Oen Boen Ing
dr. Oen Boen Ing (3 Maret 1903 – 30 Oktober 1982) adalah seorang dokter terkenal yang sosiawan di kota Solo. Ia dianugerahi gelar kehormatan Kanjeng Raden Toemenggoeng Hario Obi Darmohoesodo oleh Puro Mangkunegaran pada 11 September 1975. Riwayat HidupLatar belakang dan keluargaOen Boen Ing merupakan anak keempat dari delapan bersaudara dari pasangan Oen Hwie An, merupakan pedagang tembakau yang terkemuka di Salatiga, Jawa Tengah dan Tan Tjiet Nio. Ayahnya memiliki aset mulai dari Salatiga hingga Wonosobo, yang terdiri dari berbagai perkebunan dan pengeringan tembakau. Beliau juga merupakan cucu seorang sinshe Tionghoa yang juga suka menolong banyak orang. Saudara-saudara Boen Ing yang lain bernama Oen Djien Nio, Oen Kwat Nio, Oen Boen Gee, Oen Pien Nio, Oen Boen Dwan, Oen Boen Gay dan Oen Boen Tien. Karena pengaruh kakeknya itulah, ia kemudian dikenal sebagai dokter yang banyak membantu pasiennya, khususnya mereka yang tidak mampu membayar biaya dan ongkos membeli obat-obatan. Pada tanggal 16 November 1934, dr. Oen menikahi Corrie Djie Nio. Mereka pertama kali bertemu di Kota Kediri. Corrie merupakan putri dari Djie Thay Hien, seorang konglomerat Tionghoa terkemuka yang pernah ditunjuk Belanda sebagai Kapiten dan Mayor Tionghoa di Kediri, dan Han Wat Nio. Setelah 6 tahun merantau di Kediri, Oen kemudian memutuskan hijrah dan membuka praktik sebagai dokter swasta di Solo bersama istrinya. PendidikanBoen Ing merupakan lulusan dari HCS Salatiga, meneruskan ke MULO Semarang, dan kemudian melanjutkan ke AMS Yogyakarta. Boen Ing saat itu masih berumur 19 tahun ketika lulus dari AMS, umur yang tergolong belia untuk seorang lulusan AMS karena biasanya yang lulus dari AMS biasanya sudah berusia 20-21 tahun. Hal itu dikarenakan siswa AMS wajib mengikuti kursus Bahasa Belanda terlebih dulu selama 1-2 tahun. Sejak lulus sekolah menengah, Boen Ing sudah ingin mempelajari ilmu kedokteran Barat dan menjadi dokter. Namun, keinginannya ditentang keras oleh keluarga besarnya yang tidak ingin ia menjadi kaya dari penderitaan orang yang sakit, termasuk kakeknya sendiri menentangnya yang selama ini menjadi sumber inspirasinya. Kemudian, Boen Ing pun telah diproyeksikan sang ayah untuk meneruskan bisnis keluarga tersebut. Meskipun demikian, ia tetap bertekad mewujudkan cita-citanya untuk menjadi dokter, profesi yang saat itu belum banyak digeluti oleh orang Tionghoa. Dan baginya, profesi sebagai dokter dianggap mampu menyediakan posisi yang pasti ketimbang berdagang. Untuk mewujudkan cita-citanya, ia mendaftarkan diri di School tot Opleiding van Inlandsche Arsten (STOVIA) di Batavia. Singkat kata, Boen Ing pun berangkat ke Jakarta (saat itu masih bernama Batavia) tanpa restu penuh dari kedua orangtuanya. Oen Boen Ing lulus pada tahun 1932. Nilai-nilai pelajarannya pun tergolong sangat memuaskan. PengabdianDari Batavia pada tahun 1932, dr. Oen pun memulai perantauan pertamanya sebagai dokter di Kediri, Jawa Timur. Dirinya membantu praktek di Poliklinik Gie Sing Wan yang berada di bawah perkumpulan Hua Chiao Tsien Ning Hui (HCTNH) Kediri seperti kebanyakan poliklinik Tionghoa pada umumnya, keberlangsungan Poliklinik Gie Sing Wan sangat bergantung pada besarnya sumbangan yang masuk dari para donatur atau dari iuran pengurusnya. HCTNH berperan penting sebagai pencari dana guna memastikan agar poliklinik tersebut bisa beroperasi. Nama Oen Boen Ing tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Rumah Sakit Panti Kosala yang dimulai sebagai sebuah poliklinik kecil yang bernama Tsi Sheng Yuan atau Jisheng Yuan pada 29 Januari 1933, di sebuah paviliun sederhana di Jl. Mesen 106, Solo. Nama poliklinik itu berarti Lembaga Penolong Kehidupan. Poliklinik ini didirikan oleh delapan orang pemuda Tionghoa yang tergabung dalam Hua Chiao Tsing Nien Hui (disingkat HCTNH), yang artinya Perhimpunan Pemuda Tionghoa. Mereka itu adalah Jap Kioe Ong, Tan Kiong Djien, The Tjhioe Tik, Sie Ngo Siang, Sie Boen Tik, Gan Kok Sien, Tan Tiauw An, dan Jap Tiang Liem. Pada tahun 1935 Dr. Oen Boen Ing mulai terlibat dalam pelayanan klinik tersebut dan kemudian menjadi pemprakarsa berdirinya Yayasan Kesehatan Tsi Sheng Yuan, yang kemudian membentuk RS Panti Kosala. Hal ini terjadi sekitar tahun 1951, ketika Poliklinik Tsi Sheng Yuan dilepaskan dari HCTNH. Dr. Oen Boen Ing menganjurkan agar Tsi Sheng Yuan menjadi sebuah yayasan untuk menampung kegiatan poliklinik. Rumah sakit yang didirikan oleh Yayasan Tsi Sheng Yuan ini biasa disebut sebagai Rumah Sakit Kandang Sapi, karena pada 1954 rumah sakit ini dipindahkan ke daerah Kandang Sapi/Mojosongo (sampai sekarang) dan menjadi rumah sakit lengkap. Pada era Orde Baru, nama rumah sakit ini diubah menjadi RS Panti Kosala. Perjuangan KemerdekaanSampai tahun 1942, Poliklinik Tsi Sheng Yuan banyak membantu Chineesche Burger Organisatie (CBO) dan semasa pendudukan Jepang dikelola oleh Kakyo Sokai (Gabungan Organisasi-organisasi Tionghoa). Ketika perang kemerdekaan datang, poliklinik berubah fungsi menjadi rumah sakit darurat, menampung para pejuang dan pengungsi. Menurut kesaksian Soelarso, Ketua Paguyuban Rumpun Eks Tentara Pelajar Detasemen II Brigade XVII, "...tanpa menghiraukan tembakan Belanda, Dr Oen keluar masuk wilayah TNI untuk mengobati para prajurit..." Sejak tahun 1944, dr. Oen diangkat sebagai dokter pribadi Istana Mangkunegaran. Beliau juga banyak membantu para pejuang kemerdekaan di Zaman Revolusi, bahkan memasok penisilin untuk Jenderal Sudirman yang menderita TBC. Paska KemerdekaanPada tahun 1951, yakni pada masa Orde Lama, Yayasan Tsi Sheng Yuan berkembang dan berubah menjadi RS Panti Kosala. Ketika Poliklinik Tsi Sheng Yuan dilepaskan dari HCTNH. Dr. Oen Boen Ing menganjurkan agar Tsi Sheng Yuan menjadi sebuah yayasan untuk menampung kegiatan poliklinik. Rumah sakit yang didirikan oleh Yayasan Tsi Sheng Yuan ini biasa disebut sebagai Rumah Sakit Kandang Sapi, karena pada 1954 rumah sakit ini dipindahkan ke daerah Kandang Sapi/Mojosongo (sampai sekarang) dan menjadi rumah sakit lengkap. Kehidupan PribadiSebagai dokter, Oen Boen Ing terkenal tidak membeda-bedakan pasiennya, apapun juga kelompok etnis, suku, agama, dan kelas sosialnya. Bahkan pasien dibiarkannya mengisi ataupun tidak mengisi kotak uang yang terletak di ruang praktiknya secara suka rela. "Tugas seorang dokter adalah menolong," demikian semboyan kehidupan dan pelayanan Dr. Oen. Selain itu, Dr. Oen selalu membuka praktiknya sejak pk. 3.00 dini hari. Konon ini dihubungkan dengan hari kelahirannya, 3 Maret 1903. "Maka semua karya saya sebaiknya dimulai dengan angka 3," begitu katanya. Angka tiga memang menjadi ciri kehidupan Dr. Oen Boen Ing. Nomor telepon di rumahnya 3333. Bangunan pertama di Rumah Sakit Kandang Sapi yang didirikannya, dinamai Triganda, dan diresmikan pada 3 Maret 1963. Ketika Dr. Oen meninggal dunia pada 1982, rakyat banyak sungguh merasakan kehilangan yang besar. Hal ini tampak dari kehadiran ribuan rakyat kecil kepadanya yang berdiri di tepi jalan untuk memberikan penghormatan mereka yang terakhir kepada orang yang telah berjasa memberikan kehidupan yang lebih sehat kepada mereka di tengah-tengah keberadaan mereka yang serba kekurangan. PenghargaanDengan mudah dr. Oen dapat diterima oleh berbagai kelompok masyarakat di Surakarta. Oleh komunitas Arab, dr. Oen bahkan dijuluki sebagai dokternya orang Arab. Ketulusan dan pengabdian dr. Oen dalam bidang kesehatan, juga kontribusinya kepada kaum pejuang, khususnya Tentara Pelajar (TP), membuatnya direkomendasikan oleh veteran TP untuk menerima Satyalancana Kebaktian Sosial dari pemerintah Republik Indonesia pada 30 Oktober 1976. Ia juga dianugerahi gelar kebangsawanan oleh Sri Mangkunegoro VIII, dengan nama Kanjeng Raden Toemenggoeng Oen Boen Ing Darmohoesodo. Pada 24 Januari 1993, Sri Mangkunegoro IX menaikkan gelarnya dari Kanjeng Raden Toemenggoeng menjadi Kanjeng Raden Mas Toemenggoeng Hario Oen Boen Ing Darmohoesodo. WafatSejak April 1977, kondisi kesehatan dr. Oen terus menurun. Sang dokter menderita stroke berkepanjangan hingga akhirnya tutup usia pada 30 Oktober 1982. dr. Oen berpulang dalam usia 79 tahun di Rumah Sakit Telogorejo, Semarang pada pukul 08.30. Jenazahnya kemudian diperabukan pada hari Jumat, 5 November 1982 di Krematorium Thiong Ting, Surakarta setelah sebelumnya disemayamkan di rumah sakit yang ia rintis, Panti Kosala pada pukul 08.00 pagi. Pranala luar
|