Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Pembelajaran multimedia

Pembelajaran multimedia mengacu pada penyajian materi pembelajaran dengan menggunakan kata-kata dan gambar-gambar dengan tujuan untuk mempromosikan belajar [1] sehingga materi pembelajaran yang disampaikan dapat diserap secara optimal dan tersimpan kuat di memori jangka panjang. Pembelajaran multimedia ini didasarkan pada tiga asumsi dasar, yaitu: 1) manusia memiliki saluran pemrosesan yang terpisah untuk memproses informasi yang bersifat audio dan visual; 2) saluran pemrosesan informasi yang dimiliki manusia memiliki kemampuan terbatas; 3) untuk belajar aktif (active learning) manusia memerlukan akses terhadap informasi yang relevan dan mengorganisasikannya serta mengintegrasikannya dengan informasi yang telah dikuasai sebelumnya.[2] [3]

Prinsip-Prinsip

Dalam implementasinya, ada kondisi dimana materi pembelajaran yang disampaikan bersifat menarik, namun memiliki unsur-unsur yang tidak relevan (extranous material) sehingga secara kognitif akan menyebabkan terjadinya pemrosesan ekstra (extranous processing) [4] . Prinsip-prinsip untuk mengelola pemrosesan ekstra, yaitu:

  1. Coherence, yaitu kata-kata, gambar, simbol dan musik yang menarik namun tidak relevan dengan materi pembelajaran yang disampaikan sebaiknya ditinggal atau dihapus.[5]
  2. Signaling, yaitu memberi tanda khusus (signal) seperti warna khusus, menyebutkan dengan nada yang lebih nyaring, dan menggunakan kata penunjuk (pointer words) pada poin-poin penting dari suatu materi yang disampaikan.
  3. Redundancy, yaitu orang akan belajar dengan lebih baik dari materi yang disajikan dengan grafik (visual) dan narasi (spoken words) daripada dari grafik (visual), narasi (spoken words) dan teks tercetak (printed words). Materi yang bersifat redundan akan mengganggu fokus seseorang dalam memahami materi inti yang disajikan [6]
  4. Spatial Contiguity, yaitu orang akan belajar dengan lebih baik ketika kata-kata dan gambar yang berkaitan disajikan dengan jarak yang berdekatan
  5. Temporal Contiguity, yaitu orang akan belajar dengan lebih baik ketika kata-kata dan gambar yang berkaitan disajikan secara bersamaan daripada bergantian.

Materi pembelajaran yang esensial adalah informasi yang relevan dengan tujuan pembelajaran. Namun, ada kondisi materi esensial tersebut terlalu banyak sehingga kapasitas kognitif untuk memprosesnya menjadi terbatas (essential processing overload).[7] Prinsip-prinsip untuk mengelola pemrosesan esensial, yaitu:

  1. Segmenting, yaitu orang akan belajar dengan lebih baik jika materi disajikan dalam bentuk unit-unit pendek daripada dalam satu unit yang panjang.
  2. Pre-Training, yaitu orang belajar lebih baik dari materi yang dikemas dalam format multimedia jika sebelumnya telah mengetahui nama dan karakteristik penting dari topik yang disampaikan.
  3. Modality, yaitu orang belajar lebih mendalam dari gambar dan narasi (spoken words) daripada dari gambar dan teks tercetak (printed words)

Prinsip-prinsip untuk mendorong pemrosesan generatif, yaitu memahami materi pembelajaran yang disajikan dalam format multimedia dan mengintegrasikannya dengan informasi yang telah dipahami sebelumnya adalah:

  1. Multimedia, orang belajar lebih baik dari kata-kata dan gambar daripada dari sekedar kata-kata.
  2. Personalization, yaitu menyajikan materi dengan format multimedia menggunakan bahasa percakapan lebih baik daripada bahasa formal.
  3. Voice, yaitu orang belajar lebih baik dari materi yang disampaikan dalam format multimedia ketika kata-kata dinarasikan langsung oleh manusia daripada oleh robot atau mesin.
  4. Image, yaitu orang belajar lebih baik dari materi yang disajikan dalam format multimedia ketika gambar diam (static image) instruktur/penyaji tidak ditampilkan di layar. [8]

Catatan Kaki

  1. ^ Mayer, Richard E. Multimedia Learning (edisi ke-2). hlm. 3. 
  2. ^ Clark, James M.; Paivio, Allan. "Dual coding theory and education". Educational Psychology Review: 151–156. 
  3. ^ Mutlu-Bayraktar, Duygu; Cosgun, Veysel; Altan, Tugba. "Cognitive load in multimedia learning environments: A systematic review". Computers & Education: 3–4. 
  4. ^ Mayer, Richard E. Multimedia Learning (edisi ke-3). hlm. 85–87. 
  5. ^ Moreno, Roxana; Mayer, Richard E. "A coherence effect in multimedia learning: The case for minimizing irrelevant sounds in the design of multimedia instructional messages". Journal of Educational Psychology: 123–124. 
  6. ^ Sweller, John. The Redundancy Principle in Multimedia Learning. hlm. 159. 
  7. ^ Mayer, Richard E. Multimedia Learning (edisi ke-3). hlm. 243–245. 
  8. ^ Mayer, Richard E. Multimedia Learning (edisi ke-2). hlm. 221–242. 

Daftar Pustaka

Mayer, Richard E. (2009). Multimedia Learning (edisi ke-2). Cambridge University Press. ISBN 978-0-511-50070-1. 

Mayer, Richard E. (2021). Multimedia Learning (edisi ke-3). Cambridge University Press. ISBN 9781107187504. 

Clark, James M.; Paivio, Allan (1991). "Dual coding theory and education". Educational Psychology Review. 3: 149–210. doi:10.1007/BF01320076. 

Moreno, Roxana; Mayer, Richard E. (2000). "A coherence effect in multimedia learning: The case for minimizing irrelevant sounds in the design of multimedia instructional messages". Journal of Educational Psychology. 92 (1). doi:10.1037/0022-0663.92.1.117. 

Sweller, John (2012). "10" The Redundancy Principle in Multimedia Learning. Dalam Mayer, Richard E. The Cambridge Handbook of Multimedia Learning. Cambridge University Press. doi:10.1017/CBO9780511816819. ISBN 9780511816819. 

Kembali kehalaman sebelumnya