Mazhab BulaksumurMazhab Bulaksumur atau yang sering juga disebut pemikiran agraria Bulaksumur merupakan aliran pemikiran sosial-ekonomi-politik mengenai isu-isu agraria yang berkembang di kalangan akademisi Universitas Gadjah Mada yang kampusnya terletak di Bulaksumur, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Istilah ini mulai dikenal luas sejak penulis Achmad Nashih Luthfi, Amien Tohari, dan Tarli Nugroho menerbitkan buku berjudul Pemikiran Agraria Bulaksumur tahun 2010,[1] mereka menggabungkan pemikiran dari tiga ahli akademisi sekaligus mahaguru UGM berbeda latar belakang yaitu Sartono Kartodirdjo yang ahli di bidang sejarah, Masri Singarimbun yang ahli di bidang kependudukan, dan Mubyarto yang merupakan ahli di bidang ekonomi untuk menjawab persoalan-persoalan agraria di Indonesia. Tokoh pemikirSartono KartodirjdoIa adalah sejarawan Indonesia yang memelopori penulisan sejarah dengan cara pandang baru yang kerap disebut Indonesia-sentris. Latar belakang pendidikan formalnya pernah ia tempuh di S1 Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1956), kemudian melanjutkan jenjang pendidikan S2 di Universitas Yale (1964), dan S3 di Universitas Amsterdam (1966), menjadikannya salah satu pemula yang memperoleh gelar tertinggi dalam ilmu sejarah dikalangan sejarawan Indonesia lainnya. Ia kemudian mengabdikan diri sebagai pengajar di Universitas Gadjah Mada dan dinobatkan pula sebagai Guru Besar ketika menyelesaikan studinya di Belanda dengan menyajikan pidato pengukuhan bertajuk Catatan tentang Segi-segi Mesianistis dalam Sejarah Indonesia.[2][3] Meski tak secara spesifik mempelajari tentang reformasi agraria, namun kajian kesejarahan dalam banyak karyanya banyak bersinggungan dengan persoalan-persoalan agraria. Buah pemikirannya telah menyumbang perspektif, konsep-konsep, metodologi, hingga tema-tema tertentu yang terintegrasi dan dikenal sangat Indonesia-sentris.[1] Ia menentang historiografi yang lebih banyak mengulas tokoh-tokoh elit dan menafikan peran kunci yang dimainkan masyarakat biasa seperti kaum tani, guru ngaji, dan para santri, melalui proses studinya di Belanda ia juga menepis anggapan bahwa sejarah Indonesia semata-mata hanya perpanjangan dari sejarah kolonial Hindia Belanda. Selain itu ia juga merombak metode penulisan sejarah bukan hanya soal narasi dan selang dan waktu kejadian namun harus melalui pendekatan multidimensional dengan memadupadankan ilmu-ilmu lain seperti antropologi dan sosiologi, sehingga sejarah tak hanya menceritakan peristiwa unik namun juga menjelaskan latar sosial dan gejala umum yang mungkin terjadi di masa depan[4] seperti yang ia wujudkan dalam karyanya bertajuk The Peasants’ Revolt of Banten in 1888.[5] MubyartoIa merupakan ekonom Indonesia yang juga dikenal memopulerkan istilah Ekonomi Rakyat atau juga terkenal dengan sebutan Ekonomi Kerakyatan/Ekonomi Pancasila. Latar belakang pendidikan formalnya pernah ia tempuh di S1 Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (1965), kemudian melanjutkan jenjang pendidikan S2 di Universitas Vanderbilt (1962), dan S3 di Universitas Iowa (1965), ia berhasil memperoleh gelar doktor dalam usia yang sangat muda yakni 27 tahun.[6] Istilah "Ekonomi Pancasila" sebenarnya pertama kali dicetuskan oleh ekonom Emil Salim sejak 1965[7] namun istilah ini kemudian lebih dekat ke Mubyarto karena keseriusannya dalam memperkaya dan mengembangkannya, berbeda dengan Emil Salim yang mempergunakan istilah tersebut dengan merujuk pada gagasan mengenai sistem perekonomian atau politik perekonomian yang berusaha memberikan pendasaran bagi langgengnya praktik ekonomi Orde Baru (karena ia salah satu anggota Mafia Berkeley), maka Mubyarto menggunakannya sebagai sebentuk teori kritis untuk mengkritik teori ekonomi Neoklasik yang dipergunakan Orde Baru sebagai dasar dalam menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi. Kritik Mubyarto antara lain adalah bahwa ekonomi Neoklasik tidak mampu memberikan ide distribusi kekayaan secara merata yang konsekuensinya kontradiktif dengan ide keadilan sosial sebagai puncak tujuan bangsa.[8] Pemikirannya terkait masalah agraria banyak ia tuangkan dalam karyanya yang berjudul Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan,[9] ia menekankan bahwa aspek terpenting dari politik pertanian adalah menyangkut masalah agraria, baik dalam aspek kepemilikan, penggunaan, persewaan, maupun penguasaan atas tanah. Secara garis besar ia membedakan masalah pokok agraria menjadi dua yaitu masalah terkait hubungan antara penduduk dengan tanah (hubungan kepemilikan dan penggunaan) dan kemudian berkembang menjadi masalah hubungan antar-penduduk mengenai tanah (persewaan dan penguasaan), sehingga agenda reforma agraria harusnya diarahkan pada dua hal yakni; memberi tanah pada sebanyak mungkin petani yang tak bertanah; dan menciptakan syarat dan kondisi yang lebih baik bagi petani yang masih terpaksa mengerjakan tanah orang lain.[1] Dapat dikatakan bahwa reforma agraria menurutnya harus dimaksudkan sebagai alat menolong penduduk miskin, reforma agraria juga jangan sampai selalu diartikan dengan redistribusi kepemilikan tanah seperti yang banyak digaungkan selama ini namun juga bangunan hukum serta sistem ekonomi yang harus sepenuhnya berpihak kepada masyarakat miskin. Masri SingarimbunIa merupakan antropolog Indonesia yang juga dikenal sebagai "Matahari" di bidang studi kependudukan. Latar belakang pendidikan formalnya pernah ia tempuh di S1 Fakultas Pedagogik Universitas Gadjah Mada, kemudian melanjutkan studinya hingga bergelar doktor di Universitas Nasional Australia (1966).[10] Ia kembali ke Indonesia dan mengajar di Universitas Gadjah Mada pada 1972 setelah sebelumnya sempat bekerja di KBRI Australia, pada tahun 1973 ia memprakarsai terbentuknya Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan (PSKK) di UGM. Semasa perjalanan akademisnya, ia adalah salah seorang peneliti yang paling awal dalam menyoroti kasus kemiskinan masyarakat pedesaan. Penelitiannya bersama David H. Penny yang berjudul Penduduk & kemiskinan: kasus Sriharjo di pedesaan Jawa[11] terbit pada tahun 1976 menjadi karya pertama yang mencantumkan kata "kemiskinan" sebagai judulnya, tema-tema mengenai kemiskinan saat itu bisa dibilang kosong dari hasil karya akademisi karena rezim Orde Baru saat itu lebih menginginkan masyarakat luas menatap kemakmuran ekonomi dan menyembunyikan persoalan kemiskinan karena dianggap "mengganggu" optimisme pembangunan,[1] penelitiannya di Sriharjo memotret relasi tekanan penduduk atas tanah, bagaimana hubungan tanah dan tenaga kerja, dan bagaimana penduduk memenuhi pendapatannya untuk mencukupi kebutuhan hidup. Meski penelitiannya banyak mengulas soal kependudukan namun dalam banyak karyanya ia juga menyoroti persoalan agraria yang dihadapi masyarakat. Dalam studi kependudukan, peningkatan jumlah penduduk selalu berkaitan dengan perubahan pola-pola penggunaan tanah (termasuk luas tanah, luas yang digarap, pola kepemilikan, pola pewarisan, kemampuan produksi, penggunaan tenaga kerja, kemampuan pemenuhan hasil produksi terhadap kebutuhan rumah tangga dan sebagainya), penyediaan pangan, lingkungan, dan pembangunan pedesaan.[1] Kepeduliannya dalam isu keadilan agraria lainnya juga terwujud dalam protes kerasnya terhadap kebijakan pemerintah UU Pokok Kehutanan Tahun 1967 berdampak pada kehidupan dan hak-hak masyarakat Dayak melalui tulisannya yang berjudul Hak Ulayat Masyarakat Adat dalam Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi yang terbit tahun 1994.[12] Ia menyoroti bahwa negara turut berperan membuka jalan bagi pemodal untuk menguasai tanah dan kekayaan di dalamnya dan meminggirkan bahkan memiskinkan masyarakat yang sebelumnya menggunakan tanah tersebut. Pola hubungan kepemilikan tanah menempatkan masyarakat yang sebelumnya memiliki tanah tersebut kini harus bekerja menjadi buruh/pengolah lahan yang disediakan dengan upah atau pendapatan yang lebih kecil dari pada saat mereka menjadi tuan untuk tanah mereka sendiri. Referensi
|