Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Menyalahkan korban

Menyalahkan korban (atau mempersalahkan korban) terjadi ketika korban sebuah tindakan kriminal atau tindakan yang bersifat merugikan dipersalahkan atas bahaya atau kerugian yang terjadi kepada mereka, baik secara sebagian maupun sepenuhnya.[1] Peneliti IJRS, Best Ashila mengungkapkan bahwa adanya sebuah sistem dari pelaku untuk kekerasan seksual dan oknum aparat penegak hukum yang mengatur pelaksanaan ketika seseorang berusaha melaporkan suatu kasusnya "Sistem muslimah yang di terapkan disebut 'DARVO'attack lalu Victim and offender," "Istilahnya pertama pastinya menyalahkan, 'tidak saya tidak melakukan'. Kemudian menyerang balik korban dan juga membalik kasus tersebut, dilaporkan balikan. Sedangkan sistematis memiliki kesamaan dengan tujuan gaslighting (menyerang dan mempertanyakan kredibilitas)"[2].

Ilmu viktimologi bertujuan untuk mengurangi prasangka buruk terhadap korban dan pandangan keliru bahwa korban bertanggung jawab atas perlakuan yang dilakukan oleh pelaku tindakan kriminal atau tindakan yang merugikan tersebut.[3] Di masa lalu dan masa kini, terdapat prasangka buruk terhadap korban kekerasan rumah tangga dan korban kekerasan atau pelecehan seksual, seperti adanya kecenderungan untuk menyalahkan korban pemerkosaan dibandingkan korban pencurian jika korban dan pelaku mengenal satu sama lain sebelum tindakan kriminal tersebut terjadi.[4]

Penciptaan istilah

Psikolog William Ryan menciptakan dan mempopulerkan istilah "menyalahkan korban" di dalam bukunya "Blaming the Victim" pada tahun 1971.[5][6][7][8][9] Di dalam bukunya, Ryan menjelaskan penyalahan korban sebagai ideologi yang digunakan untuk membenarkan rasisme dan ketidakadilan sosial terhadap orang kulit hitam di Amerika Serikat. William Ryan fokus pada isu sosial kemiskinan yang disebabkan oleh rasisme dan ketidaktahuan dari kelompok yang kurang mampu (orang miskin) (Alfi, Halwati, 2019). Dia percaya bahwa faktor-faktor ini merupakan penyebab utama masalah yang terjadi, selain dari warna kulit dan kemiskinan itu sendiri. Blaming the victim adalah mencari dan menemukan pembenaran dengan memanfaatkan cacat atau celah yang dibuat oleh korban. Sehingga, korban menjadi patut dipersalahkan atas bencana yang terjadi (Alfi, Halwati, 2019). Blaming the victim biasanya sering terjadi pada kasus pelecehan seksual, penyerangan seksual, dan pemerkosaan, di mana korban seringkali dituduh memancing serangan karena pakaian atau perilaku korban. Salah satu blaming the victim yang kasusnya ada dimana-mana ialah kasus pelecehan seksual. Menurut Sulistio & Putra (2023), Komnas Perempuan menyatakan bahwa pelecehan seksual adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan, yang tidak memandang usia, baik anak-anak maupun dewasa. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat lebih dari seratus kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia pada Januari hingga Februari 2023. Selama periode tersebut, kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah yang paling banyak dilaporkan. Perilaku blaming the victim secara verbal terjadi ketika seseorang menggunakan kata-katanya untuk menyalahkan korban, dengan menyatakan atau mengklaim bahwa korban pantas menerima perlakuan yang diterimanya. Kecenderungan masyarakat untuk melakukan blaming the victim semakin mengabaikan korban dan bahkan membuatnya terasing dari lingkungannya. Akibatnya, korban menjadi semakin sulit untuk menentukan arah hidupnya, merasa tidak berdaya, dan putus asa.

Pengulangan traumatisasi terhadap korban pelecehan seksual

Secondary victimization adalah pengulangan traumatisasi yang dilakukan oleh seseorang atau sebuah kelompok atau organisasi terhadap korban pemerkosaan atau korban pelecehan atau kekerasan seksual melalui sikap dan perilaku yang dilakukan terhadap korban. Jenis-jenis tindakan viktimisasi turunan meliputi menyalahkan korban, tidak mempercayai cerita korban, menganggap remeh akibat dari peristiwa yang menimpa korban, dan perawatan medis pasca kekerasan seksual yang mengandung tindakan-tindakan yang melanggar kode etik medis yang dilakukan oleh staf medis (seperti dokter atau perawat) atau organisasi lainnya.[10] Secondary victimization umumnya terjadi pada kasus pelecehan seksual yang melibatkan penggunaan obat-obatan, melalui kenalan dalam proses kencan (date rape), trauma seksual yang terjadi di lingkungan militer, dan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.[butuh rujukan]

Referensi

  1. ^ "Victim Blaming" (PDF). Canadian Resource Centre for Victims of Crime. Diakses tanggal 2018-08-31. 
  2. ^ https://theconversation.com/pakar-menjawab-kenapa-banyak-korban-kekerasan-seksual-malah-minta-maaf-atau-menarik-laporannya-177460
  3. ^ Fox, K. A.; Cook, C. L. (2011). "Is Knowledge Power? The Effects of a Victimology Course on Victim Blaming". Journal of Interpersonal Violence. 26 (17): 3407–3427. doi:10.1177/0886260511403752. PMID 21602202. 
  4. ^ Bieneck, S.; Krahe, B. (2010). "Blaming the Victim and Exonerating the Perpetrator in Cases of Rape and Robbery: Is There a Double Standard?". Journal of Interpersonal Violence. 26 (9): 1785–97. doi:10.1177/0886260510372945. PMID 20587449. 
  5. ^ Ryan, William (1971). Blaming the Victim. ISBN 9780394417264. 
  6. ^ Cole (2007) pp.111, 149, 213
  7. ^ Downs (1998) p. 24
  8. ^ Kirkpatrick (1987) p. 219
  9. ^ Kent (2003)
  10. ^ Campbell, R.; Raja, S. (1999). "Secondary victimization of rape victims: insights from mental health professionals who treat survivors of violence". Violence and Victims. 14 (3): 261–275. doi:10.1891/0886-6708.14.3.261. PMID 10606433. 

Catatan

Kembali kehalaman sebelumnya