Mane’e adalah tradisi masyarakat di kepulauan talaud, Sulawesi Utara yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi tersebut dilakukan untuk memperingati puncak surut air laut ketika masa eha berakhir. Eha sendiri merupakan periode pelarangan mengambil hasil laut dan darat yang berlangsung antara 3 hingga 6 bulan. Sanksi diarak berkeliling kampung dengan ikan-ikan yang digantung di badan akan diberlakukan bagi siapapun yang berani melanggarnya.[1]
Asal Usul Mane’e
lahirnya tradisi Mane’e dilatar belakangi oleh sebuah gempa besar dan gempa besar tersebut yang memicu Tsunami pada tahun 1628. Akibat bencana alam ini, pulau Kakorotan induk terbelah menjadi tiga bagian, yaitu Pulau Kakorotan, Pulau Intata dan Pulau Malo. Hanya 8 warga yang selamat dari bencana dahsyat kala itu. Mereka merupakan cikal bakal empat suku yang kemudian mendiami Kepulauan Kakorotan-Intata, yakni Waleuala, Pondo, Melonca dan Parapa.
Di masa kemalangan tersebut, datanglah kepada mereka dua orang asing. Di luar perkiraan, mereka mengerak-gerakkan dedaunan ke dalam air. Gerakan ‘aneh’ ini ternyata mengundang banyak ikan untuk datang ke pantai. Didorong rasa takjub, lantas penduduk memohon kepada pendatang asing itu agar diajari cara menangkap ikan seperti itu. Tak sampai di sini, pendatang asing itu juga bersedia mewariskan alat penangkap ikan tersebut sebelum kembali berlayar. Sejak saat itulah tradisi Mane'e diyakini dimulai.[2]
Tujuan Mane'e
Tujuan Tradisi Mane’e mengajarkan Masyarakat untuk menjaga hubungan dengan alam. “Apabila manusia mau menjaga kelestarian alam, maka alampun akan bermurah hati kepada mereka”, inilah pesan tersirat dari tradisi Mane’e. Memang benar demikian adanya. Pada masa Eha saat larangan mengambil hasil bumi dan laut diberlakukan, alam terbebas dari gangguan manusia. Saat itu lah beragam biota laut dapat berkembang biak dengan baik. Dan hasilnya pun dapat dinikmati untuk kesejahteraan warga. Hal ini terbukti dengan melimpahnya ikan hasil tangkapan warga Kokorotan-Intata saat acara Mane’e berlangsung dan hari-hari setelahnya ketika mereka melaut.[2]
Prosesi Tradisi Mane’e
Prosesi Tradisi Mane’e terdiri dari sembilan tahapan yang dilaksanakan secara berurutan dalam beberapa hari. Rangkaian tahapan itu meliputi Maraca Pundangi (memotong tali hutan), Mangolom Par’ra (permohonan kepada Tuhan), [Mattuda Tampa Pane’can]] (menuju lokasi acara), Mamabi’u Sammi (membuat alat tangkap dari janur kelapa yang dilingkarkan pada tali hutan), Mamoto’u Sammi (menebar janur), Mamole Sammi (menarik janur ke darat), Manganu Ina (mengambil hasil tangkapan/ikan), Matahia Ina (membagi hasil) dan Manarm’Ma Alama (ucapan syukur lewat makan bersama hasil tangkapan).[2] Semua tahapan ini dilaksanakan secara bergotong-royong dengan melibatkan semua elemen masyarakat Kokorotan-Intata. Acara puncak Mane’e dimulai sehari sebelum hari pelaksanaan. Seorang Ratumbanua atau tetua adat setempat memimpin penyelenggaraan sebuah ritual bernama ‘Malahaan’ sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan. Pada ritual ini, semua perlengkapan yang akan digunakan dalam acara puncak Mane`e didoakan, seperti perahu dan tali hutan yang telah dililit janur. Tak ketinggalan, sejumlah warga pilihan yang akan terlibat langsung dalam prosesi tersebut juga diberikan restu agar diberi kekuatan.[3]
Dan perlengkapan acara adat berupa tali, sangat mendapat perhatian khusus dari penyelenggara. Karena unsur ini menjadi jantung dari prosesi itu. Tali yang digunakan haruslah diambil dari dalam hutan oleh beberapa orang kampung Kakorotan-Intata. Mereka kemudian bertugas merangkai penggalan-penggalan tali yang diambil dari hutan tersebut menjadi sebuah tali yang panjang. Tali dengan panjang sekitar 600 meter ini lantas dililit dengan janur dari ujung hingga pangkal.[1]
Sebelum menangkap ikan di perairan dangkal yang telah dikurung dengan jaring alami tersebut, Ratumbanua melafalkan sebuah mantra dalam bahasa setempat. Dalam situasi ini, setiap peserta Prosesi Adat Mane'e dituntut ketaatannya. Mereka tak boleh gaduh sendiri agar ikan-ikan tidak terlepas kembali ke laut. Mereka hanya diperkenankan berkerumun mengitari janur dengan tenang. Masalah busana pun juga tak luput diatur; warga tidak boleh memakai pakaian berwarna merah.[3]
Referensi