Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

 

Perang Italia–Etiopia Kedua

Perang Italia-Etiopia Kedua

Tentara Italia di Etiopia pada 8 November 1935
TanggalOktober 1935–Mei 1936
LokasiEtiopia
Hasil

Kemenangan Italia

  • Italia menduduki Etiopia sampai tahun 1941
Perubahan
wilayah
Penggabungan Etiopia ke Italia
Pihak terlibat

Kerajaan Italia

Kekaisaran Etiopia
Didukung oleh:
 Nazi Jerman
Tokoh dan pemimpin
Benito Mussolini
Emilio De Bono
Pietro Badoglio
Rodolfo Graziani
Haile Selassie
Ras Imru
Kekuatan
800.000 (hanya ~330.000 yang dimobilisasi) ~250.000
Korban
1000-1500 tewas1 (perkiraan Mei 1936)[1]
44.000 terluka (perkiraan Mei 1936)[2]
950 tewas2 (perkiraan 1936-1940)[3]
144.000 sakit dan terluka (est. 1936-1940)[4]
~760.000 tentara dan penduduk tewas, termasuk 300.000 tewas karena kelaparan[5]

Perang Italia-Etiopia Kedua adalah perang singkat yang dimulai pada Oktober 1935, antara Kerajaan Italia dan Kekaisaran Etiopia (juga disebut Abyssinia). Perang ini menyebabkan penggabungan Etiopia kepada Afrika Timur Italia.

Secara politik, perang ini diingat karena membuka kelemahan Liga Bangsa-Bangsa. Krisis Abyssinia, diikuti dengan Insiden Mukden (penggabungan tiga provinsi Republik Tiongkok kepada Kekaisaran Jepang), sering dilihat sebagai contoh jelas kegagalan Liga ini. Baik Italia maupun Etiopia merupakan anggota liga ini, tetapi Liga Bangsa-Bangsa tidak mampu mengontrol Italia untuk melindungi Etiopia.

Latar Belakang

Kondisi Afrika Timur

Kerajaan Italia mulai berupaya mendirikan koloni di Tanduk Afrika pada dekade 1880an. Fase pertama perluasan kolonial berakhir dengan Perang Italia-Etiopia Pertama dan kekalahan tentara Italia di Pertempuran Adwa, pada 1 Maret 1896, dan dimenangkan oleh Tentara Etiopia di bawah kekuasaan Negus Menelik II, dibantu oleh Rusia dan Prancis.[6] Pada tahun-tahun berikutnya, Italia mengabaikan rencana perluasan di daerah itu dan hanya lanjut memerintah daerah kolonial yang sudah dimilikinya di sekitar, antara lain koloni Eritrea Italia dan protektorat (kemudian koloni) Somalia Italia. Dalam beberapa dekade kemudian, hubungan ekonomi dan diplomatis Italia-Etiopia tetap relatif stabil.[7]

Pada 14 Desember 1925, pemerintah fasis Italia menandatangani pakta rahasia dengan Britania, yang isinya antara lain meneguhkan dominasi Italia di daerah Afrika Timur. London menyadari bahwa Italia memiliki kepentingan di daerah tersebut dan menyetujui permintaan Italia untuk membangun jalur kereta yang menghubungkan Somalia dan Eritrea. Meski upaya kedua belah pihak untuk menjaga pakta ini tetap rahasia, kebocoran informasi cepat terjadi dan pakta ini menjadi diketahui oleh Prancis dan Etiopia, yang menjadi marah. Etiopia mencela pakta itu sebagai pengkhianatan terhadap sebuah negara yang secara penuh merupakan anggota Liga Bangsa-bangsa.[8]

Seiring dengan berjalannya radikalisme dalam pemerintahan fasis di Italia, para gubernur kolonial Italia fasis di daerah Tanduk Afrika terus mendorong perbatasan imperial mereka. Gubernur Eritrea Italia, Jacopo Gasparini, mulai mengeksploitasi daerah Teseney dan memenangkan hati para pemimpin Suku Tigray untuk mau bersama-sama melawan Etiopia. Gubernur Somaliland Italia, Cesare Maria de Vecchi, memulai kebijakan represi yang berujung pada okupasi Jubaland, sebuah daerah subur, serta penghentian kerja sama antara kaum penduduk dengan kaum Somali lokal di tahun 1928.

Insiden Welwel

Perjanjian Italia-Afrika 1928 menyatakan bahwa perbatasan antara Somaliland Italia dengan Etiopia adalah 21 liga sejajar dengan pantai Benadir (kurang lebih 1.183 kilometer [735 mil]). Pada tahun 1930, Italia membangun sebuah benteng di oasis Welwel (bahasa Italia: Ual-Ual) di Ogaden, dan menjaganya dengan dubat (preman perbatasan yang dikomandoi pejabat Italia) dari Somalia. Benteng di Welwel berada jauh di balik perbatasan 21 liga tersebut dan sudah masuk jauh ke dalam wilayah Etiopia. Pada 23 November 1934, sekelompok komite perbatasan Inggris–Etiopia yang sedang mempelajari tanah peternakan untuk mengetahui perbatasan jelas antara Somaliland Inggris dengan Etiopia, tiba di Welwel. Komite tersebut berisi teknisi Etiopia dan Britania, dijaga oleh sekitar 600 prajurit Etiopia. Kedua sisi tahu bahwa orang Italia telah membangun pos jaga militer di Welwel dan tidak kaget ketika mereka melihat bendera Italia di oasis itu. Pemerintah Etiopia kemudian memberi tahu otoritas Italia di Somaliland Italia bahwa ada sebuah komite yang sedang bekerja di daerah Ogaden, dan meminta orang Italia agar mau bekerja sama. Ketika komisioner Letnan-Jendral Esmond Clifford meminta izin orang Italia untuk mendirikan kamp di dekat pos militernya, sang komandan Italia, Kapten Roberto Cimmaruta, menolak permintaan itu.[9]

Fitorari Shiferra, komandan tentara Etiopia yang menjaga komite, tidak menyadari bahwa ada kumpulan 150 orang tentara Italia dan Somalia di dekatnya dan ia mulai mengatur kamp. Sementara itu, agar menghindari insiden antara Italia dan Etiopia, Clifford memindahkan kontingen Britania ke Ado, sekitar 20 mi (32 km) ke arah timur laut. Pesawat Afrika mulai terbang di atas Welwel. Para komisioner Etiopia pulang dengan orang Britania, tetapi tentara yang menjaganya tetap di situ. Selama 10 hari, kedua belah pihak bertukar sikap agresif, kadang-kadang tidak lebih jauh dari 2 m antara satu sama lain. Kontingen Etiopia mendapatkan tambahan tentara sekitar 1.500 prajurit dan Italia juga mendapatkan sekitar 500 prajurit. Tembakan mulai bisa didengar pada 5 Desember 1934. Orang Italia didukung dengan mobil lapis baja dan pesawat pengebom. Bom yang diluncurkan meleset tetapi serangan senjata mesin dari mobil lapis baja itu memakan nyawa sekitar 110 orang Etiopia.[10] Sekitar 30 sampai 50 orang Italia dan Somali juga terbunuh. Insiden ini kemudian berujung pada Krisis Abyssinia di Liga Bangsa-bangsa.[11] Pada 4 September 1935, Liga Bangsa-bangsa memaafkan kedua belah pihak bagi insiden ini.[12]

Isolasi Etiopia

Britania dan Prancis yang lebih menyukai Italia sebagai sekutu melawan Jerman tidak banyak melakukan langkah tegas untuk menyingkirkan kumpulan tentara Italia di perbatasan antara Eritrea dan Somaliland. Dengan Permasalahan Jerman, Mussolini juga harus menekan Hitler agar tidak menganeksasi Austria, sementara kebanyakan tentaranya masih berada di Tanduk Afrika. Kesulitan ini menyebabkan Mussolini mendekat ke Prancis agar Prancis mau memberikan bantuan yang ia butuhkan.[13] Raja Vittorio Emmanuele III, seperti orang Italia lain, menghormati kekuatan angkatan laut Britania dan memerintahkan Mussolini agar tidak menantang Britania sebelum ia mendapatkan persetujuan perang.[13] Dengan situasi seperti ini, diplomasi Britania pada awal tahun 1935 sangat membantu upaya Mussolini memenangkan dukungan Vittorio untuk memulai perang.[13]

Pada 7 Januari 1935, sebuah perjanjian ditandatangani, yang di dalamnya Prancis memberikan kebebasan kepada Italia di Afrika, dan sebagai gantinya Italia mau membantu dalam perang di Eropa.[14] Pierre Laval mengatakan kepada Mussolini bahwa ia menginginkan persekutuan Prancis-Italia melawan Jerman Nazi, serta menekankan bahwa Italia punya "kebebasan" di Etiopia.[13] Pada bulan April, Italia semakin memanas setelah perjanjian Front Stresa; di dalam persetujuan tersebut, Italia, Britania dan Prancis setuju untuk menekan perlawanan Jerman terhadap Perjanjian Versailles.[15] Di draf awal komunike Pertemuan Stresa tertulis tentang menjaga stabilitas seluruh dunia, tetapi Menteri Luar Negeri Britania, Sir John Simon, menyatakan bahwa draf terakhirnya harus mengatakan bahwa Britania, Prancis dan Italia berkomitmen untuk menjaga stabilitas "di Eropa". Komitmen ini dibaca Mussolini sebagai pengakuan Britania bahwa Italia bebas menginvasi Etiopia.[13] Pada bulan Juni, Mussolini semakin yakin bahwa Britania tidak akan mengganggu karena telah terjadi semacam kerenggangan politis antara Britania Raya dan Prancis, dengan Perjanjian Laut Inggris-Jerman.[16] 300.000 tentara Italia kemudian dipindahkan ke Eritrea dan Somaliland Italia pada musim semi dan panas tahun 1935. Media dunia kemudian penuh dengan spekulasi bahwa Italia akan segera menginvasi Etiopia.[13] Pada bulan Juni 1935, Anthony Eden tiba di Roma dengan pesan bahwa Britania menentang invasi itu dan punya rencana alternatif, yaitu Italia akan diberikan koridor di Etiopia untuk menggabungkan kedua koloni Italia di Tanduk Afrika. Rencana ini ditentang habis-habisan oleh Mussolini.[13] Pada saat itu, Italia mampu membaca pesan rahasia angkatan laut Britania. Ia kenal baik masalah-masalah yang ada dalam Angkatan Laut Britania di Laut Mediterania. Ia kemudian menganggap bahwa penentangan Britania terhadap invasi Etiopia ini, meskipun mengejutkan, tetapi tidak serius, dan Britania tidak akan pernah memerangi Italia karena Etiopia.[17]

Kemungkinan bahwa akan terjadi keretakan antara hubungan Britania dan Inggris kemudian dianggap sebagai kesempatan oleh Jerman. Jerman memberikan senjata kepada Etiopia, meskipun Hitler sebenarnya tidak ingin Haile Selassie menang, agar Italia tidak selesai berperang terlalu cepat.[18] Sudut pandang Jerman adalah: jika Italia terpaksa menghabiskan waktu lama untuk berperang di Etiopia, maka Britania mungkin akan mendorong Liga Bangsa-bangsa untuk segera memberikan sanksi kepada Italia, yang hampir tidak mungkin diveto Prancis, agar hubungan dengan Britania tidak semakin rusak. Pada akhirnya, perang itu akan menimbulkan krisis dalam hubungan Britania-Italia dan pada titik itu, Jerman kemudian akan masuk dan memberikan "bantuannya" kepada Italia.[18] Dengan cara itu, Hitler berharap bisa menjadikan Mussolini sekutunya, sambil pada waktu yang sama menghancurkan perjanjian Front Stresa.[18]

Sekutu asing lain yang mungkin bagi Etiopia adalah Jepang. Negara ini dianggap sebagai model oleh beberapa intelektual Etiopia. Setelah Peristiwa Welwel, beberapa kelompok sayap kanan Jepang, termasuk Asosiasi Asianisme Agung dan Perkumpulan Naga Hitam, berupaya mengumpulkan uang sumbangan demi membantu Etiopia. Duta Besar Jepang kepada Italia, Dr. Sugimura Yotaro, pada 16 Juli meyakinkan Mussolini bahwa Jepang tidak memiliki kepentingan politik di Etiopia dan akan tetap netral dalam perang yang akan datang. Komentarnya menimbulkan ketegangan massal di Jepang; dalam masyarakat Jepang ada semacam kedekatan rakyat dengan imperium non-kulit putih di Afrika tersebut.[19] Ketegangan ini dibalas dengan ketegangan di dalam Italia terhadap Jepang, serta pujian terhadap Mussolini yang selalu bersikap tegas terhadap gialli di Tokyo ("Orang kuning Tokyo").[19] Walau mendapat dukungan dari masyarakat, ketika Etiopia mendekati Jepang untuk bantuan pada tanggal 2 Agustus, mereka ditolak; bahkan permintaan sederhana kepada pemerintah Jepang untuk memberikan pernyataan dukungan resmi kepada Etiopia pada perang yang akan datang, pun ditolak.[20]

Referensi

  • De Bono E., La preparazione e le prime operazioni, Rome: Istituto Nazionale Fascista di Cultura, 1937.
  • Starace, A., La marcia su Gondar. Milan: A. Mondadori, 1937.
  • Graziani, R. Fronte di Sud, Milano 1938
  • Mockler, Anthony, Haile Selassie's War. New York: Olive Branch Press.

Pranala luar

Referensi

  1. ^ Alberto Sbacchi, "The Price of Empire: Towards an Enumeration of Italian Casualties in Ethiopia 1935-1940," in ed. Harold G. Marcus, Ethiopianist Notes, vol. II, No. 2, p.37.
  2. ^ Sbacchi, "The Price of Empire," p.36.
  3. ^ Sbacchi, "The Price of Empire," p.43.
  4. ^ Sbacchi, "The Price of Empire," p.38.
  5. ^ Secondary Wars and Atrocities of the Twentieth Century Angelo Del Boca, The Ethiopian War 1935-1941 (1965), cites a 1945 memorandum from Ethiopia to the Conference of Prime Ministers which tallies 760,300 natives dead; of them, battle deaths: 275,000, hunger among refugees: 300,000, patriots killed during occupation: 75,000, concentration camps: 35,000, Feb. 1937 massacre: 30,000, executions: 24,000, civilians killed by air force: 17,800; Angelo Del Boca, The Ethiopian War 1935-1941 (1965)
  6. ^ Labanca 2004, hlm. 28–66.
  7. ^ Dominioni 2008, hlm. 7.
  8. ^ Labanca 2004, hlm. 146-148.
  9. ^ Barker 1968, hlm. 1–6.
  10. ^ Barker 1968, hlm. 6–7.
  11. ^ Mockler 2003, hlm. 46.
  12. ^ Shinn & Ofcansky 2013, hlm. 392.
  13. ^ a b c d e f g Kallis 2000, hlm. 126.
  14. ^ Stearns & Langer 2002, hlm. 677.
  15. ^ Crozier 2004, hlm. 108.
  16. ^ Stackelberg 2009, hlm. 164.
  17. ^ Kallis 2000, hlm. 127.
  18. ^ a b c Kallis 2000, hlm. 145.
  19. ^ a b Ishida, Ken (2002). "Racisms compared: Fascist Italy and ultranationalist Japan". Journal of Modern Italian Studies. 7 (3): 380–391. doi:10.1080/1354571021000026625. 
  20. ^ Clarke 1999, hlm. 9–20.
Kembali kehalaman sebelumnya