Munir Said Thalib lahir di Batu, Jawa Timur. Ia merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara dari Said Thalib dan Jamilah Umar Thalib, putri dari Umar Muhammad Thalib dan Salmah Said Bajerei yang lahir pada 1926 di Singapura.[1] Buyut Munir, Said Thalib, pernah membintangi film Si Gomar (1941).[2] Ia memiliki garis keturunan ArabHadhrami dan Jawa.[3]
Munir mengambil studi ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya di Malang. Di bangku kuliah, ia aktif di Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia, Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan Berpikir, serta Himpunan Mahasiswa Islam; selain menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum. Ia lulus pada tahun 1989.[4][5]
Karier aktivisme
Selepas dari bangku kuliah, Munir memulai kariernya sebagai relawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) cabang Surabaya selama dua tahun, sebelum pindah kembali ke Malang sebagai kepala pos LBH Surabaya di kota tersebut.[6] dan menjadi Wakil Ketua bidang Operasional YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia).
Selepas tidak lagi menjadi pengurus di KontraS, Munir menjadi direktur Imparsial, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengawasi penegakan dan penghormatan atas HAM di Indonesia.[11]
Kematian
Tiga jam setelah pesawat GA-974 transit di Singapura dari Jakarta dengan tujuan Amsterdam, awak kabin melaporkan kepada pilot Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir, yang duduk di kursi nomor 40G, menderita sakit. Munir bolak-balik ke toilet. Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor kondisi Munir. Munir kemudian dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan berprofesi sebagai dokter, yang juga berusaha menolongnya saat itu. Penerbangan menuju Amsterdam memakan waktu 12 jam. Namun, dua jam sebelum mendarat pada 7 September 2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam di Bandara Schiphol Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal dunia.[12]
Pada tanggal 12 November 2004, diumumkan bahwa polisi Belanda (Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenik setelah dilakukan otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Hingga saat itu, belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir.
Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Umum Kota Batu. Ia meninggalkan seorang istri bernama Suciwati dan dua orang anak, yaitu Sultan Alif Allende dan Diva. Sejak tahun 2005, tanggal kematian Munir, 7 September, oleh para aktivis HAM dicanangkan sebagai Hari Pembela HAM Indonesia.[12]
Proses pengadilan bagi pihak terlibat
Pada 20 Desember 2005, Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi hukuman 14 tahun penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik dalam makanan Munir karena ingin membungkam pengkritik pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan, Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah nomor yang terdaftar atas nama seorang agen intelijen senior, namun hal ini tidak dijelaskan lebih lanjut. Selain itu, Presiden SBY juga membentuk tim investigasi independen,[13] namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah dipublikasikan.[14][15]
Pada 19 Juni 2008, Mayjen (Purn.) Muchdi Purwoprandjono ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir.[16] Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah kepadanya.[17] Namun, pada 31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Putusan ini sangat kontroversial, dan kasus ini ditinjau ulang, serta tiga hakim yang memvonisnya bebas kini tengah diperiksa.[10][18]
Pembocoran data kematian oleh peretas 2022
Pada September 2022, kasus pembunuhan berencana yang dilakukan terhadap Munir kembali ramai diperbincangkan di media sosial pasca munculnya sosok anonim yang bekerja sebagai peretas (hacker) bernama Bjorka[19] yang membongkar sejumlah data negara, termasuk di dalamnya data pribadi para pejabat negara mulai dari Menteri BUMN Erick Thohir hingga Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate,[20] melalui akun Telegram[21]. Tepat sebelum akun Twitter dan Telegramnya ditutup oleh pihak platform, Bjorka menyampaikan kronologi atas dalang di balik pembunuhan Munir.
Bjorka menjelaskan bahwa dalang dari pembunuhan Munir adalah Muchdi Purwoprandjono.[22] Muchdi memang sempat ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian pada 19 Juni 2008[23]. Pada saat dirinya ditetapkan sebagai tersangka, ia juga dicurigai memiliki motif sakit hati terhadap Munir. Keberanian Munir untuk menyuarakan permasalahan keterlibatan Tim Mawar dalam penculikan sejumlah aktivis berdampak pada karir Muchdi yang kala itu menjabat sebagai Kopassus Tim Mawar. Akhirnya, karir Muchdi pun sempat diberhentikan karena masalah tersebut[24]. Alasan tersebut pun disampaikan dan ditegaskan kembali oleh Bjorka.
Muchdi pertama kali diperiksa pada 16 Mei 2005. Hasil serangkaian pemeriksaan menunjukkan Pollycarpus Budihari Priyanto dan Muchdi aktif melakukan komunikasi pada periode September hingga Oktober 2004. Namun, dalam kesaksiannya di pengadilan pada 17 November 2005, ia menyangkal punya hubungan khusus dengan Pollycarpus[23].
Bjorka menjelaskan bahwa Muchdi menggunakan Pollycarpus, yang saat itu juga merupakan jaringan non-organik BIN, untuk membunuh Munir. Saat itu, Pollycarpus bekerja sebagai pilot di Garuda Indonesia. Pasalnya, saat itu, mereka mengetahui bahwa Munir akan terbang ke Belanda menggunakan Garuda Indonesia.
Selepas itu, Pollycarpus mulai bergerak untuk ditetapkan sebagai keamanan penerbangan agar dirinya bisa masuk ke pesawat mana pun, termasuk pesawat yang nantinya akan digunakan oleh Munir. Pollycarpus pun membuat surat rekomendasi kepada PT Garuda Indonesia untuk menetapannya sebagai pihak keamanan menggunakan komputer yang terletak di ruang staf di Deputi V BIN. Dalam proses pembuatan surat tersebut, Budi Santoso dari BIN pun mengetahuinya.
Budi Santoso sendiri memang sempat hadir sebagai saksi dalam proses persidangan tersebut[25]. Budi Santoso menjadi salah satu pihak yang akhirnya turut membongkar bahwa Pollycarpus dan Muchdi saling mengenal—pasca sebelumnya keduanya menyangkal bahwa mereka saling mengenal.[26]
Selepas itu, jelas Bjorka, Pollycarpus pun menyerahkan surat dari BIN yang telah ditandatangani—berisikan informasi bahwa dirinya ditugaskan untuk membunuh Munir—kepada Direktur Presiden PT Garuda Indonesia Indra Setiawan. Surat tersebut bernomorkan R-451/VII/2004. Pasca itu, Pollycarpus pun ditempatkan di bagian keamanan.
Kemudian Pollycarpus menelepon ke nomor Munir—yang saat itu diangkat oleh Suciwati—terkait dengan jadwal keberangkatan Munir. Pollycarpus pun mendapatkan informasi bahwa Munir akan terbang pada 6 September 2004 menggunakan Garuda Boeing 747-400 dengan nomor penerbangan GA-974.[25] Pollycarpus yang seharusnya menjadi pilot utama untuk penerbangan ke Peking, Cina, pada 5-9 September tersebut pun akhirnya bergabung dengan penerbangan Munir.
Dalam budaya populer
Film dokumenter
Untuk memperingati satu tahun meninggalnya Munir, diluncurkan film dokumenter karya Ratrikala Bhre Aditya dengan judul Bunga Dibakar di Goethe-Institut, Jakarta Pusat, 8 September 2005. Film ini menceritakan perjalanan hidup Munir sebagai seorang suami, ayah, dan teman. Munir digambarkan sosok yang suka bercanda dan sangat mencintai istri dan kedua anaknya. Masa kecil Munir yang suka berkelahi layaknya anak-anak lain dan tidak pernah menjadi juara kelas juga ditampilkan. Munir dibunuh pada era demokrasi dan keterbukaan serta harapan akan hadirnya sebuah Indonesia yang dia cita-citakan mulai berkembang. Semangat inilah yang ingin diungkapkan lewat film ini.[10]
Sebuah film dokumenter lain juga telah dibuat, berjudul Garuda's Deadly Upgrade hasil kerja sama antara Dateline (SBS TV Australia) dan Off Stream Productions.
Pada peringatan tahun kedua, 7 September 2006, di Tugu Proklamasi diluncurkan film dokumenter berjudul "His Story". Film ini bercerita tentang proses persidangan Pollycarpus dan fakta-fakta yang terungkap di pengadilan.[12][15]
Penghargaan
Pada tahun 1998, majalah Ummat menobatkan Munir sebagai Man of the Year.[27]
^Kristanto, J. B. (2007). Katalog film Indonesia, 1926-2007. Penerbit Nalar bekerja sama dengan Direktorat Perfilman, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, [dan] Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia. hlm. 10. ISBN978-979-26-9006-4.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)