Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Kelong

Kelong (Makassar: ᨀᨙᨒᨚ, translit. Kelong, pengucapan bahasa Makassar: [ˈkeloŋ]) merupakan karya sastra sejenis puisi atau pantun Makassar. Kelong menjadi salah satu bentuk karya sastra klasik yang paling populer di kalangan masyarakat, terutama mereka yang berlatar belakang bahasa dan sastra Makassar. Jenis sastra ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, baik menyangkut bentuk maupun pengungkapan isinya.

Dilihat dari sudut sosial budaya, eksistensi Kelong dan kegemaran masyarakat terhadap jenis sastra Makassar yang lain tidak terlepas dari fungsi umumnya sebagai produk sekaligus sebagai perekam budaya. Dalam kapasitasnya sebagai produk dan perekam budaya, Kelong sarat dengan nilai-nilai budaya, seperti nilai pendidikan dan keagamaan. Di samping itu, Kelong memiliki peranan atau fungsi yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakat. Seperti halnya dengan karya sastra yang lain, Kelong juga memiliki peranan dalam membudayakan manusia.[1]

Penelitian tentang Kelong sudah ada beberapa buah, antara lain (1) Makassaarsch Hollandsch Woordenboek (1859) oleh Dr. B.F. Matthes, (2) Kelong Makassar Merupakan Salah Satu Pencerminan Kepribadian Masyarakat Makassar (1982) oleh Aburaerah Arief, (3) Sastra Lisan Puisi Makassar (1990) oleh Mustamin Basran, dkk., dan (4) Nilai Religi dalam Kelong Sastra Makassar (1993) oleh Nasruddin. (5) Kelong dan Fungsinya dalam Masyarakat oleh Zainuddin Hakim (1998).[2]

Arief di dalam kajiannya hanya melihat Kelong sebagai salah satu jenis sastra Makassar yang mencerminkan watak dan kepribadian orang-orang Makassar, seperti pandangan tentang etos kerja dan pentingnya musyawarah dalam segala hal. Basran dkk.(1990) menganalisis puisi-puisi Makassar dari segi strukturnya. Sementara itu, Nasaruddin (1993) lebih memusatkan penelitiannya pada pengkajian nilai-nilai keagamaan yang tertuang dalam Kelong. Selanjutnya, Zainuddin Hakim (1998) memfokuskan penelitiannya pada fungsi kelong dalam masyarakat.[3]

Di samping hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, ditemukan pula beberapa buah yang menghimpun sejumlah Kelong beserta terjemahannya. Buku-buku tersebut antara lain (1) Kelong dalam Sastra Makassar (1986) oleh Sahabuddin Nappu, (2) Puisi-puisi Makassar (1995) oleh Muhammad Sikki dkk. Dan Sangkarupa Kelong Mangkasarak (1997) oleh Sahabuddin Nappu dkk.

Kenyataan di atas memberi isyarat bahwa penelitian tentang Kelong dari sudut nilai-nilai kehidupan dan fungsi-fungsi yang diperankannya perlu dilakukan. Hasil pengkajian ini diharapkan memberi manfaat kepada masyarakat berupa pemahaman berbagai aspek tentang Kelong, terutama nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan fungsi-fungsinya dalam kehidupan.

Dengan pemahaman yang mendalam terhadap sastra Kelong ini, diharapkan dapat ditumbuhkan sikap positif terhadap karya sastra klasik ini sebagai bagian integral dari budaya nusantara, khususnya Sulawesi Selatan yang turut menyokong eksistensi kebudayaan nasional. Dengan demikian, upaya yang dilakukan ini merupakan dialog antarbudaya dan antardaerah yang salah satu fungsinya sebagai media dalam usaha mewujudkan generasi yang berwawasan keindonesiaan.

Pada akhirnya, sebagai bagian dari sastra nusantara, Kelong dapat dijadikan sarana penanaman dan penguatan nilai-nilai pendidikan karakter yang diharapkan dapat menuntun manusia untuk menemukan hakikat keberadaannya baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial di alam semesta ini.

Fungsi dalam masyarakat

Karya sastra pada umumnya, termasuk sastra lisan, merupakan hasil perpaduan antara dunia nyata dan dunia rekaan. Bahkan, Teeuw (1988:231) dengan tegas menyatakan bahwa dunia nyata dan dunia rekaan selalu saling berjalinan, yang satu tidak bermakna tanpa yang lain. Berdasarkan hubungan dua arah antara dunia nyata dan dunia rekaan itu dapat dipastikan bahwa karya sastra memiliki fungsi-fungsi sosial tertentu dalam masyarakat pendukungnya.

Dalam hubungan dengan fungsi-fungsi sosial sastra itu, Finnegan (dalam Tuloli, 1990:307) menyatakan bahwa hal yang terpenting dalam memahami tujuan dan fungsi karya sastra lisan ialah hubungannya dengan kepercayaan, agama, pengamalan, dan lambang-lambang khusus yang bersifat lokal.[4]

Secara umum, Kelong mempunyai fungsi merekam peristiwa dan pengalaman masa lampau dan masa kini masyarakat Makassar. Kelong selain dapat menimbulkan kesenangan dapat juga memberikan pengetahuan dan pengalaman yang sangat berharga bagi kehidupan.

Media pendidikan

Sebagai salah satu produk dan perekam budaya di satu sisi sekaligus sebagai bagian dari kekayaan rohani di sisi lain, Kelong dapat berperan sebagai sarana untuk mempertinggi budi pekerti seseorang. Salah satu peranannya ialah sebagai media pendidikan. Nilai-nilai pendidikan yang dituangkan di dalamnya, pada garis besarnya, dapat dipilah menjadi dua macam, yakni (1) nilai pendidikan yang bersifat keagamaan dan (2) nilai pendidikan yang bersifat sosial kemasyarakatan.

Keagamaan

Pada umumnya sastra daerah Makassar sarat dengan nilai-nilai pendidikan keagamaan, dalam hal ini agama Islam. Hal ini dapat dimaklumi karena masyarakat Makassar, sejak dahulu sudah taat asas menerima dan melaksanakan ajaran agama tersebut. Salah satu media yang digunakan untuk menyebarkan ajaran agama yang mereka terima dari para penganjur adalah karya sastra, baik dalam bentuk prosa maupun dalam bentuk puisi, seperti Kelong.

Untuk menghindari ketumpangtindihan dalam analisis tentang pendidikan yang bersifat keagamaan dan yang bersifat sosial kemasyarakatan, maka Kelong dibedakan sebagai berikut. Kelong yang berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhan dimasukkan ke kelompok pendidikan yang bersifat keagamaan. Sementara itu, Kelong yang berbicara tentang adat-istiadat dan tata cara bergaul dengan sesama manusia dimasukkan ke dalam data pendidikan sosial kemasyarakatan.

Kelong yang memuat nilai pendidikan keagamaan, antara lain sebagai berikut.

Bahasa Makassar Bahasa Indonesia

Boyai ri taenana

Assengi ri maniakna

Tenai antu

Namaknassaja niakna

Carilah Dia dalam gaib

Yakinlah Dia ada

Memang tak tampak

Tetapi pasti adanya

Bayang-bayangnna ri jeknek

Tontonganna ri carammeng

Lio-liona

Tallasak tenang matea

Terbayang dalam air

Tercermin lewat kaca

Bidikannya

Hidup tak pernah mati

Kuassengi ri maniakana

Kuboyai ri taenana

Naiasani

Kalengku tonji kugappa

Kuyakini ada-Nya

Kucari Dia dalam gaib

Tetapi

Yang kudapati diriku sendiri

Kukutaknammi kalengku

Kukusissimmi nyawaku

Battu ri apai

Assalak kajaraiannu

Kutanyai diriku

Kuselidiki jiwaku

Dari mana gerangan

Asal kejadianmu

Assenganna Karaennu

Pijappui kalennu

Keremae

Pakrimpunganna nyawanu

Untuk mengenal Tuhanmu

Kenalilah dirimu

Dimanakah gerangan

Simpul kehidupanmu

Battu ri Iaji antu

Kajarianna nyawanu

Ri Ia tonji

Lammaliang tallasaknu

Punna kamma panngassennu

Pijappunu ri kalennu

Antei kamma

Unjukna pakkusiannu

Kusombai ri maniak-Na

Mallaka ri taklenguk-Na

Nakujarreki

Ri sipak kasekrean-Na

Kusembah karena memang Dia ada

Kutakut pada-Nya karena gaib

Kuyakin

Akan sifat keesaan-Nya

Lonnu menteng ri tajalli

Pakabajik taratteknu

Salasakontu

Lonna rua mungkaraknu

Dalam bertajalli

Hendaklah khusuk

Ibadahmu akan sia-sia

Jika berpaling dari Dia

Anngaro-aroko tobak

Ri gintingang tallasaknu

Mateko sallang

Na nusassalak kalennu

Cepatlah tobat

Sebelum ajal tiba

Nanti mati

Kamu menyesali diri

Sambayang-bayang dosana

Tumajarreka imanna

Ri naassenna

Nasomba kasekrean-Na

Dosa terbayang-bayag

Bagi yang teguh iman

Karena tahu

Menyembah Zat Yang Esa

Assambayangko nutambung

Pakajai amalaknu

Na nujarreki

Kananna Anrong gurunnu

Salat dan tawakkallah

Perbanyak amalanmu

Pegang teguhlah

Ajaran gurumu

(Basang, 986:28-30)

Jika diamati secara cermat Kelong di atas, tampak sekali betapa dalam pendidikan keagamaan (nilai religius) yang tertuang di dalamnya. Penggambarannya memang sangat abstrak, tetapi di balik keabstrakan itulah terletak makna yang sangat dalam. Hal ini dapat dimaklumi sebab isinya berbau filsafat Islam atau tasawuf, ditambah lagi dengan penggunaan ungkapan-ungkapan yang padat makna.

Jika isi Kelong di atas dirangkum, paling tidak ada empat masalah yang paling mendasar yang dikemukakan di dalamnya. Masalah-masalah itu adalah makrifat, proses perjalanan manusia, taubat, dan tugas pokok manusia. Penjelasan keempat masalah pokok tersebut adalah sebagai berikut.Makrifat

Makrifat termasuk salah satu istilah yang sangat popular di ilmu tasawuf. Makrifat berarti pengenalan. Jadi, pengenalan kepada Allah disebut makrifatullah yang merupakan jenjang tertinggi yang dicapai manusia di dalam mengesakan Allah. Orang-orang yang sudah sampai ke taraf yang demikian, dinding penghalang atau yang dalam ilmu tasawuf disebut “hijab”, sudah diangkat baginya. Akibatnya, dengan izin Allah, hal-hal yang bersifat abstrak atau trasendental merupakan sesuatu yang amat mudah bagi mereka untuk diketahui. Bait pertama, kedua, ketiga, kelima, dan ketujuh menggambarkan bahwa manusia harus mencari dan menemukan Tuhan yang pasti adanya.

Untuk menemukan-Nya manusia memerlukan media. Dan media yang paling tepat adalah melalui jalur ibadah, terutama salat, setelah sebelumnya sampai ke taraf makrifat. Untuk sampai ke taraf makrifatullah atau pengenalan kepada Allah itu ada langkah awal perlu dilalui yang berfungsi sebagai terminal trasnsit. Langkah awal yang dimaksud disebut makrifatunnafsi atau pengenalan terhadap hakikat diri sendiri. Manusia perlu menyadari lebih dahulu eksistensinya, tujuan hidupnya, dan tugas-tugas yang harus diembannya. Hal ini tertuang dalam bait keempat dan kelima, khususnya bait kelima larik pertama dan kedua yaitu:

Assengangna karaennu, pijappuimi kalennu Untuk mengenal Tuhanmu, kenalilah dirimu

Jadi, pengenalan terhadap diri sendiri (makrifatunnafsi) merupakan titik tumpuan untuk sampai kepada pengenalan kepada Allah (makrifatullah).

Langkah lain yang dapat digunakan untuk mencapai taraf makrifat itu adalah melalui pengkajian terhadap fenomena-fenomena alam raya ini. Mengapa harus ada matahari, bintang, atau bulan, misalnya, dan untuk apakah semuanya itu diciptakan? Selanjutnya, mengapa antara benda langit yang satu dengan yang lain, seakan-akan saling mengerti tentang tugas dan fungsinya masing-masing? Akhirnya, muncul lagi pertanyaan siapakah yang mengatur semua itu?

Dari sederetan pertanyaan yang muncul, diadakanlah pengkajian. Dan, dari pengkajian yang matang itulah muncul suatu simpulan bahwa ada yang mencipta dan mengatur segala-galanya. Hal ini tertuang dalam bait kedua, terutama larik pertama dan kedua.

Bayang-bayangna ri jeknek, tontonganna ri carammeng Terbayang dalam air, tercermin lewat kaca

Kelong ini berarti bahwa pengenalan Allah harus melalui jalur ciptaan-Nya, bukan melalui zat-Nya. Sebagaimana firman Allah (“Pikirkanlah tentang ciptaan Allah dan janganlah pikirkan tentang zat-Nya).

Dari makrifat muncul sifat atau perasaan cinta yang mendalam kepada Tuhan Yang Mahakuasa, yang dalam ilmu tasawuf disebut mahabbah. Dari perasaan cinta atau mahabbah itu muncul lagi sikap batin yang disebut syauk atau perasaan rindu selalu ingin “bertemu” dengan Tuhan. Baik mahabbah atau perasaan cinta maupun syauk atau rasa rindu terhadap Sang Pencipta, keduanya merupakan pengaruh positif makrifat itu.

Dengan semakin dalam dan tingginya makrifat kepada Sang Pencipta, seseorang semakin mengarifi pula hakikat keberadaannya selaku makhluk, dan Dia sebagai Khaliqul Alam atau pencipta alam semesta. Dengan makrifat itu pula, seseorang semakin menyadari ketakberadaannya di balik kemahakuasaan Sang Pencipta. Kondisi seperti itu semakin memacu seseorang untuk tenggelam di dalam pengabdian dalam segala bentuk dan variasinya. Makna inilah, antara lain, yang terkandung dalam pernyataan berikut (bait ketujuh).

Punna kamma panngassennu, pijappunu ri kalennu, anteikamma, unjukna pakkusiannu. Jika demikian makrifatmu kepada Allah dan pengenalanmu terhadap dirimu, lalu bagaimana pula wujud pengabdianmu.

Proses perjalanan hidup manusia

Bait Kelong yang menggambarkan proses perjalanan manusia, dapat dilihat pada bait keempat, khususnya larik ketiga dan keempat, berbunyi sebagai berikut.

Battu ri apai, assalak kajariannu Dari mana sumber keberadaanmu

Kelong tersebut berisi pertanyaan yang sangat mendasar, yaitu “Dari mana asal kejadian manusia.” Pertanyaan tersebut dijawab langsung dalam bait keenam yang berbunyi sebagai berikut.

Battu ri Iaji antu, kajarianna nyawanu, ri Ia tonji, lammaliang tallasaknu. Dari sana jua, asal kejadianmu, dan kepada-Nya, engkau akan kembali.

Kandungan bait keenam di atas merupakan penjabaran dari Alquran surat Al Baqarah:156 yang artinya “Sesungguhnya kita (manusia) berasal dari Allah dan kepada-Nya pula kita akan kembali.”

Kelong di atas mengandung pendidikan yang sangat mendasar yang sepatutnya dihayati setiap orang. Sejauh-jauh manusia berjalan, akhirnya akan kembali juga kepada Sang Penciptanya. Sehebat-hebat manusia dengan segala fasilitas yang dimilikinya serta sederetan predikat yang disandangnya, akhirnya, akan kembali juga kepada asal kejadiannya.

Dalam proses perjalanan kehidupannya, manusia melintasi lima macam alam. Kelima alam tersebut sangat berlainan situasi dan keadaannya.

Alam Roh

Alam roh lazim dsebut dengan alam arwah. Alam ini merupakan tempat penantian pertama sebelum roh-roh itu bergabung dengan jasadnya. Alam ini juga disebut alam penampungan yang dalam bait kelima, larik keempat disebut pakrimpunganna nyawaya.

Alam Kandungan

Setelah tinggal di alam roh, entah berapa lamanya, selanjutnya roh itu dipindahkan ke alam kandungan atau Alamul arham untuk dipadukan dengan jasadnya. Alam ini merupakan bengkel perakitan manusia yang bahan bakunya dari sperma laki-laki dan sel reproduksi wanita yang lazim disebut ovum. Pertemuan antara sperma dan ovum itu merupakan proses penciptaan jasmani manusia. Hal ini dapat menjadi jawaban terhadap pertanyaan yang terkandung dalam bait keempat, larik ketiga dan keempat di atas.

Alam Dunia

Setelah tinggal beberapa bulan di alam kandungan, manusia dipindahkan lagi ke alam dunia. Alam ini merupakan tempat untuk bekerja. Artinya, semua manusia harus aktif bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik untuk hidup yang sekarang maupun untuk hidup di alam-alam selanjutnya. Inilah tugas pokok manusia di dunia. Hasil kerja di dunia ini sangat menentukan kehidupan seseorang untuk selanjutnya. Bahagia dan tidaknya seseorang di alam-alam yang akan datang sangat ditentukan oleh prestasi kerjanya di dunia. Prestasi kerja dalam bahasa agama di sebut amal (Ahsanu amalan).

Salah satu bentuk ibadah yang menjiwai amal atau ibadah yang lain adalah salat dan taat melaksanakan syariat Islam secara murni dan konsekuen. Masalah ini diungkapkan dalam bait kedua belas, yaitu:

Assambayangko nutambung, pakajai amalaknu, na nujarreki, kananna anrong gurunnu. Salat dan tawakkallah, perbanyak amalanmu, dan pegang teguhlah ajaran gurumu (agamamu).

Di alam ini pula manusia diperintahkan mencari dan menemukan Tuhannya, seperti yang digambarkan dalam bait pertama, berikut ini.

Boyai ri taena-Na, assengi ri maniakna, tenai antu, namaknassaja niakna. Carilah dia dalam gaib, yakinlah Dia pasti ada, memang tak tampak, tetapi pasti adanya

Manusia yang tidak mencari dan tidak berhasil menemukan Tuhannya dianggap gagal di dalam hidupnya. Artinya, manusia semacam itu tidak mampu menghayati eksistensinya selaku makhluk yang harus bekerja atau beramal untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki.

Alam Kubur

Alam kubur atau alam barzah merupakan terminal transit kedua setelah alam roh. Seluruh manusia pada hakikatnya bergabung ke alam ini. Tempat ini disebut juga daerah perbatasan antara alam dunia dengan alam akhirat. Dan, dari tempat ini manusia dipindahkan lagi ke alam yang terakhir yaitu alam akhirat. Proses perpindahan manusia dan makhluk yang lain dari alam dunia ke alam kubur diawali dengan kematian, yaitu pemisahan kembali antara roh dan jasad. Kematian ini merupakan syarat mutlak di dalam perjalanan manusia ke alam yang lain.

Pada bait keenam, khususnya larik ketiga dan keempat yang berbunyi;

Ri ia tonji, lammaliang tallasaknu Dan kepada-Nya juga, kamu akan kembali

Dapat pula bermakna bahwa manusia pada saat yang telah ditetapkan akan dikembalikan kepada asal kejadiannya. Asal kejadian manusia bersumber dari empat unsur, yaitu api, udara, air, dan tanah. Tiga unsur yang lain, yaitu api, udara, dan air semuanya terangkum dalam unsur tanah. Alam kubur bukan lagi tempat untuk bekerja, melainkan tempat untuk menerima panjar hasil pekerjaan. Hasil yang diperoleh seseorang di tempat ini bergantung pada bobot pekerjaan atau amalnya di alam dunia. Jika pekerjaan itu baik, hasilnya pun baik. Akan tetapi, jika pekerjaan itu jelek, hasilnya pun akan jelek. Untuk mengantisipasi keadaan seperti itu bait kesepuluh Kelong di atas memberi isyarat sebagai berikut.

Anngaro-aroko tobak, ri gintingan tallasaknu, mateko sallang, na nusassalak kalennu. Cepatlah bertobat, sebelum ajal tiba, nanti meninggal, engkau menyesali diri

Alam Akhirat

Alam akhirat merupakan terminal terakhir dari seluruh rangkaian perjalanan kehidupan manusia. Akhirat diawali dengan kebangkitan dari kubur. Setelah manusia dibangkitkan, diperlihatkanlah kepada mereka seluruh amal dan perbuatannya. Segala tabir rahasia dibongkar sehingga tidak ada yang tersembunyi sedikit pun. Besar kecilnya atau baik buruknya perbuatan seeorang, semuanya dibuka. Rekaman perjalanan sejarah hidup manusia ditayangkan secara utuh. Keadaan ini disebut Yaumul ard/Yaumul hisab hari penayangan/perhitungan. Di alam ini hanya terdapat dua perkampungan, yaitu surga yang penuh dengan kenikmatan dan neraka yang penuh dengan azab TuhanTobat

Manusia dibekali dengan akal dan nafsu. Dalam kegiatan operasionalnya keduanya selalu bertentangan dan selalu berebut untuk mengendalikan manusia. Akal mempunyai kecenderungan kepada hal-hal yang positif, sebaliknya nafsu (nafsu ammarah) selalu membawa kepada hal-hal yang negatif. Jika nafsu yang berkuasa, manusia cenderung melakukan pelanggaran, baik pelanggaran agama maupun pelanggaran susila. Pelanggaran atau dosa itu akan menggerogoti jiwa manusia. Semakin kerap dosa itu dilakukan, semakin kotor pula jiwa itu.

Untuk mengembalikan jiwa kepada bentuk kesuciannya, manusia harus bertobat kepada Tuhan.Tobat berfungsi sebagai penghapus dosa-dosa yang pernah dilakukan. Pentingnya tobat itu dikemukakan dalam bait kesepuluh, sebagai berikut.

Anngaro-aroko tobak, ri gintingang tallasaknu, mateko sallang, na nusassalak kalennu.

(Cepatlah bertobat, sebelum ajal tiba, nanti meninggal, engkau menyesali diri.)

Kelong di atas, secara transparan, mengingatkan setiap orang yang merasa berdosa agar secepatnya bertobat kepada Tuhan sebelum meninggal. Orang-orang yang berdosa, tetapi tidak pernah bertobat pasti akan menyesal (nasassalaki kalenna). Sebab, untuk menghapus dosa-dosa nanti di akhirat bukan lagi dengan tobat, melainkan dengan api. Masalah pentingnya pembersihan jiwa ini melalui jalan tobat, digambarkan dalam bait kesebelas, seperti berikut.

Sambayang-bayang dosana, tumajarreka imanna, rinaassenna, nasomba kasekreanna.

(Dosa terbayang-bayang, bagi yang teguh iman, karena tahu, menyembah Zat Yang Esa.)

Salat

Tugas pokok manusia adalah mengabdi kepada Allah Swt. Salah satu bentuk pengabdian itu tercantum dalam Kelong di atas, bait kedua belas.

Assambayangko nutambung, pakajai amalaknu, na nujarreki, kananna anrong gurunnu.

(Salat dan tawakallah, perbanyak amalanmu, pegang teguhlah ajaran gurumu).

Salat merupakan tugas yang paling mendasar di dalam syariat Islam. Ibadah-ibadah yang lain bertumpu pada salat. Oleh karena itu, kualitas iman seseorang dapat terefleksi dari pelaksanaan salat. Dalam sebuah bait Kelong digambarkan sebagai berikut.

Bahasa Makassar Bahasa Indonesia
Apai nuparek bokong

Bokong mange ri anja

Taena maraeng

Sambayang lima wattua

Taenapantu nabajik

Bateta anngerang sareak

Punna taena

Nasikkoki sambayang

Apa yang kaujadikan bekal

Persiapan ke akhirat

Tiada lain

Salat lima waktu

Belum sempurna

Pelaksanaan syariat Anda

Jika belum

Diikat dengan salat

(Nappu, 1986:154)[5]

Dari dua Kelong terakhir dapat digarisbawahi bahwa ibadah apa saja yang dilakukan tanpa dibarengi dengan salat, dianggap belum sempurna. Bahkan, salat menentukan posisi ibadah yang lain apakah diterima atau tidak. Salat kunci kebaikan dam keselamatan.

Salah satu faktor yang menentukan kualitas salat itu adalah niat dan tingkat khusyuk, semakin terarah niat dan khusyuk di dalam salat, semakin tinggi pula kualitas salat tersebut. Hal inilah yang ditegaskan di dalam bait sembilan.

Lonnu menteng ri tajalli, pakabajik taratteknu, salasakontu, lonna rua mungkaraknu.

(Dalam bertajalli, khusyuklah kepada-Nya, ibadahmu akan sia-sia, jika berpaling dari Dia.)

Selain faktor niat dan khusyuk yang menentukan kualitas salat adalah ingatan kepada Allah. Ingatan atau yang lazim disebut dzikrullah adalah jiwa salat. Ini berarti bahwa salat tanpa zikir kepada Allah laksana manusia tanpa roh. Itulah sebabnya, di dalam Kelong di atas sangat ditekankan pentingnya salat itu diwarnai dengan khusyuk dan zikir betul-betul kepada Allah. Jika tidak demikian, salat itu dianggap kurang berkualitas.

Kelong lain yang mengandung nilai-nilai keagamaan adalah sebagai berikut.

Bahasa Makassar Bahasa Indonesia
Sahadaknu kakdo allo

Sambayannu kanre banngi

Napuasanu

Nupakjari lampang kana

Punna tanupotok sahadaknu

Tanusikkok sambayannu

Ebarak lepa-lepa

Tena guling samparajana (SI)

Syahadatmu makan siang

Salatmu santap malam

Puasamu

Jadikanlah laras pembicaraan

Jika syahadatmu tidak dililit

Salatmu tidak dibelit

Engkau laksana perahu

Yang tak berkemudi dan tak berjangkar

(SI)

Kelong (2) di atas mengandung tiga ajaran agama yang terangkum dalam rukun Islam, yaitu syahadat, salat, dan puasa. Syahadat adalah rukun Islam yang pertama. Ia merupakan pengakuan secara lisan yang perlu ditindaklanjuti dengan pelaksanaan ibadah yang lain. Syahadat perlu dimantapkan lebih dahulu, barulah disusul ibadah yang lain. Akan tetapi, jika syahadat tidak tertanam kokoh atau tidak dihayati dengan baik, salat dan ibadah-ibadah yang lain tidak akan terlaksana dengan baik. Akibatnya, orang akan terombang-ambing di dalam kehidupan beragama laksana perahu yang tak berkemudi dan tak berjangkar (Ebarak lepa-lepa tena guling samparajana).

Kelong lain yang menggambarkan syahadat adalah sebagai berikut.

Bahasa Makassar Bahasa Indonesia
Paknassai sahadaknu

Sekreji Allah Taala

Nakbi Muhammad

Suro tunipatakpakna

Nyatakan syahadatmu

Allah itu Esa

Nabi Muhammad

Rasul terpercaya-Nya.

(Sikki, 1995:153).[6]

Puasa termasuk salah satu rukun Islam yang tegambar dalam Kelong (2) bait pertama, larik ketiga dan keempat, yaitu:

Napuasanu, nupakjari lampang kana

(Dan puasamu, jadikanlah laras pembicaraan)

Salah satu makna yang terkandung dalam kata puasa adalah pengendalian diri, sedangkan lampang kana adalah tuturan. Oleh karena itu, pernyataan dalam Kelong di atas dapat ditafsirkan bahwa puasa di samping fungsinya sebagai kegiatan yang berbentuk ritual keagamaan, juga mempunyai fungsi kemasyarakatan. Fungsi itu adalah sebagai alat pengendali dalam segala hal, khususnya di dalam bertutur.

Karena tuturan dapat membawa manfaat dan bahaya sekaligus, pengendalian sangat dibutuhkan. Itulah sebabnya, orang yang berpuasa seharusnya mampu menciptakan tutur kata dan tingkah laku yang bermanfaat, baik terhadap orang lain maupun terhadap dirinya. Makna itulah, antara lain, yang terkandung dalam pernyataan Kelong di atas.

Sosial Kemasyarakatan

Nilai pendidikan yang termuat dalam Kelong, khususnya yang menyangkut sosial kemasyarakatan cukup banyak.Nilai pendidikan tersebut adalah sebagai berikut.

Berhati-hati dalam segala hal

Untuk mewujudkan keharmonisan dan kerukunan di dalam bermasyarakat, faktor kehati-hatian perlu mendapat perhatian.Masalah ini dapat dilihat dalam Kelong berikut.

Bahasa Makassar Bahasa Indonesia
Tutulaloko rikana

Ingakko ri panggaukang

Kodi gauknu

Kodi todong balasakna

Hati-hatilah dalam berucap

Waspadalah dalam berbuat

Jelek perbuatanmu

Jelek pula akibatnya.

(Basang, 1986:28).[7]

Kelong di atas mengingatkan kepada siapa saja agar selalu berhati-hati di dalam berbicara dan di dalam berbuat.Ucapan dan perbuatan yang tidak terkontrol dapat merusak nilai-nilai persahabatan dan kerukunan yang sudah tertanam kukuh.Ucapan dan perbuatan adalah sumber kemaslahatan sekaligus sebagai sumber malapetaka. Yang menjadi tanggung jawab bagi setiap orang adalah kearifan mengendalikan diri dengan cara memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menyakiti pihak lain.

Hal yang senada dengan Kelong (4) adalah sebagai berikut.

(5) Tutulaloko maklepa-lepa

Makbiseang rate bonto

Tallangko sallang

Nanasakkokko alimbukbuk [8]

Terjemahan:

Berhati-hatilah bersampan

Berperahu di daratan

Jika tenggelam

Engkau tersedak debu

Kelong di atas pun menganjurkan pentingnya sikap kehati-hatian itu diwujudkan. Sebab, jika hal itu diabaikan akan menimbulkan bencana. Hidup ini ibarat sebuah kapal. Jika kapal tesebut dijalankan dengan asal-asalan, tanpa mempertimbangkan berbagai hal yang dapat membahayakan pelayaran, lambat atau cepat kapal tersebut akan tenggelam. Demikian juga halnya, seseorang yang tidak mengindahkan lagi sopan santun di dalam berbicara dan di dalam bertindak, ia akan berhadapan dengan berbagai kesulitan dan bahaya. Inilah makna yang terkandung dalam larik ketiga dan keempat, tallangko sallang, nanasakkokko alimbukbuk (jika tenggelam engkau akan tersedak debu).Bagi remaja putri yang dikaruniai kecantikan, Kelong berikut ini dapat menjadi pegangan.

(6) Pauangi bunga ejaya

Nakatutui rasanna

Manna mabauk

Teai mabauk dudu [9]

Terjemahan:

Sampaikan si kembang merah

Agar baunya dijaga

Walaupun harum

Jangan terlalu semerbak

Bunga eja, ‘kembang merah’ pada Kelong (6) berarti gadis cantik, pada umumnya, selalu menjadi dambaan para pemuda. Oleh karena itu, sang gadis harus memelihara kehormatannya (nanakatutui rasanna). Jika kehormatan sudah tercemar, namanya akan tercemar dan seluruh keluarganya akan mendapat aib.Hal lain yang diungkapkan dalam Kelong di atas adalah sebagai berikut. Di dalam bergaul si “Kembang Merah” tidak boleh takabur karena kecantikannya.Sebab, hal itu dapat mengundang masalah yang serius.

Kelong (7) berikut ini ditujukan kepada para pemuda agar mereka pun dapat menjaga nama baiknya.

(7) Pauangi tobo rappoa

Nakatutui tingggina

Manna matinggi

Teai taklayuk dudu

Terjemahan:

Sampaikan seludang pinang

Agar tingginya dijaga

Walaupun tinggi

Jangan terlalu menjulang

Tobo rappo ‘seludang pinang’ berarti pemuda, sedangkan‘tinggi’ berarti martabat. Dari dua Kelong terakhir terlihat baik gadis maupun pemuda harus selalu berhati-hati dan menjaga martabat masing-masing.

Bekerja dengan tekun

Salah satu syarat penting untuk mewujudkan kebahagiaan hidup adalah semangat kerja yang tinggi. Orang-orang tua dahulu, sejak dini, telah menanamkan semangat seperti itu kepada anak cucunya.Dengan semangat kerja yang tinggi, mereka mampu mengarungi samudera yang luas bahkan sampai ke Kepulauan Madagaskar (Afrika Selatan).

Resep apa yang ditawarkan orang-orang tua dahulu untuk menciptakan kebahagiaan, dapat dilihat dalam Kelong berikut ini.

(8) Resopa siagang tambung

Ri Karaeng Malompoa

Nanampa niak

Sunggu lanikammai

Empo sunggu panna-panna

Tekne jannaya kayao

Naya lanrinna

Reso satunggu-tunggu (SI)

Terjemahan:

Bekerja disertai tawakal

Kepada Tuhan Yang Agung

Baru ada

Bahagia digapai

Bahagia cita-citakan

Kemakmuran idam-idamaku

Melalui

Bekerja dengan tekun

          Pada Kelong (8), baik pada bait pertama maupun pada bait kedua terdapat kata kunci, yaitu reso dan sunggu. Kata reso dalamkonsep budaya Makassar bermakna ‘bekerja dengan tekun’ Sedaangkan kata sunggu bermakna ‘bahagia, makmur, dan tenteram. Kata sunggu tersebut lebih mengacu kepada pemenuhan kebutuhan di bidang materi.

Berdasarkan konsep makna kedua kata tersebut, Kelong di atas dapat ditafsirkan seperti berikut.Untuk memenuhi kebutuhan hidup di bidang materi, landasannya adalah bekerja. Tanpa kerja keras, kerja cerdas, kebahagiaan dan kemakmuran tetap menjadi sebuah impian yang tak akan pernah terwujud.

Dalam Kelong yang lain digambarkan sebagai berikut.

(9) Akbulo sibatampakik

Namareso tamattappuk

Nanampa niak

Sannang lani pusakai [10]

Terjemahan:

Hanya dengan persatuan

Disertai kerja keras

Barulah

Kebahagian tercapai

Kelong (9) lebih mempertegas kandungan Kelong (8) bahwa hanya dengan kerja keras, kebahagiaan dapat dicapai. Menurut konsep budaya Makassar, orang yang tidak mau bekerja dianggap tau tena buak-buakna ‘orang yang tidak bermanfaat’ atau tau tena sirikna ‘orang yang tidak mempunyai harga diri’.

Perhatikan pula Kelong berikut ini.

(10) Kuttu bebek alle pelak

Ia tuna na kamase

Nupakabella

Elok ande tea eco (SI)

Terjemahan:

Malas dan bodoh hindarilah

Ia rendah dan hina

Jauhkan pula

Mau makan kerja tak mau

          Konsep kuttu ‘malas’ dan erok ande tea eco ‘mau makan, tetapi tidak mau kerja’  pada Kelong  (10) di atas sama saja. Keduanya merupakan sikap mental yang perlu dihindari. Bukan itu saja, sikap seperti itu sangat memalukan di kalangan orang-orang Makassar. Oleh karena itu, untuk mencapai empo ri sunggu ‘jenjang kebahagiaan’ sikap kuttu dan elok ande tea eco harus dibuang jauh-jauh.

Teguh dalam Pendirian

Teguh dalam pendirian dalam bahasa Makassar disebut tokdopuli yang dapat diartikan dengan tegas, berani, dalam kebenaran, setia pada keyakinan, dan taat asas. Kata lain yang dapat dipadankan dengan keteguhan adalah tantang atau istiqomah dalam bahasa agama.

Perhatikan beberapa bait Kelong berikut ini.

11) Takkunjungan bangun turuk

Nakuguncirik gulingku

Kualleanna

Tallanga na toalia

Kusoronna biseangku

Kucampakna sombalakku

Tamammeloka

Punna teai labuang [11]

Terjemahan:

Tak akan kuturutkan alunan arus

Kemudi telah kupasang

Aku lebih sudi tenggelam

Daripada surut kembali (tanpa hasil)

Kudayung sampanku laju

Kukembangkan layarku

Pantang kugulung

Sebelum tiba di pantai idaman

Apabila kemudi telah terpasang, layar telah terkembang, betapa pun beratnya tantangan dan rintangan, perahu harus berlayar terus menuju pantai idaman.

Kelong (11) di atas memberi isyarat bahwahidup harus dijalani dengan keteguhan dan keyakinan. Bagaimanapun hebatnya tantangan kehidupan jika dihadapi dengan keteguhan, akhirnya tantangan itu dapat diatasi.Hidup selamanya tidak berjalan mulus. Oleh sebab itu, pengendalian diri sangat diperlukan untuk memelihara keseimbangan dinamika kehidupan ini.

Prinsip hidup yang diungkapkan dalam Kelong (11) digambarkan pula dalam Kelong berikut ini.

(12) Kubantunna sombalakku

Kutantang baya-bayaku

Takminasayak

Toali tannga dolangang [12]

Terjemahan:

Bila layar telah kupasang

Temali layar telah kurentang

Aku tak sudi

Kembali dari tengah lautan

Pernyataan takminasayak toali tannga dolangang ‘tak sudi kembali dari tengah lautan’ mengandung makna bahwa nilai-nilai kebenaran yang telah disepakati harus dipertahankan, jika perlu, hingga tetesan darah yang terakhir.Sebab, bergeser dari prinsip semula berarti “sirik”.

Perhatikan pula Kelong berikut ini.

(13) Kuntungku laklasak tembang

Jappok lure sikaranjeng

Kupattunrangi

Lesseka sigigi jangka (Basang, 1988:87)

Terjemahan:

Hancur lebur bagai ikan tembang

Tercabik laksana ikan teri

Kusumpahi

Pantang bergeser segigi sisir

Keteguhan di dalam membela dan mempertahankan prinsip-prinsip kebenaran, baik yang diyakini secara individu maupun secara bersama-sama disebut tokdopuli.Masalah inilah yang diamanatkan Kelong (11), (12), dan (13) di atas.Sebab, hanya orang-orang yang berwatak seperti itulah yang dapat diandalkan dalam segala hal. Dalam ungkapan Makassar, orang seperti itu disebut tau akkulle nilamung batunna ‘orang yang dapat ditanam bijinya. Keteguhan dalam hal membela dan mempertahankan adat-istiadat yang berlaku di masyarakat digambarkan sebagai berikut.

          Sannging karaeng mammempo

Sannging daeng makjajareng

Tabek karaeng

La makkelongi ataya

Ikatte ri turatea

Adaka kipammempoi

Karampuanta

Kiparek tope kalimbu [13]

Terjemahan:

Semua bangsawan duduk bersila

Seluruh daeng berjejer

Maaf

Hamba akan bernyanyi

Kami golongan atas

Adat yang kami junjung

Ramah-tamah

Kami jadikan kain selimut

Dalam hal penentuan jodoh, misalnya, masalah keteguhan pendirian juga diperlukan.Tidak sedikit orang yang mengalami kegagalan di dalam melangsungkan bahtera kehidupannya, disebabkan oleh kebingungannya di dalam menentukan calon pendamping atau teman hidup.

Perhatikan Kelong berikut ini.

(14) Kuntungku bukbuk pammentek

Kala otereka tappuk

Ala cinikku

La maklessok ri maraeng (Nappu, 1986:121)

Terjemahan:

Biar aku tercabut laksana patok

Putus seperti tali

Daripada kekasih

Menjadi milik orang lain.

Kelong (14) di atas menggambarkan ikrar atau keteguhan seorang pemuda di dalam menentukan calon teman hidupnya.Keteguhan hati pemuda tersebut tentu didasari suatu keyakinan bahwa calonnya memang memenuhi syarat untuk dijadikan teman hidup. Dan, ia siap berkorban dalam bentuk apa saja agar gadis pujaannya tidak menjadi milik orang lain. Selanjutnya, sang pemuda berusaha meyakinkan gadis pujannya bahwa ia benar-benar mencintainya.

(15) Andi teako batai

Sarennuji takuasseng

Palak-palakku

Jammempak nurimaraeng

Sanngali jammengpa sallang

Kukalimbuppi buttaya

Kunampa kana

Assami tarinakkena

Jammengki kirua jammeng

Sekre kuburuk kijulu

Napara sayuk

Anrong tumallassukanta (Arief, 1982:74)

Terjemahan:

Dinda, janganlah khawatir

Hanya nasib tak kutanggung

Harapanku

Nanti meninggal barulah dinda milik orang lain

Kecuali aku meninggal

Berkalang tanah

Aku akan berkata

Engkau bukan milikku lagi

Kita akan mati bersama

Satu kubur kita berdua

Biarlah bersedih

Ibunda tercinta

Ikrar yang disampaikan sang pemuda pada Kelong (15) mencerminkan keinginan berkorban dalam mengantisipasi sederatan tantangan. Pernyataan jammempak nurimaraeng ‘nanti aku meninggal barulah Dinda milik orang lain’, jammengki kirua jammeng ‘kita akan mati bersama’, dan sekre kuburuk kijulu ‘satu kubur kita berdua’ menggambarkan niat yang tulus dan kesedian berkorban. Baik niat yang tulus maupun kesediaan berkorban, semuanya bertumpu pada sikap dasar yang tidak ingin bergeser dari cita-cita dan prinsip semula (tantang ri kontu tojeng).

(16) Iapa kujarra assole

Lange-langepa ri cerak

Tassampe tompi

Parruku ri simbolennu (Sikki, 1995:142)Pernyataan Kelong di atas, khususnya larik ketiga dan keempat, yaitu tassampe tompi parrukku ri simbolennu ‘nanti ususku tersangkut pada sanggulmu’ menggambarkan keberanian dan keteguhan hati di dalam memperjuangkan cita-cita suci, walaupun harus berhadapan dengan risiko yang berat (lange-lange ri cerak‘berenang dengan darah’).

Memiliki tanggung jawab yang tinggi

Dalam Kelong banyak ditemukan anjuran agar setiap orang memiliki tanggung jawab yang tinggi, dalam arti sanggup mengemban tugas yang dipercayakan kepadanya.

Perhatikan beberapa Kelong berikut ini.

(17) Pissampuloak nubuno

Nugentung ri Karebosi

Tamamminrai

Gauk mappaonjokmama

Kuntunna anja manngalle

Padatari mallebangang

Kalatuklino

Allonjokiangak topeku (Matthes, 1983:99)

Terjemahan:

Sepuluh kali engkau membunuhku

Di gantung di Karebosi

Tak akan berubah

Pendirianku bahkan semakin nekad lagi

Lebih sudi maut datang menjemput

Liang lahat menyonsong

Daripada orang lain

Merampas kebahagiaanku

Secara transparan, Kelong di atas menggambarkan pelaksanaan nilai tanggung jawab yang tinggi.Besar kecilnya tanggung jawab itu ditentukan oleh besar kecilnya ruang lingkup tugas dan wewenang.Pelaksanaan suatu tanggung jawab tidak terlepas dari nilai-nilai tertentu yang dianut seseorang, baik karena latar belakang kebudayaan maupun karena ajaran agama.Ajaran agama demikian pula ajaran moral nenek moyang kita menekankan betapa besar tanggung jawab seorang suami terhadap istrinya.Tanggung jawab itu bukan hanya dari segi sandang dan pangan, melainkan lebih dari itu sektor keamanan dan kehormatannya perlu diperhatikan.

Kelong (17) di atas memberikan pelajaran bagaimana besar tanggung jawab seorang suami terhadap keluarganya.Pernyataan kuntunna anja manngalle kalatuklino allonjokiangak topeku ‘lebih sudi maut datang menjemput daripada orang lain merengguk kebahagiaanku’ merupakan gambaran pelaksanaan tanggung jawab yang perlu diperhatikan.

Istri dilambangkan dengan kata tope ‘sarung’ dalam Kelong di atas. Tope ‘sarung’ adalah lambang kebanggaan sekaligus lambang kehormatan. Itulah sebabnya orang Bugis-Makassar siap berkorban hingga tetes darah yang terakhir, jika tope-nya diganggu orang lain. Kesediaan berkorban membela kehormatan istri atau tope itu merupakan salah satu pelaksanaan tanggung jawab.Jika sang suami memiliki tanggung jawab membela kehormatan istrinya, sang istri pun harus memiliki tanggung jawab menjaga dan mempertahankan kesucian dirinya. Kelong berikut ini mengandung pernyataan kesediaan membela dan memelihara kehormatan diri.

(18) Kuntunna anja manngalle

Padatari mallebangang

Kalasarani

Allonjokianku topenu (Matthes, 1983:99)[14]

Terjemahan:

Lebih sudi maut datang menjemput

Liang lahat menyongsong

Daripada nasrani

Merampas kebahagianmu

Kelong (17) dan (18) mengisyaratkan bahwa pelaksanaan tanggung jawab yang berhubungan dengan masalah rumah tangga adalah tugas suami istri.

Tolong-menolong dalam kehidupan

Selaku makhluk sosial, manusia tidak mungkin hidup dan memenuhi kebutuhan sendiri. Siapa pun kita pasti memerlukan kehadiran orang lain. Kerja sama yang baik dan tolong-menolong selalu diperlukan di dalam kehidupan. Hal ini digambarkan dalam Kelong berikut ini.

(19) Punna sallang makrambangeng

Teaki sikabellai

Nanrokik kamma

Sirollei sombalatta (Arief, 1982:76)

Terjemahan:

Jika kelak kita sama-sama berlayar

Janganlah kita berjauhan

Biarlah

Layar perahu kita raih-meraih

Manusia di dalam kehidupannya ibarat perahu yang sedang berlayar di tengah samudera.Di tengah pelayaran sangat banyak rintangan dan hambatan yang muncul. Disinilah diperlukan kerja sama yang baik dan tolong-menolong antara satu dengan yang lain. Dengan sifat seperti itu betapa pun beratnya rintangan dan hambatan akan dapat diatasi dengan baik. Hal ini dikemukakan pula dalam Kelong berikut.

(20) Assamaturuk gaukko

Nutantang ri kontu tojeng

Iami antu

Suruga satunggu-tunggu (SI)

Terjemahan:

Bekerja samalah

Pertahankanlah kebenaran

Itulah dia

Surga yang sebenarnya

Hidup ini terasa indah, bagaikan tamansurga Firdaus, jika yang satu menghadapi kesulitan, lalu yang lain ikut merasakannya dan bersedia membantunya. Demikian juga sebaliknya, jika yang satu memperoleh keuntungan yang lain pun ikut merasakannya. Itulah salah satu makna yang terkandung dalam Kelong di atas.

          Penggambaran sifat tolong-menolong dan kerja sama dapat pula dilihat dalam Kelong berikut.

(21) Kualleangko sallang

Tonasakna sikunrua

Alleang tommak

Tonasakna sapiria

Kualleangjako sallang

Tonasakna sapiria

Alleang tommak

Lakbinna maputtaya (Sikki, 1995:54)[15]

Terjemahan:

Akan kuambilkan

Teras jerami

(tetapi) ambilkan juga aku

Teras pohon kemiri

Akan kuambilkan

Teras pohon kemiri

(tetapi) carikan juga aku

Sisa yang sudah lapuk.

          Tolong-menolong di dalam kehidupan ini pada akhirnya bermuara kepada terciptanya ketenteraman dan kebahagiaan hidup.Hal ini diungkapkan dalam Kelongberikut ini.

(22) Sitanro-tanroipakik

Nakisilomo-lomoang

Nanampa niak

Bajik ri paranta tau (SI)

Terjemahan:

Nanti kita saling memberi

Dan saling memudahkan urusan

Baru tercipta

Ketenteraman di antara kita.

Tolong-menolong dalam bidang materi, seperti dalam ungkapan sitanro-tanroipakik ‘nanti kita saling memberi’ atau dalam bidang jasa, seperti dalam ungkapan nakisilomo-lomoang ‘saling memudahkan urusan’ semuanya sangat penting untuk mewujudkan ketenteraman di dalam bermasyarakat.

Kelong sebagai Media Hiburan

Salah satu fungsi Kelong yang sangat transparan adalah sebagai media hiburan.Fungsi hiburan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah munculnya suasana senang dan tenteram yang disebabkan oleh penyampaian Kelong, baik didendangkan dengan iringan musik tertentu maupun disampaikan secara biasa.Biasanya Kelong disampaikan pada acara-acara keramaian tertentu, misalnya, pesta perkawinan, naik rumah baru, dan sunatan.Kelong yang disampaikan pada acara-acara seperti itu adalah Kelong yang diiringi dengan alat musik tertentu, misalnya Kelong yang berjudul Anging Mammirik dan Sulawesi Pakrasanganta.

Adapun Kelong yang disampaikan dengan cara biasa (tanpa alat musik dan kadang-kadang tidak didendangkan) lazimnya disampaikan pada waktu istirahat setelah melaksanakan suatu kegiatan. Di samping itu, Kelong seperti itu biasa digunakan sebagai bumbu pembicaraan untuk menghidupkan suasana agar tetap hidup, santai, dan akrab. Kadang-kadang pula diselingi dengan gelak tawa yang segar. Dalam acara peminangan, misalnya, Kelong sering muncul sebagai pembuka dan penghias pembicaraan.

Perhatikan beberapa bait Kelong berikut.

Niakanne mammempo

Manngerang kasiasiku

Sabak niakna

Hajjak la kupabattu

Tabek kipammopporangmamak

Manngonjok ri baringanta

Tukak bulaeng

Coccorang bulaeng mata

Niakanne ri bellaya

Ri tamambani-bania

Sabak niakna

Intang makkilo-kilota

Kamase-mase kuerang

Takdongkok ri mangkuk kebok

Nakikminasa

Napaempo ri kalakbirang (Arief, 1982:67)[16]

Terjemahan:

Kami datang bersila

Membawa kemiskinan

Karena adanya hajat

Ingin kusampaikan

Maafkan kami

Menginjak pada anak tangga

Tangga emas

Dan susuran perak

Kami datang dari jauh

Dari tempat yang tidak dekat

Sebab adanya

Intan yang berkilau-kilau yang tuan miliki

Kehinaan yang kami bawa

Kutaruh di mangkuk putih

Aku berharap

Didudukkan pada tempat yang mulia

Salah satu Kelong yang sangat popular di kalangan muda-mudi, terutama di desa, adalah KelongBattu Ratemak ri Bulang. Kelong ini termasuk Kelong tekne pakmaik atau Kelong bergembira.Ketika berkumpul di malam hari menikmati indahnya bulan purnama, kaum muda-mudi bersuka-ria sambil mendendangkan lagu tersebut.Dalam suasana santai, akrab, dan cenderung kocak itu, mereka benar-benar memanfaatkan Kelong sebagai sarana hiburan.

Perhatikan kembali kutipan KelongBattu Ratemak ri Bulang berikut ini.

Battu ratemak ri bulang

Makkutaknang ri bintoeng

Apa kananna

Bunting lompojako sallang

Battu ratemak ri bulang

Suro ciniki limangku

Lima patannung

Karemeng padawa-dawa (Basang, 1988:25)[17]

Terjemahan:

Aku datang dari bulan

Bertanya kepada bintang

Apa katanya

Engkau akan kawin ramai

Aku datang dari bulan

Memperlihatkan tanganku

Tangan penenun

Jemari pandai memasak

Kelong di atas sering juga dilantunkan secara bergantian oleh kalangan muda-mudi.Artinya, bait pertama didendangkan oleh kaum remaja kemudian disambut oleh oleh remaja putri pada bait kedua.Suasana gembira seperti ini sekaligus dimanfaatkan oleh mereka untuk saling bertemu dan mengungkapkan isi hatinya. Untuk lebih menghangatkan suasana, Kelong-kelong yang lain sering pula disampaikan, khususnya untuk mengenal lebih jauh pribadi seseorang.

Perhatikan Kelong yang memuat dialog antara kaum muda-mudi.

Andi pammoporang mamak

Erokkak anne kutaknang

Bunga ejaya

Niakmo kutaeng patanna

Terjemahan:

Dinda, maafkan aku

Aku ingin bertanya

Apakah si bunga merah

Sudah ada yang punya

Apabila remaja putri senang terhadap tawaran pertanyaan, ia akan menjawab sebagai berikut.

Daeng teakik ranggasela

Teakik bussang pakmaik

Bunga ejaya

Tenapa mannyero kana (Basang, 1988:26)

Terjemahan:

Kanda, janganlah ragu

Janganlah gelisah

Si bunga merah

Belum ada yang punya

Akan tetapi, jika tidak senang terhadap pertanyaan itu, remaja putri akan menjawab seperti berikut.

          Anjo tope tassampea

Teako jalling matai

Niak patanna

Tana salinrinna mami

Terjemahan:

Sarung yang terpajang itu

Janganlah engkau meliriknya

Sudah ada yang punya

Hanya belum dipetik.

Salah satu Kelong lagi yang sering digunakan untuk menambah semarak suasana yang sedang berlangsung adalah KelongLalakung.Kelong itu disebut juga Kelongpatampulo (Arief,1982:44) karena jumlah baitnya di atas empat puluh. Kelong tersebut berisi aspek pendidikan, kritik sosial atau sindiran, dan curahan perasaan dalam bentuk dialog antara pria dan wanita.

Perhatikan cuplikan Kelong berikut ini.

          Akballe-ballejako?

Akballe-balleja tea

Assarajak taerok

Napakmaikku

I lalang takkulle kusakbi

Sakbijako?

Ri sakbinnu sakbi tonja

Riteanu tea tonjak

Rimammonenu

Tope maklonjoki tonjak

Terjemahan:

Apakah engkau hanya berpura-pura?

Aku hanya berpura-pura tak mau

Seolah-olah tak ingin

Padahal hatiku

Tidak dapat menyembunyikan

Apakah engkau bersungguh-sungguh?

Engkau bersumpah, aku pun bersaksi

Engkau tak mau, aku pun tak ingin

Jika engkau menolak

Aku pun demikian.

Penyampaian Kelong seperti ini selalu mengandung tawa ria, terutama jika pihak pria tidak dapat menjawab dengan baik pertanyaan yang disampaikan pihak wanita, atau memberikan jawaban yang ngaur dan tidak sesuai dengan Kelong yang sebenarnya

D. Kelong sebagai Pembangkit Semangat Juang

Semangat juang yang dimaksudkan dalam tulisan ini tidak hanya terbatas pada suasana perang, tetapi semangat juang dalam arti yang seluas-luasnya.Misalnya, dalam bidang usaha, membekali diri dengan ilmu pengetahuan, bahkan di dalam menghadapi liku-liku kehidupan ini, semangat juang sangat diperlukan. Tanpa semangat yang membara, usaha apapun yang dilakukan pasti tidak akan membawa hasil yang maksimal. Kenyataan telah membuktikan bahwa hanya dengan semangat juang yang membara yang disertai dengan kesadaran yang tinggi dan keterampilan yang memadai, seseorang dapat berhasil dalam segala hal.

Dalam kapasitasnya sebagai sastra daerah, Kelong mempunyai salah satu fungsi untuk mendorong semangat juang para pendukungnya. Seorang prajurit yang sedang dihinggapi rasa takut dan ragu-ragu, misalnya, tiba-tiba keberaniannya muncul menyongsong musuh dan berdiri di medan laga akibat satu dua bait Kelong.

Perhatikan beberapa bait Kelong berikut ini.

Kuntungku laklasak tembang

Jappok lure sikaranjeng

Kupattunrangi

Leseka sigigi jangka

Takkunjungan bangung turuk

Nakuguncirik gulingku

Kualleanna

Tallanga natoalia

Manna bukuja kutete

Manna cerakja kulimbang

Mantakle tonja

Ri borik maradekaya

Teako mallak ri bong

Bata-bata rimariang

Manna simambu

Bajikji nipakjallokang

Umba kikbulo sibatang

Ampaksekre pattujunta

Kituli jarrek

Ri borik maradekaya

Tasirikakonjo kau

Ri tulauka ri Jawa

La naeranga

Teknena maradekaya

Teako Rambo-ramboi

Pamudana Sulawesi

Lonna nurambo

Niak cerak la takballe

Kirupaia kananta

Kibonei ri janjinta

Kinataba

Sumpana turibokonta (Basang, 1988:90)[18]

Terjemahan:

Biar aku hancur bagaikan ikan tembang

Busuk seperti ikan teri

Aku bersumpah

Tak akan mundur segigi sisir

Takkan kuturutkan alunan arus

Kemudi telah kupasang

Aku lebih sudi tenggelam

Daripada surut kembali

Walau hanya tulang kutiti

Walau harus kulintasi (lautan) darah

Aku tetap menuju

Negeri yang merdeka

Jangan takut pada bom

Khawatir pada meriam

Semambu pun

Dapat dipakai bertempur

Marilah kita bersatu

Menyatukan pandangan

Supaya kita teguh

Di negeri yang merdeka

Tidakkah kamu malu

Terhadap orang yang ada di Jawa

Yang akan membawa

Nikmatnya (hidup) merdeka

Janganlah engkau ganggu

Pemuda Sulawesi

Kalau diganggu

Darah akan mengalir

Buktikan sumpahmu

Teguh pada janjimu

Supaya terhindar

Dari cemoohan orang lain

Kelong di atas merupakan ikrar para pejuang Kerajaan Gowa untuk bersama-sama menghadapi dan memerangi Belanda. Mereka bersumpah tidak akan mundur setapak pun dari bumi kerajaan Gowa. Mereka rela mati bersimbah darah di dalam membela kehormatan negerinya daripada hidup terjajah dan tidak bermakna apa-apa. Bagi mereka, gugur sebagai pahlawan itulah kematian yang paling indah, mate nisantanngi (mati disantani), mate nibungai (mati ditaburi dengan bunga), yang baunya harum semerbak sepanjang masa.

Pada bait ketiga dan keempat manna bukuja kutete, manna cerakja kulimbang (walau hanya tulang kutiti, walau harus melindungi lautan darah) dan teako mallak ribong, bata-bata rimariang (jangan takut pada bom, ragu-ragu pada meriam) merupakan ungkapan keberanian dan kesediaan berkorban. Di dalam Kelong tersebut sudah tergambar bahwa mereka memang sudah siap mati, bahkan rela hancur lebur terkena bom atau meriam. Jiwa kepahlawanan yang tinggi dan semangat juang yang tak akan pudar di dalam diri Sultan Hasanuddin yang digelar “Haantje Van het Osten” (Ayam Jantan dari timur) benar-benar merebak ke seluruh bala tentaranya.

Bait-bait Kelong di atas laksana air penyejuk di musim kemarau, atau laksana hujan yang menyirami rumput-rumput yang sedang sekarat.Dengan bait-bait Kelong seperti itu, mereka sadar, bangun, dan bangkit membela tanah airnya yang tercinta.Mereka berjuang dan berjuang terus sampai tetes darah yang terakhir hingga cita-cita mereka terwujud, yaitu tercapainya negeri yang merdeka, aman, dan makmur.Mantakle tonja ri borik maradekaya ‘aku tetap menuju negeri yang merdeka’.

Salah satu nilai yang mendasari bait-bait Kelong di atas adalah sirik, yaitu suatu konsep nilai yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan. Orang Bugis-Makassar rela mati apabila kehormatannya atau siriknya diinjak-injak orang lain. Kehormatan itu dapat berbentuk negara, harta benda, istri, anak gadis, dan sebagainya. Apabila hal-hal tersebut dilanggar atau diinjak-injak orang lain, orang yang berlatar belakang budaya Bugis-Makassar memilih satu dari dua alternatif, yaitu punna teai nakke mate, kau mate (kalau bukan saya yang meninggal, engkau yang mati).

Dalam berbagai bidang kehidupan, Kelong dapat dijadikan pemacu semangat juang untuk lebih menggeluti bidang tugas kita. Di bidang usaha, misalnya ditemukan Kelong sebagai berikut.

Akbulo sibatampakik

Namareso tamattakpuk

Nanampa niak

Sannang la nipusakai (Tangdilintin,1984:18)

Saggena padeng arenna

Tinro ri ase lapang

Sunggu minasa

Empoa ri ase punuk (Arief, 1982:72-73)

Terjemahan:

Hanya dengan persatuan

Disertai kerja keras

Barulah

Kebahagian tercapai

Makmur nian rasanya

Tidur bersama beras lapang

Bahagia nian

Duduk bersama beras punut

Kelong di atas dapat menjadi pemacu semangat untuk lebih giat menjalankan usaha. Tujuan akhirnya adalah agar kebahagiaan dan kemakmuran, yang dilambangkan dengan sannang, sungguminasa, dan empo ri ase lapang, dalam Kelong di atas tidak akan tercapai.

Tentang pentingnya ilmu pengetahuan itu dimiliki dapat dilihat dalam Kelong berikut.

Anjo beng panngassenganga

Tamakrinji empo tuna

Irate tompi

Ri empoang matinggia

Terjemahan:

Ilmu pengetahuan itu

Tak akan jatuh hina

Nanti di sana

Di tempat yang mulia

Kelong di atas dapat menjadi pembangkit semangat bagi siapa saja (khususnya anak-anak) yang ingin menggapai martabat yang tinggi di dalam kehidupannya. Dengan ilmu pengetahuan, seseorang tak akan jatuh hina di tengah masyarakat. Sebab, sifat ilmu pengetahuan selalu mengangkat derajat orang yang memilikinya.

Dalam bidang keagamaan, Kelong pun dapat meningkatkan semangat pengabdian seseorang untuk lebih tekun menjalankan ibadahnya.

Perhatikan Kelong di bawah ini.

          Karo-karoko tobak

Rigintingang tallasaknu

Mateko sallang

Nanu sassalak kalennu (Arief, 1982:70)

Terjemahan:

Cepat-cepatlah tobat

Selagi hidup dikandung badan

Jika kelak engkau mati

Kamu akan menyesali diri

Kelong ini dapat memacu semangat seseorang untuk lebih mengarifi eksistensinya di dalam hidup ini. Dengan menghayati keberadaannya, seseorang akan lebih sadar akan tugas dan fungsinya selaku manusia. Dengan demikian semangat pengabdian kepada Tuhan akan muncul sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan sesudah kehidupan yang sekarang.

Kelong sebagai Media Komunikasi

Salah satu fungsi utama karya sastra pada umumnya, Kelong pada khususnya, adalah sebagai media penyampai informasi buat orang lain. Informasi itu dapat berupa petuah misalnya, hal-hal apa saja yang harus dilakukan seseorang dan hal-hal apa pula yang seharusnya dihindari.Informasi dapat pula berupa gambaran luapan perasaan cinta sang pemuda yang perlu diketahui dan ditanggapi oleh sang gadis.

Kelong dalam kapasitasnya sebagai media komunikasi ada yang besifat langsung dan ada pula yang tidak langsung.Yang dimaksud dengan komunikasi langsung adalah informasi yang dituangkan lewat Kelong dan memerlukan tanggapan secara spontan dari pendengar atau pembaca pada waktu yang bersamaan.

Kelong yang berbentuk seperti ini lazimnya berisi luapan perasaan cinta kepada seseorang.Sementara itu, komunokasi tak langsung adalah informasi yang tuangkan dalam Kelong dapat ditanggapi oleh siapa saja dan di mana saja, tetapi tidak secara spontan.Tanggapan terhadap informasi yang tertuang dalam bentuk komunikasi seperti itu memerlukan rentang waktu yang cukup jauh. Isinya antara lain, menyangkut masalah pendidikan pada umumnya. Kajian terhadap nilai-nilai yang tertuang dalam Kelong tersebut, baik yang bersifat komunikasi langsung maupun yang tidak langsung sangat ditentukan oleh perkembangan zaman dan tingkat kebutuhan serta intelektual masyarakat.

Di sinilah letak peranan Kelong dalam kapasitasnya sebagai media komunikasi.Ia berfungsi sebagai mediator yang dapat mempertemukan antara orang-orang dahulu di satu sisi dan orang-orang sekarang di sisi lain. Pandangan dan prinsip mereka yang sangat fundamental terhadap kehidupan ini terealisasi lewat karya sastra.Dan, orang-orang di belakang dapat memanfaatkan pengalaman-pengalaman, pandangan, dan prinsip hidup mereka itu di dalam kehidupan sekarang.

Salah satu bentuk komunikasi langsung dalam Kelong dapat dilihat dalam contoh berikut.

Pemuda  : Nampako makcuklak lebong

Nakurompong-rompong memang

Lompoko naik

Kutambai pakrompongku

Pemudi  : Apa kicinik ri nakke

Nakke lekleng kodi-kodi

Inakke tuna

Nakke cakdi simbolengku

Pemuda  : Mannu lekleng mannu kodi

Manna cakdi simbolennu

Tittik matangku

Kalakbusang panngaingku (SI)

Terjemahan:

Pemuda  : Sejak Dinda tumbuh seperti rebung

Dinda telah kupagar

Semoga Dinda cepat besar

Pagarku semakin kuperkuat

Pemudi  : Apa yang Kanda lihat pada iriku

Aku hina dan tidak cantik

Aku orang biasa

Sanggulku pun kecil

Pemuda  : Walaupun hitam dan tidak cantik

Walaupun kecil sanggulmu

Dindalah titik pandangku

Dan sasaran kasih sayangku

Kelong di atas menggambarkan arus komunikasi timbal balik antara seorang pemuda dengan seorang gadis. Perasaan cinta yang bergejolak di dalam hati sang pemuda dilahirkan dalam bentuk Kelong. Selanjutnya, sang gadis pun langsung menyatakan isi hatinya lewat Kelong pula. Dalam hal ini, Kelong merupakan titik sentaral pertemuan pandangan dan luapan perasaan dua belah pihak, termasuk antara pencipta dan penikmat sastra.

Perhatikan pula beberapa bait Kelong berikut yang menggambarkan arus komunikasi tidak langsung.

          Batara apa kutadeng

Kugappa kupaknganroi

Tekne kupalak

Salasa napassareang

Batarak bunomak naung

Saremak garring kujammeng

Mangku ri lino

Taniak todong tekneku

Batara pasunggu tommak

Lekbakma nupassalasa

Saremak tekne

Gentengangku ta rianja

Barang ria anjapak sallang

Ri suruga kumatekne

Anne ri lino

Assami ta matekneku (Sikki,dkk. 1995:120)

Terjemahan:

Tuhan, apalah gerangan

Yang harus kulakukan

Kebahagiaan yang kuminta

Tetapi kesedihan yang datang

Tuhan, bunuhlah aku

Berilah penyakit hingga aku mati

Sebab di dunia

Tak pernah merasa bahagia

Tuhan, bahagiakanlah aku

Kesedihan telah Engkau timpakan padaku

Berilah aku ketenteraman

Sebelum aku ke akhirat

Semoga di akhirat kelak

Di surga merasa bahagia

Sebab di dunia ini

Pasti aku tak bahagia

Pesan yang dikomunikasikan secara sepihak lewat Kelong di atas menggambarkan prinsip hidup yang tidak akan menyerah begitu saja. Kebahagiaan merupakan dambaan semua orang. Dengan berbagai cara, semua orang berusaha menggapainya, kalau bukan di sin (di dunia) nanti di sana (di akhirat). Yang pasti kebahagiaan itu tak akan datang seperti datangnya embun di waktu pagi. Akan tetapi, kebahagiaan atau tekne dan sunggu, seperti pada Kelong di atas, baru akan datang jika dibarengi dengan usaha maksimal.

Informasi-informasi yang bersifat petuah orang tua atau pendidikan lewat Kelong untuk dikomunikasikan kepada anak cucu dan generasi mendatang bertujuan agar mereka dapat tenteram di dalam kehidupannya. Jika Kelong dapat memberi manfaat kepada siapa saja, berarti salah satu fungsinya sudah terpenuhi, yaitu sebagai media komunikasi.Artinya, pesan yang disampaikan oleh pencipta dapat dimanfaatkan oleh pendengar, pembaca, atau penikmat.

Kelong sebagai Produk dan Pelestari Budaya

Seperti telah dikemukakan pada pembahasan yang lalu. Kelong merupakan produk sekaligus sebagai perekam budaya. Disebut produk budaya karena Kelong merupakan hasil perenungan batin atau pemikiran yang cemerlang dari kelompok etnis Makassar yang berisi berbagai hal yang cukup bermanfaat di dalam kehidupan.Apa yang dituangkan dalam Kelong tentu merupakan refleksi atau potret serta gambaran pengalaman hidup penciptanya yang diwarnai oleh lingkup budayanya. Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa untuk mengetahui pandangan dan falsafah hidup, pengetahuan, serta pemikiran orang-orang Makassar terhadap sesuatu, maka, Kelong merupakan salah satu yang dapat mengungkapkan hal tersebut.

Menurut Mangunwijaya (dalam Suyitno,1984:64) mengatakan bahwa jika seseorang akan mempelajari riak gelombang kehidupan sosial yang sesungguhnya di suatu zaman, ia harus membaca novel, roman, cerpen, atau puisi, dan bukannya membaca hasil seminar, lokakarya, dan semacamnya. Hal itu menunjukkan bahwa sastra dapat berfungsi sebagai hasil studi yang akurat.

Dari segi itu, fungsi Kelong sebagai produk budaya di satu sisi dan sebagai perekam budaya dalam masyarakat di sisi lain sudah bertemu. Dalam kapasitasnya sebagai pelestari budaya dapat dikatakan bahwa langgeng dan lestarinya warisan budaya nenek moyang kita, baik berupa pengalaman, pandangan, dan falsafah hidup maupun yang lain-lain karena terekam dalam bentuk karya sastra dengan segala jenisnya. Apa yang tekandung di dalamnya bukan hanya menjadi milik kelompok atau generasi tertentu, melainkan menjadi milik siapa saja yang sanggup menggali dan mengapresiasinya.

Nilai-nilai yang dilontarkannya memiliki daya tembus terhadap nurani manusia. Ia pun mempunyai daya gapai yang jauh sekaligus memungkinkan akan terjadinya komunikasi yang intens antara Kelong dengan penikmatnya. Di sini terlihat adanya hubungan dan pengaruh timbal balik antara karya sastra sebagai produk budaya dan masyarakat sebagai pencipta sekaligus pelaku budaya. Dari sisi ini pula orang dapat menilai bobot dan kualitas suatu hasil karya sastra.Terlepas dari sektor kemandiriannya, tingkat kemajuan dan kualitas suatu kelompok masyarakat ikut memberi andil terhadap hasil karya sastra tersebut. Artinya, semakin tinggi tingkat kemajuan dan kualitas masyarakat, bobot dan kualitas karya sastra yang dimilikinya semakin tinggi pula.Sebab, sastra merupakan gambaran utuh suatu masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Dan, Kelong sebagai salah satu jenis sastra tidak akan terlepas dari kenyataan seperti itu.

  1. ^ Hakim, Zainuddin (1998). Fungsi Kelong dalam Masyarakat. Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa. 
  2. ^ Hakim, Zainuddin (1998). Kelong dan Fungsinya dalam Masyarakat. Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa. 
  3. ^ Arief, Aburaerah (1982). Sastra Kelong Merupakan Salah Satu Pencerminan Pribadi Masyarakat Makassar. Ujung Pandang: IKIP Ujung Pandang. 
  4. ^ Tuloli, Naui (1990). Tanggomo: Salah Satu Ragam Sastra Lisan Gorontalo. Jakarta: Intermasa. 
  5. ^ Nappu, Sahabuddin (1997). Sangkakrupa Kelong Mangkasarak. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 
  6. ^ Sikki, Muhammad (1991). Nilai-nilai Budaya dalam Susastra Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Pusat Pembinaan Bahasa.  line feed character di |title= pada posisi 51 (bantuan)
  7. ^ Basang, Djirong (1986). Taman Sastra Makassar. Ujung Pandang: CV Alam. hlm. 28. 
  8. ^ Basang, Djirong (1986). Taman Sastra Makassar. Ujung Pandang. 
  9. ^ B.F., Matthes (1985). Beberapa Etika dalam sastra Makassar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 42. 
  10. ^ Author, Tandilintin (1984). Ungkapan Tradisional yang Ada Kaitannya dengan Sila-sila dalam Pancasila Provinsi Sulawesi Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 18. 
  11. ^ A., Moein MG. (1977). Menggali Nilai Sejarah Kebudayaan Sulselra Sirik dan Pacce. Ujung Pandang: SKU Makassar Press. hlm. 36. 
  12. ^ Basang, Djirong (1986). Taman Sastra Makassar. Ujung Pandang: Percetakan Offset CV Alam. hlm. 7. 
  13. ^ Aburaerah, Arief (1986). Sastra kelong Merupakan salah satu Pencerminan Ppribadi Masyarakat Makassar. Ujung Pandang: IKIP. hlm. 67. 
  14. ^ B.F., Beberapa Etika dalam Sastra Makassar. (1985). Beberapa Etika dalam Sastra Makassar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 99. 
  15. ^ Muhammad dan Nasruddin, Sikki (1995). Puisi-puisi Makassar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. hlm. 54. 
  16. ^ Arief, Aburaerah (1982). Sastra Kelong Merupakan Salah Satu Pencerminan Pribadi Masyarakat Makassar. Ujung Pandang: IKIP Ujung Pandang. hlm. 67. 
  17. ^ Basang, Djirong (1986). Taman Sastra Makassar. Ujung Pandang: Percetakan Offset CV Alam. hlm. 25. 
  18. ^ Basang, Djirong (1988). Taman Sastra Makassar. Ujung Pandang: Percetakan Offset CV Alam. hlm. 90. 
Kembali kehalaman sebelumnya