Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

 

Misinformasi terkait aborsi

Misinformasi terkait aborsi adalah penyebaran informasi yang salah atau menyesatkan terkait aborsi, yang berhubungan dengan implikasi aborsi dalam pandangan medis, hukum dan sosial. Misinformasi terkait aborsi merupakan bagian dari misinformasi yang terkait dengan kesehatan berbasis gender. Tidak ada prosedur medis lain yang diikuti oleh misinformasi sebanyak misinformasi terkait aborsi. [1] Informasi terkait aborsi telah menjadi ladang ranjau misinformasi medis--dalam beberapa kasus merupakan disinformasi. [2]

Aborsi menjadi salah satu perdebatan kebijakan publik yang paling kontroversial dan emosional, baik bagi penentangnya maupun pendukung aborsi. Pandangan terpolarisasi inilah yang kemudian menimbulkan stigma, kebingungan, mitos yang meluas dan misinformasi terkait aborsi.[3]

Misinformasi dan disinformasi kerap digunakan bergantian. Misinformasi merupakan penyebaran informasi palsu atau salah tanpa bermaksud menyesatkan. Mereka yang menyebarkan informasi, mungkin percaya informasi itu benar, berguna atau tanpa memiliki niat jahat terhadap penerima. Adapun disinformasi, penyebar memiliki kesengajaan untuk membagikan informasi yang salah (informasi yang dimanipulasi). Biasanya dimotivasi oleh kepentingan ekonomi, ideologi, agama, politik, atau untuk mendukung agenda sosial. Baik misinformasi maupun disinformasi bisa menimbulkan kerugian bagi proses pengambilan keputusan penerima informasi.[4]

Faktor penyebab

Faktor yang mendorong terjadi misinformasi terkait aborsi beragam, diantaranya: aturan perundangan yang berubah, menjamurnya disinformasi tentang aborsi, lemahnya upaya perusahaan internet dan media sosial menekan laju penyebaran misinformasi aborsi, stigma pada diskusi publik tentang aborsi yang dirasakan oleh pasien dan penyedia layanan.[5]

Perubahan Aturan

Perubahan aturan tentang aborsi yang terlalu cepat menjadi faktor pendorong timbulnya misinformasi di masyarakat. Di Amerika Serikat, setelah Mahkamah Agung membatalkan Roe v. Wade, diikuti oleh perubahan undang-undang tentang aborsi di Utah sebanyak tiga kali dalam lima hari. Akibatnya berkembang misinformasi di tengah-tengah masyarakat.[6] Selain itu warga Amerika Latin menjadi target misinformasi terkait aborsi. Misinformasi terkait kriminalisasi praktik aborsi di AS hingga informasi palsu mengenai dampak aborsi. Misinformasi terkait aborsi tersebut marak beredar setelah pembatalan Roe v. Wade.[7]

Menjamurnya disinformasi

Disinformasi berkaitan erat dengan misinformasi terkait aborsi. Banyak pengguna internet yang membagikan disinformasi yang diterima sehingga akhirnya berkembang menjadi misinformasi. Sebuah studi menunjukkan beragamnya informasi terkait aborsi yang beredar di media sosial instagram pada tahun 2022. Studi ini menemukan 37% postingan terkait aborsi mengandung informasi yang salah. Studi juga menemukan sekitar 20% postingan yang berisi informasi yang salah berasal dari dokter atau profesional medis non-dokter.[8]

Studi lainnya tentang misinformasi di situs pusat kehamilan di sejumlah 12 negara bagian di Amerika Serikat menunjukkan 203 dari 254 situs memberikan setidaknya satu informasi yang salah atau menyesatkan. Informasi menyesatkan atau salah yang paling umum yaitu pernyataan adanya hubungan antara aborsi dan risiko kesehatan mental.[9]

Lemahnya upaya perusahaan internet

Disinformasi juga berkembang melalui iklan di Facebook dan Google terkait aborsi yaitu "reversal" atau “abortion pill reversal” . Iklan tersebut menargetkan pengguna platform facebook berusia 13 tahun ke atas dan telah dilihat oleh pengguna sebanyak 18,4 juta kali. Adapun iklan di Google, menjangkau 83% pencarian terkait kata kunci 'aborsi'.[10]

Algoritma mesin pencari juga ikut berperan serta menyebarkan misinformasi terkait aborsi. Seringkali mesin pencari mengarahkan pengguna ke klinik palsu. Counterhate menemukan dari 70 hasil pencarian Google Map tentang klinik, 26 diantaranya merupakan lokasi dari klinik palsu.[2]

Youtube telah menyatakan komitmennya untuk menghapus video berisi misinformasi dan disinformasi tentang aborsi. Termasuk konten yang merekomendasikan cara aborsi di rumah yang justru tidak aman. Youtube juga memberikan label informasi pada konten yang berkaitan dengan aborsi disertai pranala ke lembaga resmi.[11]

Dampak misinformasi terkait aborsi

Secara umum misinformasi melemahkan kesadaran kolektif dan tindakan kolektif. Penyelesaikan masalah kesehatan masyarakat, kesenjangan sosial, atau perubahan iklim tidak akan tercapai tanpa mengatasi masalah misinformasi yang semakin meningkat.[12]

Berikut dampak misinformasi yang terkait aborsi:

  • Menghambat akses informasi yang akurat. Menyebarnya misinformasi dengan cepat melalui internet akan menghambat kemampuan masyarakat untuk menemukan informasi yang akurat yang berguna untuk dasar pengambilan keputusan mengenai perawatan kesehatan.[5]
  • Kerugian kesehatan. Misinformasi yang diikuti dengan aborsi mandiri dari informasi yang salah di internet bisa menyebabkan kerugian kesehatan bahkan kematian.[5] BBC melaporkan kasus di Filipina, di mana pengguna menggunakan media sosial untuk menggunakan serangkaian metode aborsi yang dilakukan sendiri. Akibatnya justru mengalami masalah kesehatan.[13]
  • Misinformasi terhadap aborsi bisa memperburuk angka kematian ibu, ketika misinformasi digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan oleh pihak berwenang.[5]

Misinformasi terkait aborsi di Indonesia

Berikut beberapa disinformasi yang beredar di Indonesia dan berkembang menjadi misinformasi di tengah masyarakat:

  • Januari 2019 : Beredar informasi jika RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang disidangkan pemerintah akan menyuburkan Zina, LGBT dan Aborsi. Cek Fakta Tempo telah melakukan sejumlah wawancara yang membantah misinformasi yang beredar.[14]  
  • Maret 2019: Beredar di media sosial facebook dengan takarir "Aborsi Sudah Legal". Informasi tersebut membelokkon berita mengenai layanan aborsi yang sedang disiapkan pemerintah untuk layanan aborsi aman yang dikecualikan oleh undang-undang.[15]
  • Mei 2019: Beredar informasi melalui Whatsapp mengenai asal mula vaksin Rubela yang berasal dari janin manusia yang diaborsi.[16]
  • Agustus 2019: Beredar di instagram, foto pria yang disebut melakukan aborsi banyak bayi di Surabaya. Informasi ini juga merupakan disinformasi, karena foto tersebut terjadi di Vietnam.[17]
  • Januari 2023: Beredar informasi melalui sosial media instagram dan facebook mengenai kaitan antara penggunaan kontrasepsi dengan peningkatan kasus aborsi. Pendapat yang dikutip bukan dari Indonesia, tetapi postingan juga beredar di Indonesia.[18]
  • Juli 2023: Beredar unggahan di media sosial facebook yang memperlihatkan boneka Barbie dalam box disertai tulisan "Abortion Barbie". Dalam takarir yang beredar disebutkan jika boneka tersebut mengajarkan anak-anak bahwa praktik aborsi merupakan hal yang normal. Padahal boneka tersebut merupakan peraga kampanye yang dilakukan di Amerika Serikat.[19]
  • Agustus 2024: Di media sosial X berkembang konten yang menyebutkan bahwa Jokowi telah meneken aturan pemberian alat kontrasepsi untuk anak-anak remaja. Pada konten tersebut jika terdapat tulisan aturan ini berkaitan dengan pelegalan aborsi yang juga disahkan pada awal Agustus lalu. Misinformasi ini berkembang setelah pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.[20]

Catatan Kaki

Daftar Pustaka

Kembali kehalaman sebelumnya