Kebebasan artistikKebebasan artistik adalah kebebasan untuk mengkhayalkan, membuat serta menyalurkan bermacam-macam ekspresi budaya, bebas dari sensor lembaga pemerintah, campur tangan politik, maupun intimidasi dari aktor-aktor non negara; termasuk juga hak-hak individual untuk mengakses karya seni sebagai bentuk ekspresi budaya. Definisi ini sesuai dengan konsep yang dikeluarkan oleh UNESCO di tahun 2005 melalui Konvensi tentang Perlindungan dan Promosi Ekspresi Keragaman Budaya.[1][2] Hak senimanAda hak yang dimiliki oleh seniman menurut UNESCO terkait kebebasan artistik yaitu: hak untuk menciptakan karya seni tanpa intimidasi dan sensor, hak untuk mendapatkan bantuan saat mendistribusikan karya seni dan apresiasi atas karyanya, hak untuk berpindah tempat, hak untuk berkumpul atau berkomunitas, perlindungan atas hak sosial dan ekonomi, serta hak untuk berpartisipasi aktif dalam iklim kebudayaan.[1] RegulasiRegulasi terkait kebebasan berekspresi tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights, International Covenant on Civil and Political Rights yang kemudian diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights yang kemudian diratifikasi menjadi Undang-Undang no 11 Tahun 2005, serta Pasal 28C dalam Undang-Undang Dasar 1945.[3] Regulasi terkait praktik-praktik budaya, diatur dalam Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017.[4] SensorSekalipun bebas dalam berekspresi, tetapi tetap ada pembatasan dengan beberapa alasan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 19 (3) International Covenant on Civil and Political Rights yaitu: pembatasan berekspresi dilakukan untuk melindungi orang lain dan menjaga reputasi mereka, untuk menciptakan ketertiban umum dan keamanan nasional, serta moral publik.[3] Sensor dan kebebasan artistik ibarat dua sisi mata uang. Sensor mengacu kepada pengawasan yang dilakukan oleh instansi pemerintah, kelompok sosial, serta institusi lain terhadap karya seni yang dinilai tidak sesuai dengan norma dan nilai yang ada. Pemerintahan yang otoriter kerap menggunakan sensor agar kritik terhadap pemerintah dapat dibungkam dan untuk mengendalikan narasi publik yang dianggap liar di masyarakat. Di Uni Soviet pada zaman Stalin, sensor dilakukan untuk memfilter segala macam praktik kebudayaan yang tidak sesuai dengan paham sosialisme dan komunisme sehingga hanya seni realisme sosialis yang ada di masyarakat. Sensor pun bisa datang dari komunitas sosial, budaya, serta agama, tidak selalu berasal dari pemerintah ketika mereka menilai bahwa karya seni tertentu mengandung isu-isu kontroversial serta dianggap menyimpang dari norma yang ada.[5] Sekalipun sensor dapat membatasi para seniman dan budayawan dalam berkarya, mereka kerap kali menemukan cara yang unik dan kreatif agar karya-karya mereka lolos dari ancaman sensor. Yang mereka lakukan adalah dengan menyampaikan kritik sosial dan politik kepada pemerintah dengan cara yang subtil, halus, dan terselubung. Para sastrawan pun kerap menyampaikan sesuatu kepada pembaca sesuatu yang mungkin dianggap menyimpang di masyarakat dengan memanfaatkan simbol-simbol, metafora agar pesannya tersamarkan. Pada akhirnya, para seniman kerap berjuang di bawah tanah menciptakan komunitas seni alternatif untuk terus memperjuangkan kekebasan artistik tanpa sensor. Kemajuan teknologi pun ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, para seniman memiliki kanal khusus untuk menyalurkan karyanya kepada para penikmat seni, namun lambat laun, keberadaan mereka di ruang digital tetap terlihat oleh pemerintah yang akan membatasi kebebasan artistik mereka.[5] Referensi
|