Mohammad Ali Anyang |
---|
Lahir | (1920-10-20)20 Oktober 1920 Nanga Menantak, Ambalau, Sintang, Borneo |
---|
Meninggal | 7 April 1970(1970-04-07) (umur 49) Singkawang, Kalimantan Barat |
---|
Nama lain | Ali Anyang |
---|
Dikenal atas | Pejuang kemerdekaan |
---|
Suami/istri | Siti Hajir |
---|
Anak | - Sri Endang Ratna Juwita
- Ida Triwati
- Mohammad Armyn Angkasa Alianyang
- Rina Yulia
- Rita Nuriati
- Rini Nuraini
- Siti Wahyuni
- Diah Purnama Wati
|
---|
|
Mohammad Ali Anyang (20 Oktober 1920 – 7 April 1970) adalah seorang tokoh pejuang kemerdekaan menentang pemerintahan Hindia Belanda di Kalimantan Barat.
Kehidupan
Masa kecil
Ali Anyang lahir di desa Nanga Menantak (sekarang masuk kecamatan Ambalau, Kabupaten Sintang). Orangtuanya, Lakak dan Liang memberinya nama, Anjang. Dalam keluarganya yang suku Dayak ini, Ali Anyang merupakan anak bungsu dari tujuh orang bersaudara.[1]
Pada usai 8 tahun, Ali Anyang menjadi anak angkat Raden Mas Suadi Djoyomiharjo, seorang kepala sekolah di daerah Sintang. Kemudian mengganti nama asli Ali Anyang yaitu Anjang menjadi Muhammad Ali Anyang. Ia memperoleh pengajaran agama Islam dari orang tua angkatnya. Dalam pendidikannya, Ali Anyang pernah bersekolah di Holland Inlandsche School (HIS) di Pontianak. Setelah tamat dari HIS, melanjutkan ke Sekolah Juru Rawat Centrale Burgerlijke Ziekem Inrichting (CBZ) atau Rumah Sakit Umum Pemerintah di Semarang. Setelah tamat kembali ke Pontianak dan bekerja di Rumah Sakit Umum Sei Jawi Pontianak.[2]
Perjuangan
Sebagai pemuda yang memiliki jiwa nasionalis tinggi, Ali Anyang tergerak hatinya untuk mengabdi dan berjuang membela kemerdekaan. Itu diwujudkan dengan bergabung bersama sejumlah pemuda yang menamakan diri Panitia Penyongsong Republik Indonesia (PPRI). Tujuan pembentukan PPRI tersebut adalah untuk menyebarluaskan berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia ke seluruh daerah di Kalbar.[1]
Sebagai anggota PPRI, Ali Anyang berperan dalam mencegah perebutan kekuasaan di Pontianak, yang akan dilakukan orang-orang berketurunan Tionghua yang tergabung dalam organisasi Penjaga Keamanan Umum (PKO). Seperti diketahui, sejalan dengan diterimanya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, di Pontianak pada 27 Agustus 1945 terjadi kekosongan pemerintahan.[3]
Pada tanggal 29 September 1945, belum lama setelah tentara Jepang pergi, Kota Pontianak kedatangan tentara Australia dan Belanda (NICA) yang bermaksud mengambil alih kekuasaan yang sebelumnya dipegang penjajah Jepang. Kedatangan tentara Australia di Pontianak hanya berlangsung kurang lebih satu bulan. Selanjutnya pada Oktober 1945, kekuasaan atas Kalimantan Barat diserahkan kepada Belanda dengan Residennya yang bernama Van Der Zwaal.[3]
Kedatangan NICA yang bermaksud menjajah kembali Kalbar, mendapat tantangan dari masyarakat. Ali Anyang beserta pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan lainnya berusaha menghalang-halangi maksud Belanda tersebut. Pada 12 November 1945, Ali Anyang bersama pejuang lainnya menyerbu ke tangsi dan gudang amunisi Belanda di Pontianak. Penyerbuan tersebut mengakibatkan beberapa orang pejuang mengalami luka berat dan ada yang gugur. Ali Anyang sendiri kemudian ditangkap dan ditahan di penjara Sei Jawi Pontianak.[1]
Beberapa bulan kemudian, tepatnya Februari 1946, Ali Anyang dibebaskan. Setelah keluar dari penjara, dokter Soedarso sebagai Ketua PPRI memerintahkan Ali Anyang untuk konsolidasi dan koordinasi kepada seluruh pejuang agar terus melakukan perlawanan terhadap Belanda di daerah-daerah. Karena di Kota Pontianak saat itu sudah sulit untuk melakukan pergerakan.
Setelah menerima perintah dokter Soedarso, Ali Anyang pergi ke wilayah Pantai Utara Kalbar, antara lain ke Mempawah, Singkawang dan Sambas. Tiba di Singkawang. Ia ditetapkan sebagai Komandan Pemberontakan di Kalbar oleh organisasi Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI). Selanjutnya ia menyusun dan mengkoordinir seluruh kekuatan yang ada. Pada 1 April 1946, terbentuklah sebuah organisasi diberi nama Barisan Pemberontak Indonesia Kalbar (BPIKB) yang bermarkas di Bengkayang yang dikomandani Ali Anyang.[4]
Pada 31 Agustus 1945, Ali Anyang dan pasukan BPIKB berencana menyerbu pasukan Belanda di Bengkayang yang sedang parade kemiliteran memperingati hari besar Ratu Wilhelmina. Namun penyerbuan itu gagal karena Belanda melakukan penjagaan ketat.
Kegagalan serangan pertama tidak membuat pasukan Ali Anyang putus asa. Satu tahun kemudian tepatnya 8 Oktober 1946, Ali Anyang dan pasukannya kembali menyerbu tangsi militer Belanda di Bengkayang. Para pejuang berhasil menguasai Kota Bengkayang dan mengibarkan bendera merah putih diiringi lagu Indonesia Raya.[4]
Penguasaan Kota Bengkayang oleh Ali Anyang dan pejuang lainnya tidak berlangsung lama, pasukan Belanda yang berasal dari Singkawang datang menggempur pasukan Ali Anyang. Pada 9 Oktober 1946, pasukan Belanda merebut kembali Kota Bengkayang.
Pasukan Belanda kemudian mencari Ali Anyang yang dianggap sebagai aktor dari penyerbuan tersebut. Belanda mengeluarkan sayembara dengan hadiah 25.000 gulden bagi siapa saja yang berhasil menemukan Ali Anyang. Dalam pengejaran tersebut Ali Anyang dan pejuang lainnya tetap melakukan perlawanan. Hal ini dibuktikan dengan peristiwa penyerbuan tangsi Militer Belanda di Sambas pada 10 Januari 1949.
Karena terdesak, Ali Anyang dan pasukannya mundur ke hutan-hutan. Pasukan Belanda terus mengejar hingga terjadi beberapa kali bentrokan senjata antara kedua belah pihak, yaitu 18 Januari 1949 di kampung Acan perbatasan Serawak dan 20 Maret 1949 bentrokan terjadi di kampung Camar Bulan.[4]
Pertempuran-pertempuran antara Ali Anyang dan pasukannya melawan Belanda akhirnya terhenti setelah pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Setelah mendengar berita itu, Ali Anyang memerintahkan kepada seluruh anggota pasukannya untuk kembali ke kampung halaman masing-masing.
Usai masa perang kemerdekaan, pada tahun 1950 Ali Anyang menikah dengan Siti Hajir seorang gadis asal Sambas. Dikarenakan tugasnya sebagai seorang perawat, Ali Anyang dan istrinya sering berpindah-pindah tempat. Di antaranya pernah ditugaskan ke Ciawi, Indramayu, Banjarmasin, Cililitan dan akhirnya kembali ke Kalbar. Dari pernikahannya itu, ia dikaruniai delapan orang anak yaitu Sri Endang Ratna Juwita, Ida Triwati, Mohammad Armin Ali Anyang, Rina Yulia, Rita Nuriati, Rini Nuraini, Siti Wahyuni dan Diah Purnama Wati.[3]
Semasa hidupnya, Ali Anyang pernah menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) II Kabupaten Sambas di Singkawang. Saat mengemban jabatannya tersebut, pada 7 April 1970 Ali Anyang meninggal dunia karena sakit. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bambu Runcing, Singkawang.[3]
Untuk mengenang kembali jasa-jasanya, dibangunlah sebuah monumen bernama Monumen Ali Anyang di simpang tiga jalan Trans Borneo Km-5 Kubu Raya, Kalimantan Barat.[5]
Penghargaan
Referensi