Pelucutan senjata nuklir adalah aksi mengurangi atau menghapus senjata nuklir yang bertujuan untuk mewujudkan dunia yang bebas nuklir dengan cara menyingkirkan semua senjata nuklir. Sementara itu, istilah denuklirisasi digunakan untuk menggambarkan proses yang mengarah pada pelucutan senjata nuklir sepenuhnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa negarawan Amerika Serikat juga telah menganjurkan pelucutan senjata nuklir. Sam Nunn, William Perry, Henry Kissinger, dan George Shultz telah meminta pemerintah untuk mewujudkan visi dunia yang bebas nuklir, dan beberapa artikel surat kabar juga menyatakan dukungannya terhadap hal tersebut. Organisasi-organisasi seperti Global Zero, kelompok pendukung anti nuklir yang beranggotakan lebih dari 300 orang, juga telah dibentuk.
Para pendukung perlucutan nuklir menilai bahwa langkah tersebut akan mengurangi kemungkinan terjadinya perang nuklir, baik disengaja ataupun tidak. Sedangkan penentang perlucutan nuklir berpendapat bahwa langkah tersebut akan menghalangi deterensi.
Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki dan berakhirnya Perang Dunia II diikuti oleh uji coba nuklir Trinity, dan bom atom yang dijuluki Little Boy diledakkan di Hiroshima, Jepang, pada tanggal 6 Agustus 1945. Kekuatan ledakan ini setara dengan 12.500 ton TNT, memusnahkan hampir 50.000 bangunan dan menewaskan sekitar 75.000 jiwa.[6] Segera setelah itu, persediaan nuklir dunia mulai tumbuh secara bertahap.[4]
Operasi Crossroads adalah serangkaian uji coba nuklir yang dilakukan oleh Amerika Serikat di Atol Bikini, Samudera Pasifik, pada musim panas 1946. Tujuan operasi ini adalah untuk menguji pengaruh senjata nuklir terhadap kapal angkatan laut. Tekanan untuk membatalkan operasi ini datang dari para ilmuwan dan diplomat. Para ilmuwan yang terlibat dalam Proyek Manhattan menilai bahwa operasi tersebut tidak perlu dilakukan karena membahayakan lingkungan. Riset yang dilakukan oleh Los Alamos menunjukkan bahwa uji coba ini akan mengubah "kondisi air di sekitar permukaan ledakan menjadi minuman penyihir" akibat radioaktif. Untuk mempersiapkan uji coba ini, penduduk asli Bikini dipindahkan ke pulau-pulau yang lebih kecil dan tidak berpenghuni.[7]
Peluruhan radioaktif akibat uji coba nuklir pertama kali menjadi perhatian publik pada tahun 1954, ketika uji coba bom Hidrogen di Pasifik mengontaminasi awak kapal nelayan Jepang, Daigo Fukuryū Maru.[8] Salah seorang nelayan tewas di Jepang tujuh bulan kemudian. Insiden ini menyebabkan munculnya keprihatinan dari seluruh dunia dan "mendorong lahirnya gerakan anti senjata nuklir di berbagai negara."[8][9]
Gerakan perlucutan nuklir
Gerakan anti nuklir mulai muncul di Jepang dan pada tahun 1954, mereka berkumpul untuk membentuk sebuah organisasi bernama "Japanese Council Against Atomic and Hydrogen Bombs". Penentangan terhadap uji coba nuklir di Pasifik menyebar dengan cepat di kalangan warga Jepang, dan diperkirakan telah berhasil mengumpulkan 35 juta tanda tangan dalam petisi yang menyerukan pelarangan senjata nuklir.[9] Di Britania Raya, Mars Aldermaston yang diprakarsai oleh Campaign for Nuclear Disarmament digelar untuk pertama kalinya di Ester pada tahun 1958; ribuan orang berjalan kaki selama empat hari dari Trafalgar Square, London, menuju markas Atomic Weapons Research Establishment di Aldermaston, Berkshire, untuk menunjukkan penentangan mereka terhadap senjata nuklir.[10][11] Aksi Aldermaston ini terus berlanjut hingga tahun 1960-an.[9]
Pada tanggal 1 November 1961, di puncak Perang Dingin, sekitar 50.000 wanita yang tergabung dalam Women Strike for Peace melakukan aksi protes di 60 kota di Amerika Serikat untuk menunjukkan penentangan terhadap senjata nuklir. Aksi ini adalah aksi protes nasional wanita terbesar pada abad ke-20.[12][13]
Pada tahun 1958, Linus Carl Pauling dan istrinya menyerahkan sebuah petisi kepada PBB. Petisi tersebut ditandangani oleh 11.000 ilmuwan yang meminta negara-negara untuk mengakhiri uji coba senjata nuklir. "Baby Tooth Survey yang dilakukan oleh Dr. Louise Reiss pada tahun 1961 menunjukkan bahwa uji coba nuklir yang dilakukan di atas tanah akan membahayakan kesehatan masyarakat dalam bentuk peluruhan radioaktif; radioaktif bisa menyebar melalui susu sapi yang mengonsumsi rumput yang telah terkontaminasi.[14][15][16] Riset ini menyebabkan publik semakin mengecam uji coba nuklir di atas tanah. Pada tahun 1963, John F. Kennedy dan Nikita Khrushchev menandatangani Traktat Pelarangan Pengujian Nuklir.[17] Saat traktat tersebut mulai diberlakukan, Pauling menerima Hadiah Nobel Perdamaian atas kampanye tak henti-henti yang dilakukannya untuk menentang penggunaan senjata nuklir.[5][18] Pauling mendirikan Liga Internasional Humanis pada tahun 1974. Ia ditunjuk sebagai presiden World Union for Protection of Life dan juga menjadi salah satu penandatangan Pernyataan Dubrovnik-Philadelphia.
Pada 1980-an, gerakan yang mendukung pelucutan senjata nuklir kembali menguat akibat retorika agresif presiden Ronald Reagan. Reagan memiliki misi untuk mewujudkan "dunia yang bebas nuklir",[19][20][21] yang dianggap sebagai lelucon oleh para pemimpin Eropa.[21] Reagan akhirnya membuktikan bahwa ia bisa mewujudkan hal tersebut dengan memulai perundingan dengan Uni Soviet terkait dengan masalah pelucutan senjata nuklir,[21] yang menghasilkan "START" (Strategic Arms Reduction Talks).[20]
Pada tanggal 12 Juni 1982, sekitar satu juta orang berunjuk rasa di Central Park, New York City, menentang senjata nuklir dan menuntut agar negara-negara mengakhiri perlombaan senjata Perang Dingin. Aksi ini adalah protes anti nuklir terbesar dalam sejarah Amerika Serikat.[2][3] Protes dalam rangka Hari Internasional Pelucutan Senjata Nuklir juga digelar pada 20 Juni 1983 di 50 kota di Amerika Serikat.[24][25] Pada tahun 1986, ratusan orang berjalan kaki dari Los Angeles menuju Washington D.C. dalam aksi Great Peace March for Global Nuclear Disarmament.[26] Sejumlah protes juga digelar di Nevada Test Site pada akhir 1980-an dan awal 1990-an.[27][28]
Pada tanggal 1 Mei 2005, 40.000 demonstran anti nuklir/anti perang berjalan melewati markas besar PBB di New York City, 60 tahun setelah Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki.[29][30] Protes anti nuklir terus berlangsung hingga akhir 2000-an, terutama dalam menanggapi rencana Amerika untuk membangun reaktor nuklir baru.[31][32][33]
^ abJerry Brown and Rinaldo Brutoco (1997). Profiles in Power: The Anti-nuclear Movement and the Dawn of the Solar Age, Twayne Publishers, pp. 191-192.