tahun 1709, Rusia di bawah Peter I berperang dengan Swedia yang dipimpin oleh Charles XII. Pada Pertempuran Poltava tahun 1709, pasukan Swedia mengalami kekalahan telak dan Charles XII harus pergi mencari bantuan untuk menyelamatkan tahtanya. Kemudian, dia pergi ke Turki Usmani dan membujuk Ahmed III untuk memerangi Rusia. Bujukannya berhasil dan Turki Usmani akhirnya berperang melawan Rusia selama satu tahun lamanya (1710–1711) yang diakhiri dengan kemenangan Turki Usmani. Kemenangan ini sekaligus menghentikan laju Rusia yang saat itu sudah menjadi sebuah kerajaan besar dan telah melakukan modernisasi dengan gaya Eropa Barat. Setelah itu, masih ada beberapa rangkaian peperangan lagi dengan bangsa Eropa, terutama Austria dan Venesia. Perang itu berlangsung selama dua tahun, antara tahun 1716 sampai dengan tahun 1718. Namun, semuanya dapat diatasi dengan baik oleh Ahmed III dengan menggunakan kekuatan diplomatiknya. Dia berhasil mencapai kesepakatan untuk berdamai dengan kedua bangsa itu melalui Perjanjian Passarowitz tahun 1718. Perjanjian ini kurang lebih isinya adalah memberikan beberapa wilayah di Eropa Timur kepada Austria dan beberapa pulau di Asia Kecil kepada Venesia. Bagi Turki Usmani, perjanjian damai ini menguntungkan walaupun mereka harus kehilangan sebagian wilayahnya. Dengan perjanjian itu, maka Turki Usmani tidak akan diserang oleh kerajaan-kerajaan Eropa sehingga mereka bisa lebih memfokuskan diri untuk melakukan reformasi dan modernisasi dalam tubuh pemerintahan dan administrasi kesultanan. Referensi
|