Masjid Saka Tunggal (bahasa Jawa: ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦢ꧀ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀ꦱꦏꦠꦸꦁꦒꦭ꧀, translit. مسجد ساك توڠڬل, har.'Masjid Karaton Saka Tunggal') adalah sebuah masjid yang terletak di kawasan Tamansari, Kelurahan Patehan Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta. Berada di kawasan Njeron BetengKraton Yogyakarta, masjid ini berada tepat di depan pintu masuk objek wisata Tamansari.
Sejarah
Menurut prasasti yang tertera pada dinding depan, Masjid Soko Tunggal diresmikan pada hari Rabu Pon tanggal 28 Februari1973 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Masjid ini selesai dibangun pada hari Jumat Pon tanggal 21 Rajab tahun Be dan ditandai dengan candrasengkala "Hanembah Trus Gunaning Janma" 1392 H atau 1 September dengan suryasengkala "Nayana Resi Anggatra Gusti" 1972 M.
Arsitektur
Perancang dan bentuk dasar
Perancang Masjid Soko Tunggal ini adalah R. Ngabehi Mintobudoyo (almarhum) yang merupakan arsitek Keraton Yogyakarta terakhir.
Desain bangunan ini berbentuk tajug, dengan satu tiang (saka tunggal) berukuran 50 cm x 50 cm yang terletak di tengah ruang.
Makna simbolis
Arsitektur bangunan masjid ini sarat dengan makna. Jika para jamaah duduk di ruangan masjid akan melihat 4 batang saka bentung dan 1 batang saka guru sehingga semua berjumlah 5 buah. Hal ini merupakan lambang negara Pancasila. Saka guru merupakan lambang sila yang pertama, ialah: Ketuhanan Yang Mahaesa. Usuk sorot (memusat seperti jari-jari payung), disebut juga peniung, merupakan lambang kewibawaan negara yang melindungi rakyatnya.
Di masjid ini juga terdapat beragam ukir-ukiran. Ukiran ini selain dimaksudkan untuk menambah keindahan dan kewibawaaan, juga mengandung makna dan maksud tertentu.
Ukiran praba, berarti Bumi, tanah, kewibawaan. Ukiran saton berarti menyendiri, sawiji. Sorot berarti sinar cahaya matahari. Tlacapan berarti panggah, yaitu tabah dan tangguh. Ceplok berarti pemberantas angkara murka. Ukiran mirong berarti maejan atau nisan, berarti bahwa semuanya kelak pasti dipanggil oleh Allah. Ukiran tetesan embun di antara daun dan bunga yang terdapat di balok uleng berarti siapa yang salat di masjid ini semoga mendapat anugerah Allah.
Dari aspek konstruksi, bangunan masjid Sokotunggal ini juga sarat makna. Dalam konstruksi masjid itu ada bagian yang berbentuk bahu danyang'. Ini melambangkan, orang-orang yang salat di masjid ini menjadi orang yang kuat menghadapi godaan iblis angkara murka yang datangnya dari empat penjuru dan lima pancer. Sunduk berarti menjalar untuk mencapai tujuan. Santen berarti bersih suci (kejujuran). Uleng artinya wibawa. Singup artinya keramat, Bandoga artinya hiasan pepohonan, tempat harta karun. Tawonan berarti gana, manis, penuh.
Rangka-rangka masjid yang dibentuk sedemikian rupa juga memiliki makna. Saka brunjung melambangkan upaya mencapai keluhuran wibawa melalui lambang tawonan. Dudur adalah lambang ke arah cita-cita kesempurnaan hidup melalui lambang ganja. Sirah gada, melambangkan kesempurnaan senjata yang ampuh, sempurna baik jasmani dan rohani. Mustaka digunakan untuk melambangkan keluhuran dan kewibawaan.
Keunikan
Keistimewaan dari masjid ini terletak pada saka guru (tiang penyangga utama) yang hanya satu batang karena biasanya bangunan berkonsep Jawa disangga oleh minimal empat batang saka guru. Tiang besar ini ditopang dengan batu penyangga yang disebut umpak. Batu umpak ini juga istimewa karena berasal dari zaman pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Kerajaan Mataram Islam. Keunikan lain, masjid ini dibangun tanpa menggunakan paku.