Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

 

Monisme dan dualisme dalam hukum internasional

Istilah monisme dan dualisme digunakan dalam menggambarkan dua teori berbeda tentang hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Kebanyakan negara menganut sistem sebagian monis dan sebagian dualis dalam praktik penerapan hukum internasional ke dalam hukum nasional.

Monisme

Monisme menyatakan bahwa sistem hukum nasional dan internasional membentuk satu kesatuan. Aturan hukum nasional dan internasional yang telah diterima oleh suatu negara sama-sama menentukan apakah suatu tindakan itu sesuai dengan hukum atau tidak.[1] Di kebanyakan negara "monis", masih ada perbedaan antara hukum internasional (baik dalam bentuk perjanjian-perjanjian ataupun bentuk-bentuk yang lain, seperti kebiasaan hukum internasional atau jus cogens) dan nasional, sehingga mereka merupakan negara sebagian monis dan sebagian dualis. Di suatu negara yang murni menganut monisme, hukum internasional sama sekali tidak perlu diubah menjadi hukum nasional. Hukum tersebut secara otomatis berlaku di ranah hukum nasional, dan hukum internasional dapat langsung diterapkan oleh hakim di tingkatan nasional, dan dapat langsung digunakan sebagai landasan hukum dalam perkara oleh warga negara. Seorang hakim dapat menyatakan aturan nasional tidak sah jika bertentangan dengan aturan internasional karena di beberapa negara, hukum yang paling baru dikeluarkan memiliki prioritas. Di negara-negara seperti Jerman, perjanjian-perjanjian memiliki kekuatan hukum sama seperti undang-undang, dan dengan diberlakukannya asas Lex posterior derogat legi priori ("undang-undang baru menghapus yang sebelumnya"), maka perjanjian tersebut mengesampingkan undang-undang nasional dari masa sebelum ratifikasi. Sistem monisme yang paling murni menyatakan bahwa hukum nasional yang bertentangan dengan hukum internasional tidak berlaku lagi, bahkan jika hukum nasional tersebut dikeluarkan setelah hukum internasional atau jika hukum itu bersifat konstitusional.

Dari sudut pandang hak asasi manusia, monisme memiliki beberapa keuntungan. Sebagai contoh, suatu negara yang menerima perjanjian hak asasi manusia – misalnya, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, tetapi beberapa undang-undang nasionalnya membatasi kebebasan pers, maka seorang warga negara yang dituntut oleh negara tersebut apabila melanggar hukum nasional, dapat memohonkan perjanjian hak asasi manusia di ruang sidang nasional dan dapat meminta hakim menerapkan perjanjian tersebut dan memutuskan bahwa hukum nasional tidak sah. Ia tidak harus menunggu proses pengubahan hukum internasional ke dalam hukum nasional. Bagaimanapun, pemerintahannya dapat lalai atau bahkan tidak mau memasukkan hukum internasional.

"Jadi ketika seseorang di Belanda merasa hak asasi manusianya dilanggar, dia dapat pergi ke hakim Belanda dan hakim tersebut harus menerapkan hukum Konvensi. Ia harus menerapkan hukum internasional, meski hukum tersebut tidak sesuai dengan hukum Belanda".[2]

Dualisme

Konsep dualisme menekankan perbedaan antara hukum nasional dan internasional, dan mewajibkan pengubahan hukum internasional menjadi hukum nasional. Tanpa pengubahan, hukum internasional tidak diakui sebagai hukum. Hukum internasional harus menjadi hukum nasional, atau bukan hukum sama sekali. Jika suatu negara menerima sebuah perjanjian, tetapi tidak menyesuaikan hukum nasionalnya supaya sesuai dengan perjanjian tersebut; atau tidak menciptakan undang-undang nasional yang secara eksplisit memasukkan perjanjian tersebut, maka hal tersebut melanggar hukum internasional. Namun, seseorang tidak dapat mengklaim bahwa perjanjian tersebut telah menjadi bagian dari hukum nasional. Warga negara tidak dapat bergantung padanya dan hakim tidak dapat menerapkannya. Hukum nasional yang bertentangan dengan hukum internasional tetap berlaku. Menurut konsep dualisme, hakim nasional tidak pernah menerapkan hukum internasional, dan baru dapat melakukannya jika hukum internasional tersebut telah diubah menjadi hukum nasional.

"Hukum internasional tidak memberikan hak yang diakui oleh pengadilan nasional. Hukum ini hanya berlaku, sejauh aturan-aturan hukum internasional diakui termasuk ke dalam aturan hukum nasional; dan sejauh aturan-aturan tersebut diizinkan di pengadilan nasional untuk memberikan hak dan kewajiban".[3]

Supremasi hukum internasional merupakan suatu aturan dalam sistem dualisme, seperti halnya pada sistem monis. Sir Hersch Lauterpacht menunjukkan itikad pengadilan untuk mencegah penghindaran kewajiban-kewajiban internasional, dengan penegasan berulang-ulang tentang:

Asas hukum internasional yang sudah jelas bahwa negara tidak dapat menggunakan hukum nasional sebagai alasan untuk tidak memenuhi kewajiban internasionalnya.[4]

Jika hukum internasional tidak dapat diterapkan langsung, seperti halnya dalam sistem dualisme, maka hukum tersebut harus diubah menjadi hukum nasional, dan hukum nasional yang ada –  yang bertentangan dengan hukum internasional –  harus "diubah terlebih dahulu"; baik dengan penyesuaian atau dihapuskan supaya sesuai dengan hukum internasional. Dari sudut pandang hak asasi manusia, jika perjanjian hak asasi manusia diterima hanya karena alasan politik, dan negara-negara tidak berniat mengubahnya menjadi hukum nasional atau mengambil pandangan monisme atas hukum internasional, maka perjanjian tersebut tidak akan diberlakukan oleh negara yang bersangkutan.[5]

Permasalahan "lex posterior"

Dalam sistem dualisme, hukum internasional mesti diubah ke dalam hukum nasional, dan hukum nasional yang bertentangan dengan hukum internasional harus disesuaikan atau dihapuskan. Namun, keharusan untuk mengubah dalam sistem dualisme menimbulkan masalah terkait dengan undang-undang nasional yang diberlakukan setelah proses pengubahan. Dalam sistem monisme, undang-undang nasional yang diberlakukan setelah hukum internasional diterima, tetapi bertentangan dengan hukum internasional, menjadi batal dengan sendirinya. Aturan internasional akan terus berlaku. Namun, dalam sistem dualisme, hukum internasional yang asli diubah menjadi hukum nasional, tetapi hukum nasional ini kemudian dapat disingkirkan oleh hukum nasional lain dengan asas "lex posterior derogat legi priori", hukum yang dikeluarkan kemudian menyingkirkan yang sebelumnya. Ini berarti bahwa suatu negara (mau atau tidak mau) akan melanggar hukum internasional.[6] Sistem dualisme membutuhkan penyaringan terus menerus atas semua hukum nasional yang dikeluarkan sesudahnya akibat kemungkinan ketidakcocokan dengan hukum internasional.

Contoh-contoh

Di beberapa negara, seperti Britania Raya misalnya, pandangan dualisme sangat dominan. Hukum internasional baru menjadi bagian dari hukum nasional Britania setelah diubah menjadi hukum nasional. Sebuah perjanjian

"tidak memiliki kekuatan hukum dalam hukum nasional sebelum sebuah Undang-Undang Parlemen disahkan untuk memberi kekuatan hukum terhadapnya.

Di negara-negara lain, perbedaan ini cenderung kabur. Di sebagian besar negara demokratis di luar Persemakmuran, badan legislatif (atau bagian dari badan legislatif) turut serta dalam proses ratifikasi, sehingga ratifikasi itu menjadi sebuah tindakan legislatif, dan perjanjian tersebut pun mendapatkan kekuatan hukum di dalam hukum internasional dan hukum nasional secara bersamaan. Misalnya, Konstitusi Amerika Serikat menyatakan bahwa Presiden

'akan mempunyai Wewenang, atas dan dengan Nasihat dan Persetujuan Senat, untuk membuat Perjanjian, asal dua pertiga anggota Senat yang hadir setuju'.

Perjanjian-perjanjian yang diratifikasi sesuai dengan Konstitusi dengan sendirinya menjadi bagian hukum nasional Amerika Serikat".[7]

Amerika Serikat memiliki sistem monis-dualis "campuran". Hukum internasional berlaku langsung di pengadilan Amerika Serikat dalam beberapa perkara tetapi tidak pada perkara lainnya. Konstitusi Amerika Serikat, pasal VI, memang mengatakan bahwa perjanjian adalah bagian dari hukum tertinggi negara, seperti yang digambarkan pada kutipan di atas; tetapi, Mahkamah Agungnya dalam perkara Medellín v. Texas[8] menyatakan kembali bahwa beberapa perjanjian internasional tidaklah "sah dengan sendirinya." Perjanjian-perjanjian tersebut harus diberlakukan oleh undang-undang sebelum isinya mendapatkan kekuatan hukum di ranah nasional dan sub-nasional. Sama halnya dengan kebiasaan hukum internasional, Mahkamah Agung menyatakan dalam perkara Pacquete Habana (1900), bahwa "hukum internasional merupakan bagian dari hukum kita." Namun, pengadilan tersebut juga mengatakan bahwa kebiasaan hukum internasional akan dikesampingkan jika terdapat undang-undang legislatif, eksekutif, atau yudikatif yang mengatur sebaliknya ...[9]

Soal tradisi hukum nasional

Hukum internasional tidak mengatur apakah negara harus menganut monisme atau dualisme. Setiap negara memutuskan sesuai tradisi hukumnya sendiri. Hukum internasional hanya mensyaratkan bahwa aturan-aturannya harus tetap dihormati, dan negara-negara bebas memutuskan cara mereka menghormati aturan-aturan ini dan memberikannya kekuatan hukum di ranah nasional.

"Pengubahan norma-norma internasional ke dalam hukum domestik tidak diwajibkan dari sudut pandang hukum internasional ... kebutuhan pengubahan merupakan persoalan nasional, bukan hukum internasional ".[10]

Baik negara monis maupun dualis dapat mematuhi hukum internasional. Dapat disimpulkan bahwa negara monis menghadapi risiko pelanggaran hukum internasional yang lebih rendah, karena hakimnya dapat menerapkan hukum internasional secara langsung.[11] Kelalaian atau keengganan dalam menerapkan hukum internasional ke dalam hukum nasional hanya dapat menimbulkan masalah di negara-negara dengan sistem dualisme. Suatu negara bebas memilih cara yang mereka inginkan dalam menghormati hukum internasional, tetapi mereka selalu bertanggung jawab jika mereka gagal menyesuaikan sistem hukum nasional mereka dengan cara yang sesuai dengan hukum internasional. Apakah itu dengan memberlakukan konstitusi yang menerapkan sistem monis, sehingga hukum internasional dapat diterapkan secara langsung dan tanpa transformasi, atau tidak; tetapi pada akhirnya mereka harus mengubah semua hukum internasional menjadi hukum nasional. Negara-negara monis hanya bergantung pada hakim dan bukan pada anggota legislatif, tetapi hakim juga bisa membuat kesalahan. Jika seorang hakim di negara monis membuat kesalahan ketika menerapkan hukum internasional, maka negara tersebut melanggar hukum internasional sama seperti negara dualis yang tidak mengizinkan hakimnya menerapkan hukum internasional secara langsung dan gagal mengubah atau tidak melakukan pengubahan dengan benar dan efektif.[11] Salah satu alasan untuk lebih memilih dualisme adalah ketakutan bahwa hakim nasional tidak mengenal hukum internasional, yang merupakan suatu bidang hukum yang sangat rumit, dan karenanya terdapat kemungkinan besar bahwa mereka akan membuat kesalahan.

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ Pieter Kooijmans, Internationaal publiekrecht in vogelvlucht, Wolters-Noordhoff, Groningen, 1994, hlm. 82.
  2. ^ G.J. Wiarda, in Antonio Cassese, International Law in a Divided World, Clarendon Press, Oxford, 1992, hlm. 17.
  3. ^ James Atkin, Baron Atkin, in M. Akehurst, Modern Introduction to International Law, Harper Collins, London, hlm. 45.
  4. ^ Lihat The Development of International Law by the International Court, Hersch Lauterpacht (ed), Cambridge University Press, 1982, ISBN 0-521-46332-7, page 262
  5. ^ Antonio Cassese, International Law in a Divided World, Clarendon Press, Oxford, 1992, hlm. 15.
  6. ^ Pieter Kooijmans, Internationaal publiekrecht in vogelvlucht, Wolters-Noordhoff, Groningen, 1994, hlm. 84.
  7. ^ M. Akehurst, Modern Introduction to International Law, Harper Collins, London, hlm. 45.
  8. ^ 552 U.S. 491 (2008).
  9. ^ "Basic Concepts of Public International Law - Monism & Dualism", ed. Marko Novakovic, Belgrade 2013.
  10. ^ Antonio Cassese, International Law in a Divided World, Clarendon Press, Oxford, 1992, hlm. 21-22.
  11. ^ a b Pieter Kooijmans, Internationaal publiekrecht in vogelvlucht, Wolters-Noordhoff, Groningen, 1994, hlm. 83.
Kembali kehalaman sebelumnya