Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

 

Ordinansi Darurat (Kekuasaan Esensial) (No. 2) 2021

Ordinansi Darurat (Kekuasaan Esensial) (No. 2) 2021 atau Ordinansi Berita Palsu adalah sebuah ordinansi darurat yang diadopsi dalam hukum pidana Malaysia pada bulan Maret 2021. Pengesahan Ordinansi Berita Palsu dilakukan karena maraknya disinformasi khususnya berupa berita palsu yang tersebar selama Pandemi COVID-19 di Malaysia. Hampir seluruh ketentuan di dalam Ordinansi Berita Palsu memuat ketentuan utama dalam Undang-Undang Anti-Berita Palsu 2018 yang telah dicabut statusnya sebagai undang-undang oleh Parlemen Malaysia pada bulan Oktober 2019.

Ordinansi Berita Palsu menetapkan status kriminalisasi pada tindakan-tindakan berupa pembuatan, penawaran, penerbitan atau publikasi berita palsu di Malaysia. Kriminalisasi berlaku pada penyebaran berita palsu di Malaysia dalam bentuk apapun yang mampu menyampaikan perkataan maupun gagasan. Pelaku penyebar berita palsu di Malaysia akan menerima hukuman utama berupa denda maksimal RM 100.000, pemenjaraan maksimal tiga tahun, atau keduanya sekaligus. Setelah pemberian hukuman, denda sebanyak RM 1.000 diberlakukan setiap hari kepada pelaku jika berita palsu belum dihentikan penyebarannya.

Pengesahan

Pada bulan Januari 2020, Sultan Abdullah selaku Raja Malaysia mengumumkan keadaan darurat nasional di Malaysia. Pengumuman keadaan darurat bertujuan untuk menghentikan penyebaran COVID-19.[1] Pada bulan Maret 2020, terjadi peralihan pemerintahan dari Koalisi Pakatan Harapan ke Koalisi Perikatan Nasional. Setelah peralihan pemerintahan, pengenalan kembali Undang-Undang Anti-Berita Palsu dilakukan oleh Koalisi Perikatan Nasional. Tujuannya untuk menangani penyebaran berita palsu terutama selama berlangsungnya Pandemi COVID-19 di Malaysia.[2]

Pada bulan Maret 2020, Kongres India Malaysia mendesak Pemerintah Malaysia agar Undang-Undang Anti-Berita Palsu diperkenalkan kembali. Desakan ini dimulai setelah terjadinya serangkaian penangkapan pelaku penyebaran disinformasi tentang Pandemi COVID-19 di Malaysia.[2] Selama sesi Parlemen Malaysia pada bulan November 2020, Shahidan Kassim selaku perwakilan dari Organisasi Kebangsaan Melayu Bersatu, mengajukan dan membahas proposal untuk membuat kembali Undang-Undang Anti-Berita Palsu.[3] Namun Parlemen Malaysia mengalami penangguhan fungsi akibat Proklamasi Darurat 2021. Parlemen Malaysia ditangguhkan fungsinya mulai 11 Januari 2021 hingga 1 Agustus 2021.[4]

Penangguhan fungsi Parlemen Malaysia sejak bulan Januari 2021 merupakan akibat dari penetapan COVID-19 sebagai suatu keadaan darurat di Malaysia.[5] Kondisi penangguhan fungsi Parlemen Malaysia membuat penerapan kembali atas Undang-Undang Anti-Berita Palsu 2018 mengalami penundaan.[6] Namun Koalisi Perikatan Nasional selaku perwakilan Pemerintah Malaysia akhirnya mengesahkan sebuah ordinansi darurat bernama Ordinansi Darurat (Kekuasaan Esensial) (No. 2) 2021 pada bulan Maret 2021 tanpa persetujuan dari Parlemen Malaysia.[5] Pengumuman pengesahan dilakukan oleh Muhyiddin Yassin sebagai wakil Pemerintah Malaysia.[7] Ordinansi Darurat (Kekuasaan Esensial) (No. 2) 2021 disebut juga sebagai Ordinansi Berita Palsu.[8]

Susunan isi

Ordinansi Berita Palsu memuat ketentuan-ketentuan yang saling tumpang tindih dengan undang-undang lain di Malaysia yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Malaysia, Undang-Undang Percetakan dan Penerbitan 1984, Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia 1998, dan Undang-Undang Anti-Berita Palsu 2018.[9] Ketentuan-ketentuan di dalam Ordinansi Berita Palsu hampir seluruhnya mengulang ketentuan utama yang terdapat dalam Undang-Undang Anti-Berita Palsu 2018 yang telah dicabut statusnya sebagai undang-undang oleh Parlemen Malaysia pada Oktober 2019.[1]

Pemidanaan

Ordinansi Berita Palsu menetapkan status kriminalisasi pada tindakan-tindakan berupa pembuatan, penawaran, penerbitan atau publikasi berita palsu. Definisi berita palsu dijelaskan pada Pasal 2 dalam Ordinansi Berita Palsu ialah segala jenis berita, informasi, data atau laporan yang seluruh atau sebagian isinya merupakan pernyataan yang salah terkait COVID-19 atau pengumuman keadaan darurat. Kriminalisasi berlaku terhadap pelaku jika penyebaran berita palsu dilakukan dalam bentuk fitur, rekaman visual, rekaman audio, atau dalam bentuk apa pun yang dapat menyiratkan perkataan atau gagasan.[10]

Pasal 4 dalam Ordinansi Berita Palsu menetapkan hukum berupa denda atau pemenjaraan bagi pelaku penyebar berita palsu di Malaysia yang telah terbukti bersalah. Selain itu, pelaku penyebaran berita palsu di Malaysia juga dapat dikenakan denda dan pemenjaraan sekaligus. Denda yang dibayar oleh pelaku maksimal sebanyak RM 100.000. Sedangkan hukuman penjara maksimal selama tiga tahun. Jika pelanggaran masih berlanjut setelah pemberian hukuman, maka pelaku penyebaran berita palsu didenda paling banyak RM 1.000 setiap hari hingga penyebaran berita palsu dihentikan.[10]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ a b ARTICLE 19 2021, hlm. 6.
  2. ^ a b Leong 2021, hlm. 12.
  3. ^ Asia Centre dan Council of Asian Liberals and Democrats (CALD) (2020). Defending Freedom of Expression Fake News Laws in East and Southeast Asia (PDF) (dalam bahasa Inggris). Bangkok dan Metro Manila: Asia Centre dan Council Of Asian Liberal and Democrats (CALD). hlm. 28. 
  4. ^ Leong 2021, hlm. 13.
  5. ^ a b ARTICLE 19 2021, hlm. 3.
  6. ^ Leong 2021, hlm. 12-13.
  7. ^ Asia Centre 2022, hlm. 15.
  8. ^ Asia Centre 2022, hlm. 1.
  9. ^ Asia Centre 2022, hlm. 13.
  10. ^ a b Asia Centre 2022, hlm. 16.

Daftar pustaka

Kembali kehalaman sebelumnya