Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Pemerintahan kolaboratif


Pemerintahan kolaboratif adalah strategi pengelolaan pemerintahan yang melibatkan pemangku kepentingan di luar pemerintah secara langsung, bertujuan untuk melaksanakan kebijakan publik dan program-program publik, serta berorientasi pada konsensus dan musyawarah dalam proses pengambilan keputusan yang bersifat kolektif.[1]

Agrawal dan Lemos mendefinisikan bahwa pemerintahan kolaboratif terbentuk atas adanya “multi-partner governance” yang meliputi sektor swasta/privat, masyarakat dan komunitas sipil. Jadi, tidak hanya terbatas pada pemangku kepentingan yang terdiri dari pemerintah dan non-pemerintah. Selain itu, pemerintahan kolaboratif terbangun atas sinergi peran pemangku kepentingan dan penyusunan rencana yang bersifat “hybrid” seperti halnya kerja sama publik-privat-sosial.[2] Fokus pemerintahan kolaboratif ada pada kebijakan dan masalah publik, serta menghendaki terwujudnya keadilan sosial dalam memenuhi kepentingan publik.[3]

Menurut Purwanti, kerjasama pada pemerintahan kolaboratif diinisasi karena keterbatasan sumber daya, kapasitas, maupun jaringan yang dimiliki setiap pihak. Sehingga dengan adanya kerjasama, bisa menyatukan dan melengkapi berbagai komponen yang mendorong keberhasilan pencapaian tujuan bersama. Masing-masing pihak mempunyai kedudukan yang setara dalam perumusan tujuan, visi misi, norma dan nilai bersama. Dengan kata lain, masing-masing pihak secara independen mempunyai wewenang dalam mengambil keputusan meskipun terikat pada kesepakatan bersama.[4]

Fase

Menurut Ratner, sebagai sebuah proses kolaborasi, pemerintahan kolaboratif mempunyai tiga tahapan atau fase, diantaranya:

  1. Identifikasi Hambatan dan Peluang. Fase ini adalah fase saling mendengarkan dan menerangkan permasalahan masing-masing pemangku kepentingan, serta memperhitungkan peluang penyelesaian (solusi) dari permasalahan.
  2. Strategi Debat untuk Mempengaruhi. Fase ini adalah fase diskusi atau dialog untuk menentukan langkah paling efektif yang akan dipilih dalam menyelesaikan permasalahan.
  3. Merencanakan Tindakan Kolaborasi. Fase ini adalah fase untuk merencanakan implementasi dari setiap strategi yang telah didiskusikan, mengukur setiap proses yang dilakukan, serta menentukan langkah untuk menjaga keberlanjutan proses kolaborasi agar bisa berjalan dalam jangka panjang.[5]

Prinsip

Pemerintahan kolaboratif memiliki 8 prinsip utama dalam penerapannya, yakni: (1) adanya pelibatan warga masyarakat dalam proses produksi barang publik; (2) masyarakat harus mampu memobilisasi sumber daya dan aset dalam menyelesaikan masalah publik; (3) pelibatan tenaga profesional untuk memberdayakan masyarakat; (4) melakukan musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan atau kebijakan; (5) kemitraan kolaboratif yang berkelanjutan harus selalu ada dalam setiap kebijakan; (6) kebijakan harus strategis; (7) kebijakan harus mengubah kelembagaan untuk penyelesaian masalah publik dan pemberdayaan masyarakat; (8) kebijakan harus memenuhi unsur akuntabilitas.[6]

Bentuk

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa pada hakikatnya kolaborasi secara filosofi merujuk pada kegiatan sharing antarpihak baik pendanaan, pandangan, ide-ide dan lainnya. Untuk itu, bentuk-bentuk kolaborasi dalam pemerintahan kolaboratif ada 3 (tiga) macam, berupa : (1) kolaborasi tim (team collaboration), (2) kolaborasi komunitas (community collaboration), dan (3) kolaborasi jaringan (network collaboration).[7]

Referensi

  1. ^ Ansell, Chris; Gash, Alison (2007-11-13). "Collaborative Governance in Theory and Practice". Journal of Public Administration Research and Theory. 18 (4): 543–571. doi:10.1093/jopart/mum032. ISSN 1477-9803. 
  2. ^ Emerson, K.; Nabatchi, T.; Balogh, S. (2011-05-02). "An Integrative Framework for Collaborative Governance". Journal of Public Administration Research and Theory. 22 (1): 1–29. doi:10.1093/jopart/mur011. ISSN 1053-1858. 
  3. ^ Astuti, Retno Sunu; Warsono, Hardi; Rachm, Abd. (2020). Collaborative Governance dalam Perspektif Administrasi Publik (PDF). Semarang: DAP Press. hlm. 42. ISBN 9786239115852. 
  4. ^ Febrian, Ranggi Ade (Oktober 2016). "COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN (Tinjauan Konsep dan Regulasi)" (PDF). WEDANA: Jurnal Pemerintahan, Politik dan Birokrasi. II (1): 200–208. 
  5. ^ Astuti, Retno Sunu; Warsono, Hardi; Rachim, Abd. (2020). Collaborative Governance dalam Perspektif Administrasi Publik (PDF). Semarang: DAP Press. hlm. 79–81. ISBN 9786239115852. 
  6. ^ Seigler, Daniel (2011-11). "Renewing Democracy by Engaging Citizens in Shared Governance". Public Administration Review. 71 (6): 968–970. doi:10.1111/j.1540-6210.2011.02452.x. ISSN 0033-3352. 
  7. ^ Saleh, Chairul (2020). "DAPU6107 – Kolaborasi Pemerintahan" (PDF). 


Kembali kehalaman sebelumnya