Palanro adalah sebuah kelurahan di kecamatan Mallusetasi, Barru, Sulawesi Selatan, Indonesia. Pada abad ke-15 M, Palanro adalah sebuah permukiman dalam kekuasaan Kerajaan Nepo yang bekerja sama dengan Kedatuan Suppa. Lalu pada abad ke-17 M, wilayah Palanro berada dalam Kerajaan Nepo tetapi dalam pengawasan Pemerintah Hindia Belanda akibat dari Perjanjian Bungaya (1667). Pada awal abad ke-19, Palanro menjadi daerah vasal Kedatuan Suppa dan pada dekade ketiga menjadi bagian dari Kedatuan Sidenreng akibat peperangan dengan Inggris dan Belanda.
Sejarah
Palanro awalnya adalah sebuah permukiman yang terletak di bekas anak sungai Suppa di bagian barat daya Ajatappareng. Wilayahnya berbatasan dengan permukiman lain yaitu Manuba dan Nepo. Lokasi Palanro tepat berada di pantai bagian barat yang berbatasan langsung dengan daratan utama Nepo di Mallawa dan Dusung. Wilayah Palanro pada abad ke-15 telah menjadi bagian dari Kedatuan Suppa dan menjadi salah satu lokasi perdagangan keramik.
Pada Perjanjian Bungaya (1667), ditetapkan beberapa kerajaan sekutu bagi Belanda dengan kedudukan sebagai kerajaan yang merdeka dan berdaulat. Salah satunya ialah Kerajaan Nepo yang wilayahnya mencakup Mallusetasi yang terdiri dari daerah Palanro, Soreang, Bacokiki, Bojo, dan Nepo. Di tiap wilayah kerajaan sekutu Belanda ditempatkan seorang penguasa Belanda yang bertugas sebagai pelindung dan perantara antara Belanda dengan kerajaan-kerajaan sekutunya.[3]
Sebelum tahun 1812, Palanro merupakan salah satu daerah vasal di wilayah Kedatuan Suppa dalam wilayah Mallusetasi. Pada tahun 1812, terjadi peperangan antara pasukan Inggris dengan pasukan Kedatuan Suppa. Pasukan Inggris berperang dengan menerima bantuan dari Addatuang Sidenreng XVI yaitu La Wawo (1779-1831 M) yang berkuasa di Kedatuan Sidenreng. Kekalahan ini membuat Kedatuan Suppa menyerahkan wilayah Mallusetasi kepada Kedatuan Sidenreng. Sehingga Palanro yang merupakan bagian dari Mallusetasi turut menjadi bagian dari Kedatuan Sidenreng.[4] Wilayah Kedatuan Suppa yang mulai dikuasai oleh Kedatuan Sidenreng pada abad ke-19 ialah anak-anak sungai di Palanro, Nepo, dan Manuba.
Sebelum tahun 1824, wilayah pantai Palanro masih menjadi bagian dari Kedatuan Suppa. Namun wilayah ini sepenuhnya menjadi wilayah Kedatuan Sidenreng pada tahun 1824. Perpindahan kekuasaan ini merupakan akibat dimulainya perang antara Kedatuan Suppa menghadapi Pemerintah Hindia Belanda yang bekerja sama dengan Kedatuan Sidenreng pada tahun 1824. Wilayah Palanro dijadikan liliq passiajingeng dalam Kedatuan Sidenreng bersama dengan wilayah pantai lainnya yaitu Bacukiki, Soreang, Bojo, dan Nepo.
Wilayah administratif
Dalam wilayah Kecamatan Mallusetasi, Palanro merupakan salah satu kelurahan yang wilayahnya termasuk pesisir pantai barat Kabupaten Barru.[8]
Fasilitas
Sekolah
Di Kelurahan Palanro terdapat sebuah sekolah dasar bernama Sekolah Dasar Inpres Palanro (SD Inpres Palanro). Sekolah ini didirikan pada tahun 1977. Alamat SD Inpres Palanro di Jalan Baco Enni Nomor 1. Letak SD Inpres Palanro berjarak 0,5 km dari arah timur Kantor Kecamatan Mallusetasi.[9]
Referensi
Catatan kaki
- ^ Amir, Muhammad (2016). Muhtamar, Syafruddin, ed. Penataan Mandar dalam Masa Kolonial Belanda 1905 - 1942 (PDF). Makassar: Arus Timur. hlm. 4–5. ISBN 978-602-6350-00-8.
- ^ Hasaruddin (2021). Yani, A., ed. Menyusuri Jejak Historis Kedatuan Sawitto di Pesisir Barat Jazirah Sulawesi Abad XVI-XVII (PDF). Gowa: Alauddin University Press. hlm. 62. ISBN 978-602-328-400-9.
- ^ Rahim, A., Kurniawan, A. W., dan Astuty, S. (2015). Laporan Tahunan Penelitian Hibah Bersaing: Pengembangan Model Strategi Pemberdayaan Wanita Nelayan untuk Meningkatkan Ekonomi Rumah Tangganya di Wilayah Pesisir Pantai Barat Kabupaten Barru (Tahun-1 dari Rencana 2 Tahun) (PDF). Makassar: Unversitas Negeri Makassar. hlm. 36.
- ^ Hasan, Kamaruddin (2018). Surahmin, ed. Model Kultur Sekolah Berbasis Multiintelligence (PDF). Sleman: Penerbit Deepublish. hlm. 3.
Daftar pustaka