Mochamad KamalMochamad Kamal atau Muhammad Kamal (lahir 7 Juni 1920 di Payakumbuh – meninggal tidak diketahui) adalah seorang pejuang kemerdekaan, perwira militer TNI-AL, dan apoteker Indonesia.[1] Ia merupakan apoteker pertama lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang berjasa dalam pengembangan Lembaga Farmasi Angkatan Laut (LAFIAL) sehingga namanya diabadikan untuk lembaga tersebut.[2][3] Semasa kuliah di UGM, ia aktif menjadi wartawan dan memimpin majalah Gadjah Mada.[4] Ia juga terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang mengantarnya bergabung dengan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Namanya terlupakan setelah menandatangani Petisi 50. Ia wafat setelah beberapa lama menderita sakit akibat ditabrak mobil secara misterius di Padang. Kehidupan awalKamal lahir di Payakumbuh dari keluraga asal Maninjau.[5] Ia menyelesaikan HIS di Maninjau, MULO di Bukittinggi, dan AMS-B di Jakarta. Ia menjadi mahasiswa Ika Daigaku (kini Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) pada masa pendudukan Jepang.[6] AktivismeKamal berada di Jakarta pada masa awal revolusi fisik. Ia tergabung dalam Kelompok Prapatan 10, satu dari dua kelompok pemuda yang paling menonjol pada masa kemerdekaan. Ia ikut mendirikan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang dideklarasikan di Balai Muslimin Indonesia pada 2 Oktober 1945.[2] Selain itu, ia juga membantu berdirinya surat kabar Berita Indonesia.[7] Karena ketokohannya di kalangan pemuda, ia ditunjuk oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta memimpin rombongan pelajar dan pemuda ke Sumatera untuk menggerakan revolusi di daerah-daerah.[7][8][9][10][11][1][12] Rombongan yang disebut Pemuda Pelopor ini berangkat ke Sumatera pada 26 Oktober 1945 berbekal 50 eksemplar buku UUD 1945, pamflet semboyan revolusi, ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits, serta beberapa pucuk senjata.[13] Pada 2 November 1945, Kamal memimpin rapat besar di Gedung Balai Penyelidikan Kemerdekaan Padang Panjang yang dihadiri sekitar 500 orang untuk membahas strategi perjuangan rakyat menghadapi Belanda yang berusaha menjajah kembali Indonesia.[14] Kamal bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) setelah Kongres Mahasiswa Indonesia (KMI) di Malang bulan Maret 1947. Ia mensponsori pendirian cabang HMI di Malang usai kongres.[15] Sebelumnya, ia aktif di Persyerikatan Mahasiswa Malang (PMM) yang bersama Persyerikatan Mahasiswa Yogayakarta (PMY) bergabung menjadi Persyerikatan Mahasiswa Indonesia (PMI) pada April 1947.[16] Pada 1948, ia masuk ke Fakultas Farmasi UGM dan nantinya menerima gelar Sarjana Farmasi pada 1955.[17] Ia menjadi apoteker pertama lulusan perguruan tinggi farmasi Indonesia (disusul sejawatnya Zakaria Raib pada 1956). Selama masa studinya, Kamal tetap terlibat dalam lapangan perjuangan. Di kampus, ia memimpin majalah mahasiswa Gadjah Mada. Saat terjadi Agresi Militer Belanda II, ia bergabung di satuan Tentara Pelajar (CSA) di Surakarta bagian dari Brigade Slamet Riyadi.[1][18] Pada tanggal 15 Desember 1951, HMI melangsungkan Kongres Darurat di Yogyakarta, yang disepakati sebagai Kongres II. Kongres tersebut dihadiri tiga cabang, yakni Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung. Kamal menjadi delegasi cabang Yogyakarta bersama Lafran Pane, Muchtar Rum, dan Suripto. Karier militerKamal mulai berdinas di Kementerian Pertahanan RI di Yogyakarta dengan pangkat Letnan Satu pada 1948. Setelah pengakuan kedaulatan, ia pindah ke Direktorat Kesehatan ALRI. Berkat latar belakangnya sebagai apoteker, ia dipercaya mengembangkan unit farmasi ALRI yang berdiri pada 1950.[19] Unit tersebut diberi nama Depo Obat Angkatan Laut (DOAL) dan berlokasi di RSAL Mintohardjo Jakarta dengan Kamal sebagai apoteker satu-satunya. Dalam menjalankan tugas di DOAL, ia dibantu beberapa tenaga asisten apoteker dan beberapa juru obat lulusan SD dan SMP. Pada 1953, ia dikirim ke Technische Universität Carolo-Wilhelmina, Braunschweig, Jerman Barat selama setahun untuk mempelajari teknologi makanan dalam rangka persiapan membangun pabrik farmasi. Sejak 1955, ia memimpin Jawatan Farmasi Direktorat Kesehatan ALRI (menggantikan Mayor dr. Idris) yang menaungi DOAL. Pada 1961, dalam rangka persiapan Operasi Trikora, ia ditugaskan untuk mengadakan pembelian peralatan yang digunakan untuk pembuatan atau produksi obat-obatan ke Yugoslavia dan Jepang. Pada saat itu, obat merupakan barang yang langka sehingga jika dibuat sendiri akan dapat mengatasi kebutuhan obat selama operasi.[3] Pada 1965, ia mengikuti pendidikan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (SESKOAL). Sejak 1966 sampai 1970, ia menjadi Kepala Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hankam.[18][20] Dalam kapasitasnya ini, ia memimpin penelitian "Sejarah Pancasila dan Proklamasi" yang hasilnya diterbitkan dalam Kedjelasan Mengenai Pantjasila dan Proklamasi (1968).[21] Pada 29 September 1970, ia dilantik menjabat sebagai Kepala Hubungan Kekaryaan Kepala Staf TNI-AL[3][22] Selama masa dinasnya, ia beberapa kali mengikuti kursus dan seminar di luar negeri, di antaranya ke Yugoslavia (1957), Amerika Serikat (1963), dan Filipina (1965).[18] Ia juga duduk sebagai anggota DPR-GR periode 1965-1966 dan 1966–1971.[23] Aktivitas sosialPada 18 Juni 1955, musyawarah para apoteker seluruh Indonesia di Gedung Metropole sepakat membentuk Ikatan Apoteker Indonesia dengan E. Looho sebagai ketua dan Kamal sebagai sekretaris. Kamal menjadikan rumahnya di Jl. Teuku Umar sebagai sekreatiat.[24] Sebagai perantau Minang, ia aktif sebagai Ketua Ikatan Keluarga Maninjau.[25] Pada 1968, ia tergabung dalam kepanitian pembangunan Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Bukittinggi yang dipimpin Mohammad Natsir dengan tugas mencari dan mengumpulkan bantuan berupa uang dan alat-alat kesehatan.[26] Pada masa tuanya, ia menjadi Ketua Pengurus Masjid Cut Meutia (menggantikan Kol. Barlian yang meninggal pada 1975).[27] Masjid tersebut berlokasi tak jauh dari rumahnya. Akhir kehidupanPada 5 Mei 1980, Kamal bersama sejumlah tokoh ikut menandatangani Petisi 50. Ia merupakan penanda tangan nomor 1 dengan nama "H.M. Kamal".[28] Menurut AM Fatwa, Kamal merupakan orang yang paling banyak memberikan motivasi dan landasan filosofis dalam perumusan petisi.[28] Kamal meninggal setelah menderita luka parah akibat ditabrak Jeep saat sedang berjalan kaki di Padang, ketika menjenguk ibunya yang sakit keras.[29][30] Pelakunya tidak pernah terungkap sehingga meminculkan spekulasi. Sebelumnya, ia mengalami teror fisik karena sikapnya soal Petisi 50.[27] Ia pernah diminta Laksamana Sudomo agar meminta maaf kepada pemerintah, tapi ia menolak.[31][32] Akibatnya, ia dikenakan larangan ke luar negeri serta tidak boleh menikmati fasilitas pemerintah.[33] Untuk mengenang jasanya, berdasarkan SKEP KSAL Nomor SKEP/4832/IX/2005 tanggal 21 September 2005, TNI-AL meresmikan pemberian nama Lafial Drs. Mochamad Kamal. Kehidupan pribadiKamal menikah dengan Anizar yang juga berasal dari Maninjau. Pasangan ini dikaruniai tujuh anak, yakni Aini Kamalia, Siti Kemala Dewi,[34] Siti Yasmin, M. Iqbal, Siti Nurmila, Siti Hadiana, dan Siti Razini.[17] Anizar meninggal pada 21 Mei 2012 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab dan dimakamkan di TPU Karet, Jakarta pada 24 Mei 2012. Referensi
|