Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Komunikasi politik


Komunikasi Politik adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara "yang memerintah" dan "yang diperintah". Komunikasi politik sebenarnya adalah penggunaan simbol komunikasi oleh manusia, baik sebagai penguasa maupun orang biasa, dalam kehidupan masyarakat atau negara.[1]

Menurut Gabriel Almond (1960): komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik.

Komunikasi politik terdiri dari berbagai unsur, antara lain:

a) Komunikator Politik

Komunikator politik adalah mereka yang dapat memberi informasi tentang hal-hal yang mengandung makna mengenai politik. misalnya presiden, menteri, anggota DPR, politisi, dan kelompok-kelompok penekan dalam masyarakat yang bisa memengaruhi jalannya pemerintahan.

b) Pesan Politik

Pesan politik ialah pernyataan yang disampaikan, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik secara verbal maupun nonverbal, tersembunyi maupun terang-terangan, baik yang disadari maupun tidak disadari yang isinya mengandung politik. Misalnya pidato politik, pernyataan politik, buku, brosur dan berita surat kabar mengenai politik, dll.

c) Saluran atau Media Politik

Saluran atau media politik ialah alat atau sarana yang digunakan oleh para komunikator dalam menyampaikan pesan-pesan politiknya. Misalnya media cetak, media elektronik, media online, sosialisasi, komunikasi kelompok yang dilakukan partai, organisasi masyarakat, dsb.

d) Sasaran atau Target Politik

Sasaran adalah anggota masyarakat yang diharapkan dapat memberikan dukungan dalam bentuk pemberian suara kepada partai atau kandidat dalam Pemilihan Umum. Mereka adalah pengusaha, pegawai negeri, buruh, pemuda, perempuan, mahasiswa, dan semacamnya.

e) Pengaruh atau efek Komunikasi Politik

Efek komunikasi politik yang diharapkan adalah terciptanya pemahaman terhadap sistem pemerintahan dan partai-partai politik, keaktifan masyarakat dalam partisipasi politik, dimana nantinya akan berdampak pada pemberian suara dalam Pemilihan Umum.

Pendekatan komunikasi politik:

1. Pendekatan proses. Menurut pendekatan ini bahwa keseluruhan yang ada di dunia ini merupakan hasil suatu proses. Spengler (nama asli Oswald Spengler filsuf sejarah dan politik Jerman. Dalam dua jilid karya utama Splenger, Der Untergang des Abendlandes, Splenger berpendapat bahwa kunci sejarah ialah hukum masyarakat dan peradaban yang timbul dan tenggelam dalam siklus berulang) dan Toynbee (nama Asli Arnold Joseph Toynbee sejarawan Inggris yang terkenal melalui bukunya yang berjudul A Study of History, berisi tentang penyelidikan secara sejarah tentang asal usul, perkembangan, dan kehancuran peradaban besar) mengemukakan bahwa realitas sosial merupakan suatu siklus yang mempunyai pola-pola ulangan untuk jatuh bangunnya peradaban. Pendekatan ini dapat dikatakan untuk memahami sosialisasi politik dan kebijkan publik.

2. Pendekatan agenda setting. Pendekatan ini dikembangkan oleh Maxwell C. McCombs, seorang profesor peneliti surat kabar juga sebagai direktur pusat penelitian komunikasi Universitas Syracuse USA, dan Donald L. Shaw, seorang profesor jurnalistik dari universitas North Carolina. Pendekatan agenda setting dimulai dengan asumsi media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkan. Seleksi ini dilakukan oleh mereka yang disebut sebagai gatekeeper, yaitu mereka para wartawan, pimpinan redaksi, dan penyunting gambar. Dari gatekeeper inilah yang menentukan berita apa yang harus dimuat dan apa yang harus disembunyikan.[2]

Empat Distorsi

Mochtar Pabotinggi (1993): dalam praktik proses komunikasi politik sering mengalami empat distorsi.
1. Distorsi bahasa sebagai "topeng"; ada euphemism (penghalusan kata); bahasa yang menampilkan sesuatu lain dari yang dimaksudkan atau berbeda dengan situasi sebenarnya, bisa disebut seperti diungkapkan Ben Anderson (1966), "bahasa topeng".
2. Distorsi bahasa sebagai "proyek lupa"; lupa sebagai sesuatu yang dimanipulasikan; lupa dapat diciptakan dan direncanakan bukan hanya atas satu orang, melainkan atas puluhan bahkan ratusan juta orang.
3. Distorsi bahasa sebagai "representasi"; terjadi bila kita melukiskan sesuatu tidak sebagaimana mestinya. Contoh, gambaran buruk kaum Muslimin dan orang-orang Arab oleh media Barat.
4. Distorsi bahasa sebagai “ideologi”. Ada dua perspektif yang cenderung menyebarkan distoris ideologi. Pertama, perspektif yang mengidentikkan kegiatan politik sebagai hak istimewa sekelompok orang—monopoli politik kelompok tertentu. Kedua, perspektif yang semata-mata menekankan tujuan tertinggi suatu sistem politik. Mereka yang menganut perspektif ini hanya menitikberatkan pada tujuan tertinggi sebuah sistem politik tanpa mempersoalkan apa yang sesungguhnya dikehendaki rakyat.

Model Komunikasi Politik

Model Aristoteles

Model aristoteles merupakan model yang paling klasik dalam ilmu komunikasi. Aristoteles yang hidup pada saat komunikasi retorika sangat berkembang di Yunani. Perkembangan keterampilan orang membuat pidato pembelaan di muka pengadilan dan rapat- rapat umum yang dihadiri oleh rakyat. Sehingga, Model ini lebih berorientasi pada pidato, terutama pidato untuk memengaruhi orang lain, sehingga model ini juga bisa disebut sebagai model retorikal/ model retorik, yang kini dikenal sebagai komunikasi publik. Model komunikasi ini, mempunyai 3 bagian dasar dari komunikasi yaitu, pembicara (speaker), pesan (message) dan pendengar (listener). Proses komunikasi terjadi saat pembicara menyampaikan pesannya kepada khalayak dengan tujuan mengubah perilaku mereka. Menurut Aritoteles, inti dari komunikasi adalah persuasi dan pengaruh dapat dicapai oleh seseorang yang dipercaya oleh publik. Menurut Aristoteles, persuasi dapat dicapai oleh siapa anda (etos- kepercayaan anda), argumen anda (logos- logika dalam pendapat anda), dan dengan memainkan emosi khalayak (pathos- emosi khalayak). Dengan kata lain, faktor- faktor yang menentukan efek persuasif suatu pidato meliputi isi pidato, susunannya, dan cara penyampainnya. Aristoteles juga menyadari peran khalayak pendengar. Persuasi berlangsung melalui khalayak ketika meraka diarahkan oleh pidato itu ke dalam suatu keadaan emosi. (Deddy, Mulyana. 2002: 135) Kelemahan dari model ini yang pertama adalah komunikasi dianggap sebagai fenomena yang statis, terfokus pada komunikasi yang bertujuan atau disengaja terjadi ketika seseorang membujuk orang lain untuk menerima pendapatnya. Kemudian model ini tidak memperhitungkan komunikasi non-verbal dalam memengaruhi orang lain. Walaupun demikian, model ini menginspirasi para ilmuwan untuk mengembangkan model komunikasi modern. Contohnya di Indonesia ketika tim sukses dari pasangan capres dan cawapres mengkampanyekan calon serta visi dan misinya sebagai pemimpin kepada rakyat. Semua itu merupakan bentuk retorika dalam dunia politik.

Model komunikasi Lasswell berupa ungkapan verbal, yaitu:

  1. Who (siapa)
  2. Say what (mengatakan apa)
  3. In which channels (melalui saluran apa)
  4. To whom (kepada siapa)
  5. With what effect (dengan akibat apa)

Lasswell mengemukakan tiga fungsi komunikasi, yaitu: pertama, pengawasan lingkungan. Kedua, korelasi berbagai bagian terpisah dalam masyarakat yang merespon lingkungan. Ketiga, transimi warisan sosial dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Lasswell berpendapat bahwa terdapat tiga kelompok spesialis yang bertanggung jawab melaksanakan fungsi-fungsi ini. Misalnya pemimpin politik dan diplomat termasuk kedalam kelompok pengawas lingkungan. Lasswell memandang bahwa suatu proses komunikasi selalu mempunyai efek atau pengaruh. Sehingga, model Lasswell ini menstimuli riset komunikasi di bidang komunikasi politik. Model ini menunjukkan bahwa pihak komunikator pasti mempunyai keinginan untuk memengaruhi pihak penerima. Oleh karena itu, komunikasi dipandang sebagai upaya persuasi. Upaya penyampaian pesan akan menghasilkan akibat baik positif maupun negatif. Menurut Lasswell hal ini hanya ditentukan oleh bentuk dan cara penyampaiannya. Tidak semua komunikasi bersifat dua arah, dengan suatu aliran yang lancar dan umpan balik yang terjadi antar pengirim dan penerima. Dalam suatu masyarakat banyak informasi yang disaring oleh pengendali pesan, yang menerima informasi dan menyampaikannya kepada publik dengan beberapa perubahan atau penyimpangan. Fungsi penting komunikasi adalah menyediakan informasi mengenai negara- negara kuat lainnya di dunia. Penting bagi suatu masyarakat untuk menemukan dan mengendalikan faktor- faktor yang mengganggu komunikasi yang efisien. Kelemahan dari model Lasswell ini adalah tidak menggambarkan unsur feedback atau umpan balik sehingga proses komunikasi yang dijelaskan bersifat linier atau searah.

Model Gudykunst dan Kim

Model ini sebenarnya merupakan model komunikasi antarbudaya, yakni komunikasi antara orang-orang yang berasal dari budaya berlainan, atau komunikasi dengan orang asing. Meskipun model ini juga tetap berlaku pada setiap orang, karena pada dasarnya tidak ada dua orang yang mempunyai latar budaya, sosiobudaya, dan psikobudaya yang persis sama. Asumsi dari model ini adalah dua orang sejajar dalam berkomunikasi masing-masing dari mereka berperan sebagai pengirim sekaligus sebagai penerima atau keduanya sebagai penyandian (encoding) dan penyandian balik (decoding). Oleh karena itu kita dapat melihat bahwa pesan dari seseorang merupakan umpan balik untuk yang lainnya. Faktor- faktor tersebut adalah filter yang membatasi prediksi yang kita buat mengenai bagaimana orang lain mungkin menanggapi perilaku komunikasi kita, sehingga memengaruhi cara kita menyandi pesan. Filter ini membatasi rangsangan apa yang kia perhatikan dan bagaimana kita menafsirkan rangsangan tersebut. Faktor budaya menjelaskan kemiripan dan perbedaan budaya, agama, bahasa, individualitas, kolektivitas, yang memengaruhi nilai dan norma dalam berkomunikasi. Pengaruh sosio budaya menyangkut proses penataan sosial, yaitu keanggotaan dalam kelompok, konsep diri, peran, dan definisi kita tentang hubungan antar pribadi. Faktor psikobudaya menyangkut tentang penataan pribadi seperti stereotip dan sikap terhadap kelompok orang lain. Lingkungan berpengaruh, dilihat dari segi lokasi geografis, iklim, situasi, arsitektural, dan persepsi kita atas lingkungan tersebut. Pengaruh-pengaruh budaya, sosiobudaya, dan psikobudaya berfungsi sebagai filter konseptual untuk menyampaikan maupun meyandi balik pesan. Pengaruh budaya dalam model ini meliputi faktor-faktor yang menjelaskan kemiripan dan perbedaan budaya, misalnya pandangan dunia (agama), bahasa, sikap terhadap manusia, dsb. Faktor-faktor tersebut memengaruhi nilai, norma, dan aturan dalam perilaku komunikasi kita. Salah satu unsur yang melengkapi model Gudykunst dan Kim adalah lingkungan. Lingkungan memengaruhi kita dalam menyandi balik pesan. Oleh karena itu, antara dua orang komunikator mungkin mempunyai persepsi dan orientasi yang berbeda terhadap lingkungan, mereka mungkin menafsirkan perilaku dengan cara yang berbeda dalam situasi yang sama.

Model Interaksional

Model ini memiliki karakter yang kualitatif, nonsistemik, dan nonlinier. Komunikasi digambarkan sebagai pembentukan makna (penafsiran atas pesan atau perilaku orang lain) oleh para peserta komunikasi. Beberapa konsep penting yang digunakan adalah diri (self), diri yang lain (other), simbol, makna, penafsiran, dan tindakan. Menurut model interaksi simbolik, orang-orang sebagai peserta komunikasi bersifat aktif, reflektif dan kreatif, dan menampilkan perilaku yang sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme pasif, dalam konteks ini Blumer mengemukakan tiga premis yang menjadi dasar model Interaksional. Pertama, manusia bertindak mengenai makna yang diberikan individu terhadap lingkungan sosialnya. Kedua, makna berhubungan langsung dengan interaksi sosial yang dilakukan individu dengan lingkungan sosialnya. Ketiga, makna diciptakan, dipertahankan, dan diubah melalui proses penafsiran dilakukan individu dalam berhubungan dengan lingkungan sosialnya.Model interaksional menganggap manusia jauh lebih aktif dalam proses komunikasi. Konsep penting yang digunakan adalah diri, diri yang lain, simbol, makna, penafsiran, dan tindakan. Menurut model interaksional orang mengembangkan potensi manusiawinya melalui interkasi sosial, melalui pengambilan peran orang lain (role- taking). Diri berkembang melalui interaksi dengan orang lain, kelurga, tahap permainan, hingga lingkungan luas dalam suatu tahap yang disebut tahap pertandingan (game stage). Dimana individu selalu melihat dirinya melalui perspektif (peran orang lain), sehingga konsep diri tumbuh berdasarkan bagaimana orang lain memandang diri individu tersebut. Model Interaksional menempatkan diri komunikator dalam posisi sejajar dengan komunikator lain sehingga terjadi interplay yang demokratis dalam kuadran komunikasi saling memberi dan menerima. Komunikator biasanya tidak enggan untuk bertemu banyak orang, mendengar dan membangun kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk dengan orang atau kekuatan politik yang pernah berseberangan dengannya.


Agenda Setting

Agenda-setting diperkenalkan oleh McCombs dan DL Shaw (1972). Asumsi teori ini adalah bahwa jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi, apa yang dianggap penting media, maka penting juga bagi masyarakat. Dalam hal ini media diasumsikan memiliki efek yang sangat kuat, terutama karena asumsi ini berkaitan dengan proses belajar bukan dengan perubahan sikap dan pendapat. Media massa memiliki efek yang sangat kuat terutama karena berkaitan dengan proses belajar dan bukan dengan perubahan sikap dan pendapat. Teori agenda setting menganggap bahwa masyarakat akan belajar mengenai isu-isu apa, dan bagaimana isu-isu tersebut disusun berdasarkan tingkat kepentingannya. (Burhan, Bungin, 2008:282). Menurt McCombs dan Donald Shaw audiens tidak hanya mempelajari berita-berita dan hal-hal lainnya melalui media massa, tetapi juga mempelajari arti penting yang diberikan pada suatu isu dari cara media massa memberikan penekanan pada topik tersebut. Contohnya media massa terlihat menentukan mana topik yang penting dalam merefleksikan apa yang dikatakan para kandidat dalam suatu kampanye pemilu. Artinya media massa menetapkan “agenda” kampanye tersebut dan kemampuan untuk memengaruhi kognitif individu. Jika calon pemilih telah menganggap penting suatu isu maka mereka akan memilih kandidat partai yang paling berkompeten dalam menangani isu tersebut. Dan menurut Funkhouser, media berita diyakini oleh banyak orang sebagi sumber informasi yang dapat dipercaya, tetapi media berita tidak mesti demikian.

Proses Komunikasi Politik

Proses komunikasi politik sama dengan proses komunikasi pada umumnya (komunikasi tatap muka dan komunikasi bermedia) dengan alur dan komponen:
1. Komunikator/Sender – Pengirim pesan
2. Encoding – Proses penyusunan ide menjadi simbol/pesan
3. Message – Pesan
4. Media – Saluran
5. Decoding – Proses pemecahan/ penerjemahan simbol-simbol
6. Komunikan/Receiver – Penerima pesan
7. Feed Back – Umpan balik, respons.

Saluran Komunikasi Politik

1. Komunikasi Massa – komunikasi ‘satu-kepada-banyak’, komunikasi melalui media massa.
2. Komunikasi Tatap Muka –dalam rapat umum, konferensi pers, etc.— dan Komunikasi Berperantara –ada perantara antara komunikator dan khalayak seperti TV.
3. Komunikasi Interpersonal – komunikasi ‘satu-kepada-satu’ –e.g. door to door visit, temui publik, etc. atau Komunikasi Berperantara –e.g. pasang sambungan langsung ’hotline’ buat publik.
4. Komunikasi Organisasi – gabungan komunikasi ‘satu-kepada-satu’ dan ‘satu-kepada-banyak’: Komunikasi Tatap Muka e.g. diskusi tatap muka dengan bawahan/staf, etc. dan Komunikasi Berperantara e.g. pengedaran memorandum, sidang, konvensi, buletin, newsletter, lokakarya, etc.

Referensi

  1. ^ Soemarno. AP, Soemarno AP (2014). Komunikasi Politik (dalam bahasa Indonesian). 2. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka. hlm. 1–36. ISBN 978-979-011-344-2. 
  2. ^ Henry Subaktio and Rachmah Ida. 2012. Komunikasi politik, media, dan demokrasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
  • Dan Nimmo. Komunikasi Politik. Rosda, Bandung, 1982.
  • Gabriel Almond The Politics of the Development Areas, 1960.
  • Gabriel Almond and G Bingham Powell, Comparative Politics: A Developmental Approach. New Delhi, Oxford & IBH Publishing Company, 1976.
  • Mochtar Pabottinggi, “Komunikasi Politik dan Transformasi Ilmu Politik” dalam Indonesia dan Komunikasi Politik, Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun (eds). Jakarta, Gramedia, 1993.
  • Jack Plano dkk., Kamus Analisis Politik, Rajawali Jakarta 1989.
Kembali kehalaman sebelumnya