Gusti Kacil atau Gusti Muhammad Tarip (Syarif) bergelar Pangeran Perbatasari adalah mangkubumi Kesultanan Banjar (Pagustian) dan sekaligus seorang pejuang perang Banjar. Kampanye Pangeran Perbatasari berlangsung antara tahun 1882-1885.[1]
Perang Banjar (1859-1905), yang melibatkan Pangeran Antasari, meletus saat Kesultanan Kutai di bawah pemerintahan Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Dalam rangka menggalang dukungan raja-raja di pesisir timur Pulau Kalimantan, pihak Banjar mengerahkan Pangeran Perbatasari. Pangeran Perbatasari adalah menantu dari Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari. Kerajaan Pasir dan Kerajaan Kutai pun berusaha dia datangi. Namun, Perbatasari rupanya gagal mendapat dukungan Kerajaan Pasir. “Pertemuan antara Perbatasari dan Sultan Pasir tidak sempat terjadi karena Sultan segera kembali ke ibu kotanya. Besar kemungkinan alasannya karena Sultan Pasir ketika itu tidak ingin terlibat dalam perlawanan terhadap pemerintah Belanda,” tulis Helius Sjamsuddin dalam Pegustian dan Temenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis, dan Dinasti perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, 1859-1906 (2001:328).
Setelah gagal mendapat dukungan dari Sultan Pasir, Perbatasari dan pengikutnya menuju Kutai untuk meminta dukungan Sultan Kutai. Namun Sultan Kutai, Sultan Aji Muhammad Sulaiman malah menyerahkannya kepada pihak Belanda. "Bagaimanapun Perbatasari dan orang-orangnya dengan mudah tetapi 'secara khianat' ditangkap atas perintah Sultan Kutai dan kemudian mereka diserahkan kepada Asisten Residen Tromp,” tulis Helius Sjamsuddin.
Penangkapan Pangeran Perbatasari April 1885
Perbatasari, menurut catatan Kembuan, "bersama 84 pengikutnya menuju Kutai untuk membujuk Sultan Kutai memberikan bantuan dalam perlawanan Muhamad Seman terhadap Belanda. Namun, ternyata bukan bantuan yang diperoleh, justru Sultan Kutai melaporkan kejadian itu kepada S.W. Tromp, asisten residen untuk Kutai dan pantai Timur Kalimantan, pada 30 Maret 1885."
Atas petunjuk Residen Broers, Tromp diperintahkan menemui Sultan Kutai (Aji Muhammad Sulaiman) pada 22 April 1885 untuk meminta Perbatasari diserahkan kepada pemerintah Belanda. Pangeran Perbatasari pun ditangkap.
Ia ditangkap bulan April 1885, kemudian dikirim ke Banjarmasin, lalu dibawa ke Manado dan ditahan di kampung Tikala Ares kemudian dia menjadi orang buangan di Kampung Jawa Tondano bersama 18 orang pengikutnya. Roger Allan Christian Kembuan dalam tesisnya Bahagia di Pengasingan: Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Buangan di Kampung Jawa Tondano 1830-1908 (2016:92) menyebut: “Surat keputusan mengenai pengasingan Perbatasari ke Tondano ditandatangani oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda, Otto van Rees melalui Besluit Gubernur Jenderal 11 Oktober 1855 No. 1/C147.“
Di Kampung Jawa Tondano, dia kemudian kawin dengan keturunan pengikut Kyai Mojo bernama Rasni Mas Hanafie dan hidup dengan tunjangan 50 gulden. Satu orang saudara laki-lakinya (Gusti Amir) kemudian menyusul ke Kampung Jawa Tondano dan menikah dengan wanita JATON (fam.Sataruno).
Pustaka
Pranala luar