Pandangan Islam tentang evolusi beragam, mulai dari evolusi teistik hingga kreasionisme. Umat Islam meyakini Tuhan sebagai pencipta makhluk hidup, seperti dinyatakan dalam Al-Quran. Sepanjang sejarah beberapa pemikir Muslim telah mengajukan dan menerima unsur-unsur teori evolusi, sambil tetap memercayai kekuasaan Tuhan dalam prosesnya. Pada masa modern, beberapa Muslim menolak evolusi, dan pengajaran evolusi dilarang di beberapa negara. Pertentangan utama antara Islam dan evolusi adalah Adam dan Hawa sebagai leluhur manusia, sebuah konsep yang bertentangan dengan antropologi biologis modern.[1]
Teologi
Tidak seperti dalam Alkitab, kisah penciptaan pada Al-Qur'an tidak dicertikan dalam satu bagian, melainkan dapat di hubungkan dari ayat-ayat yang ditemukan di seluruh Al-Qur'an.[2]
Penciptaan alam semesta
Beberapa sarjana Muslim masa kini menganjurkan untuk menginterpretasikan istilah al-sama, secara tradisional dipercaya sebagai sebuah rujukan kepada langit dan tujuh langit,[3] juga merujuk kepada alam semesta secara keseluruhan. Oleh karena itu, mereka berargumen bahwa Al-Qur'an menegaskan peristiwan Ledakan Dahsyat pada Surah al-Anbiya'[4][5][6][7][8] dimana Al-Qur'an menyatakan bahwa langit dan bumi menjadi satu sebelum akhirnya berpisah:[9]
Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi, keduanya, dahulu menyatu, kemudian Kami memisahkan keduanya dan Kami menjadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air?
— Quran 21:30
Pandangan tersebut, yang dimana Al-Qur'an merujuk singularitas Ledakan Besar juga diterima oleh cendekia Muslim seperti Muhammad Tahir-ul-Qadri dan Muhammad Asad.[10][11] Banyak Muslim menginterpretasikan kisah penciptaan dalam Al-Qur'an dalam konteks sains, dan beberapa sarjana seperti Faheem Ashraf dari Islamic Research Foundation International, Inc. dan Sheikh Omar Suleiman dari Institut Penelitian Islam Yaqeen berargumen bahwa teori ilmiah dari inflasi alam semesta dideskripsikan pada Surah Az-Zariyat:[10][12][13]
Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami), dan Kami benar-benar meluaskannya.
— Quran 51:47
Beberapa sarjana moderen memahami bahwa "asap" yang disebut pada Surah Fussilat kemungkinan merujuk kepada kondisi semesta beberapa menit setelah peristiwa Ledakan Besar, saat alam semesta masih berupa sup hidrogen dan helium panas:[8]
Kemudian Dia menuju ke langit dan (langit) itu masih berupa asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan patuh.”
— Quran 41:11
Terkait dengan enam periode waktu (hari) alam semesta diciptakan,[14] kebanyakan Muslim memiliki pandangan bahwa keenam hari tersebut bukan merupakan hari matahari 24 jam, melainkan sebuah unit waktu relatif yang berbeda, dimulai dari awal terciptanya alam semesta.
Pemikir Muslim Fatimidal-Mu’ayyad fi’l-Din al-Shirazi menegur ide bahwa penciptaan dunia terjadi dalam heman hari yang setara dengan 24 jam, 1000 atau 50,000 tahun. Ia menanyai mengenai bagaimana penciptaan bisa diukur dengan sebuah unit waktu bila waktu tersebut belum diciptakan, dan bagaimana sebuah Pencipta Maha Agung dibatasi oleh batasan waktu bila waktu tersebut merupakan dari ciptaannya.
Kata "yawm" di Al-Qur'an sudah dipahami dengan betul, didefinisikan sebagai sebuah periode waktu yang panjang—sebuah era atau eon. Oleh karena itu, orang Muslim menginterpretasikan deskripsi dari penciptaan "enam hari" sebagai enam periode atau eon yang berbeda. Panjang waktu dari periode tersebut, beserta dengan perkembangan yang terjadi selama periode tersebut berlangsung tidak didefinisikan dengan pasti.[15]
Konsep dari hari istirahat (Sabat) tidak muncul dalam Al-Qur'an. Bahkan, konsep bahwa Tuhan membutuhkan istirahat setelah penciptaan secara tegas dibantah dalam Al-Qur'an:[16][17][18]
Dan sungguh, Kami telah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan Kami tidak merasa letih sedikit pun.
Kemunculan kehidupan sebagian besar dibahas dalam Al-Qur'an saat membahas mengenai penciptaan manusia. Menurut Al-Qur'an, kehidupan memiliki asal-usul dari satu makhluk atau wujud,[20] dengan beberapa sarjana meyakini bahwa hal tersebut merujuk kepada LUCA. Al-Qur'an menyatakan bahwa semua keberadaan manusia berasal dari ekstrak tanah organik.[21][22][23] Satu-satunya rujukan yang jelas mengenai penciptaan dari kehidupan non-manusia disebut pada Surah al-Anbiya':
Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi, keduanya, dahulu menyatu, kemudian Kami memisahkan keduanya dan Kami menjadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air?
— Quran 21:30
Menurut Muhammad Asad, "hanya air yang memiliki properti yang dibutuhkan untuk kemunculan dan perkembangan kehidupan."[24]
Penciptaan manusia
Âdam dan istrinya (Dalam tradisi Islam disebut dengan Ḥawwāh), muncul didalam Qur'an sebagai lelaki dan perempuan pertama. Al=Qur'an menyatakan bahwa mereka diciptakan dari air dan saripati tanah liat.[25][26] Campuran ini disebut diberi waktu untuk berkembang[27] dan dijadikan hidup dengan ditiupkannya ruh kedalamnya.[28] Kemudian, diikuti dengan sujud massal kepada nabi adam, dan pengebirian jin seperti Iblis. Beberapa sarjana Muslim menyarankan bahwa ayat-ayat tersebut memiliki beberapa interpretasi secara metafor, karena Qur'an mendukung ide bahwa beberapa ayat dapat memiliki lebih dari satu makna[29]
Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur'an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur'an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.
— Quran 3:7
Kebanyakan sarjana Muslim, termasuk Yasir Qadhi, yakin bahwa Adam dan Hawa terbentuk secara mukjizat dari Tuhan.[30]Caner Taslaman,[31][32] Mohamed Ghlian,[33]Yaşar Nuri Öztürk,[34]Adnan Ibrahim,[35]Ghulam Ahmed Pervez,[36]Edip Yüksel,[37][38][39] beserta sarjana Muslim klasik dan moderen lainnya[40] dalam satu waktu atau lainnya berargumen bahwa pasangan tersebut berevolusi secara alami dari sebuah leluhur bersama, sementara sarjana lainnya menyatakan kepercayaan mereka dengan evolusi, namun juga meyakini bahwa Adam dan Hawa merupakan satu-satunya pengecualian.[butuh rujukan]
Pada era yang lebih moderen, terdapat lebih banyak dukungan pada ide bahwa manusia berevolusi secara alami, bedasarkan ayat yang menyebut:
Dan Tuhanmu Mahakaya, penuh rahmat. Jika Dia menghendaki, Dia akan memusnahkan kamu dan setelah kamu (musnah) akan Dia ganti dengan yang Dia kehendaki, sebagaimana Dia menjadikan kamu dari keturunan golongan lain.
— Quran 6:133
Sarjana pro-evolusi merujuk ayat tersebut sebagai leluhur manusia,[35] sementara sarjana pro-kreasionisme berargumen bahwa "golongan lain" merujuk kepada peradaban manusia yang hidup sebelumnya.[41]
^"Islam creation story". nau.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 December 2019. Diakses tanggal 12 January 2020.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Taslaman, Caner (2017). Bir Müslüman Evrimci Olabilir Mi?. Destek Yayınları. ISBN9786053112082.
^Taslaman, Caner (2016). Evrim Teorisi Felsefe ve Tanrı. Istanbul Yayınevi. ISBN9789758727049.
^Ghlian, Mohamed (6 April 2014). "On Muslims & Evolution". On Matters Islamic, Political, Scientific, & Philosophical. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 August 2017. Diakses tanggal 23 April 2017.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)