Pada 1962, terjadi air bah besar. Air itu tiba-tiba datang dari pegunungan dan meluluh-lantakkan hampir seluruh kampung di Miyah.[5]
Geografi
Di punggung kampung Siakwa, distrik Miyah, membentang sungai selebar kira-kira 50 meter, yakni "Sungai Kamundan".[4] Tinggi rata-rata air Sungai Kamundan pada kondisi normal ialah sebetis orang dewasa, sedangkan saat hujan turun, debit air naik dan sungai akan meluap.[4]
Ekologi
Di distrik Miyah terdapat burung mirip cenderawasih berwarna putih polos yang dijuluki masyarakat lokal "burung watir". Burung itu langka dan hidup di Air Terjun Anenderat, yakni air terjun tujuh tingkat tujuh di punggung Distrik Miyah. Burung watir konon berasal dari sumber air bernama Sumber Air Syakwa. Ia dan kawanannya akan melintas tiap pagi di Distrik Miyah. Suaranya nyaring seperti orang menyanyi. Masyarakat lokal berupaya menjaga keutuhan burung langka itu. Apabila terkespose keberadaannya, burung watir akan menjadi target buruan “predator darat”.[5]
Budaya
Masyarakat Miyah memakai bahasa Tambrauw yaitu bahasa Irires atau bahasa Karon Dori.[5] Cara hidup masyarakat Miyah masih sangat tradisional. Mereka menggunakan kali sebagai sumber air untuk mandi, makan, minum, dan mencuci baju serta perlengkapan rumah tangga lainnya.[5]
Tempat wisata
Air terjun tujuh tingkat "Anenderat" yang berada di Distrik Miyah. Air terjun ini tersohor dengan panorama alam yang indah, udara yang segar, dan suasana yang sejuk. Air terjun ini mengalir dan bermuara sampai sungai Aifat. Kawasan di sekitar ini juga digunakan sebagai lokasi upacara adat bagi masyarakat setempat.[4]
Transportasi
Miyah bisa ditempuh melalui dua pintu masuk, yakni dari Manokwari dan Sorong. Dari Sorong, waktu tempuh ke Miyah berkisar lebih-kurang 10 jam dengan rincian Sorong – Sausapor (Ibu Kota Sementara Tambrauw) 3-4 jam, Sausapor – Fef (Ibu Kota Tambrauw) 3 jam, dan Fef – Miyah 3 jam. Sedangkan dari Manokwari, Miyah bisa ditempuh dalam waktu lebih-kurang 5 jam. Adapun ritenya adalah Manokwari – Kebar 3-4 jam dan Kebar – Miyah 1 jam.[4]