Hukum Siber (Cyber Law) adalah istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (Law of Information Technology), hukum dunia maya (Virtual World Law), dan hukum Mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan internet dan pemanfaatan teknologi informasi berbasis virtual. Istilah hukum siber digunakan dalam tulisan ini dilandasi pemikiran bahwa siber jika diidentikan dengan “dunia maya” akan cukup menghadapi persoalan ketika terkait dengan pembuktian dan penegakan hukumnya. Mengingat para penegak hukum akan menghadapi kesulitan jika harus membuktikan suatu persoalan yang diasumsikan sebagai “maya”, sesuatu yang tidak terlihat dan semu.[1] Di internet hukum itu adalah cyber law, hukum yang khusus berlaku di dunia siber. Secara luas hukum siber bukan hanya meliputi tindak kejahatan di internet, namun juga aturan yang melindungi para pelaku e-commerce, e-learning, pemegang hak cipta, rahasia dagang, hak paten, e-signature, dan masih banyak lagi.
Definisi
Definisi cyber law yang diterima semua pihak adalah milik Pavan Dugal dalam bukunya Cyberlaw The Indian Perspective (2002). Di situ Dugal mendefinisikan "Cyberlaw is a generic term, which refers to all the legal and regulatory aspects of Internet and the World Wide Wide. Anything concerned with or related to or emanating from any legal aspects or issues concerning any activity of netizens and others, in Cyberspace comes within the amit of Cyberlaw".[2] Disini Dugal mengatakan bahwa Hukum Siber adalah istilah umum yang menyangkut semua aspek legal dan peraturan Internet dan juga World Wide Web. Hal apapun yang berkaitan atau timbul dari aspek legal atau hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas para pengguna Internet aktif dan juga yang lainnya di dunia siber, dikendalikan oleh Hukum Siber.
Latar Belakang Terbentuknya CyberLaw
Cyber law erat lekatnya dengan dunia kejahatan. Hal ini juga didukung oleh globalisasi. Zaman terus berubah-ubah dan manusia mengikuti perubahan zaman itu. Perubahan itu diikuti oleh dampak positif dan dampak negatif. Ada dua unsur terpenting dalam globalisasi. Pertama, dengan globalisasi manusia dipengaruhi dan kedua, dengan globalisasi manusia mempengaruhi (jadi dipengaruhi atau mempengaruhi).[3]
Pencurian uang atau harta benda dengan menggunakan sarana komputer/ siber dengan melawan hukum. Bentuk kejahatan ini dapat dilakukan dengan mudah dalam hitungan detik tanpa diketahui siapapun juga. Bainbdridge (1993) dalam bukunya Komputer dan Hukum membagi beberapa macam bentuk penipuan data dan penipuan program:
Memasukkan instruksi yang tidak sah, seperti contoh seorang memasukkan instruksi secara tidak sah sehingga menyebabkan sistem komputer melakukan transfer uang dari satu rekening ke rekening lain, tindakan ini dapat dilakukan oleh orang dalam atau dari luar bank yang berhasil memperoleh akses kepada sistem komputer tanpa izin.
Perubahan data input, yaitu data yang secara sah dimasukkan ke dalam komputer dengan sengaja diubah. Cara ini adalah suatu hal yang paling lazim digunakan karena mudah dilakukan dan sulit dilacak kecuali dengan pemeriksaan berkala.
Perusakan data, hal ini terjadi terutama pada data output, misalanya laporan dalam bentuk hasil cetak komputer dirobek, tidak dicetak atau hasilnya diubah.
Komputer sebagai pembantu kejahatan, misalnya seseorang dengan menggunakan komputer menelusuri rekening seseorang yang tidak aktif, kemudian melakukan penarikan dana dari rekening tersebut.
Akses tidak sah terhadap sistem komputer atau yang dikenal dengan hacking. Tindakan hacking ini berkaitan dengan ketentuan rahasia bank, karena seseorang memiliki akses yang tidak sah terhadap sistem komputer bank, sudah tentu mengetahui catatan tentang keadaan keuangan nasabah dan hal-hal lain yang haru dirahasiakan menurut kelaziman dunia perbankan.
Penggelapan, pemalsuan pemberian informasi melalui komputer yang merugikan pihak lain dan menguntungkan diri sendiri.
Hacking, adalah melakukan akses terhadap sistem komputer tanpa izin atau dengan malwan hukum sehingga dapat menebus sistem pengamanan komputer yang dapat mengancam berbagai kepentingan.
Perbuatan pidana perusakan sistem komputer (baik merusak data atau menghapus kode-kode yang menimbulka kerusakan dan kerugian). Perbuatan pidana ini juga dapat berupa penambahan atau perubahan program, informasi, dan media.
Pembajakan yang berkaitan dengan hak milik intelektual, hak cipta, dan hak paten.
Banyak sekali penyalahgunaan yang dilakukan netter. Penyalahgunaan kebebasan yang berlaku di dunia maya kerap membuat netter bersikap ceroboh dan menggampangkan persoalan. Berikut bentuk-bentuk penyalahgunaan itu:
Pencurian password, peniruan atau pemalsuan akun.
Penyadapan terhdapa jalur komunikasi sehingga memungkinkan bocornya rahasia perusahaan atau instansi tertentu.
Penyusupan sistem komputer
Membanjiri network dengan trafik sehingga menyebabkan crash
Perusakan situs
Spamming alias pengiriman pesan yang tidak dikehendaki ke banyak alamat email
Penyebaran virus dan worm.
Kejahatan komputer berdasarkan pada cara terjadinya kejahatan komputer itu menjadi 2 kelompok (modus operandinya), yaitu:
Internal crime
Kelompok kejahatan komputer ini terjadi secara internal dan dilakukan oleh orang dalam “Insider”. Modus operandi yang dilakukan oleh “Insider” adalah:
Manipulasi transaksi input dan mengubah data (baik mengurang atau menambah)
Mengubah transaksi (transaksi yang direkayasa)
Menghapus transaksi input (transaksi yang ada dikurangi dari yang sebenarnya)
Memasukkan transaksi tambahan
Mengubah transaksi penyesuaian (rekayasa laporan yang seolah-olah benar)
Memodifikasi software/ termasuk pula hardware
External crime
Kelompok kejahatan komputer ini terjadi secara eksternal dan dilakukan oleh orang luar yang biasanya dibantu oleh orang dalam untuk melancarkan aksinya. Bentuk penyalahgunaan yang dapat digolongkan sebagai external crime adalah:[3]
Teori-teori yang Melandasi Perkembangan Dunia Maya (Cyber)
Ada beberapa guidance bagi kita untuk mengerti seluk beluk perdagangan secara elektronik dengan melihat teori-teori di bawah ini:[3]
Teori Kepercayaan (vetrowen theory): Teori menjelasan bahwa ada pernyataan objektif yang dipercayai pihak-pihak. Tercapainya kata sepakat dengan konfirmasi tertulis.
Teori Pernyataan (verklarings theory): Keadaan objektif realitas oleh penilaian masyarakat dapat menjadi persetujuan tanpa mempedulikan kehendak pihak-pihak
Teori Kehendak (wills theory): Teori menitikberatkan pada kehendak para pihak yang merupakan unsure essensil dalam pernjanjian.
Teori Ucapan (uitings theorie): Teori ini menganut sistem di mana penawaran ditawarkan dan disetujui maka perjanjian tersebut sudah sempurna dan mengikat kedua belah pihak sebagai undang-undang.
Teori Penawaran (ontvangs theorie): Konfirmasi pihak kedua adalah kunci terjadinya pernjanjian setelah di pihak penerima menerima tawaran dan memberikan jawaban.
Teori Pengetahuan (vernemings theorie): Konsensus dalam bentuk perjanjian tersebut terjadi bila si penawar mengetahui hukum penawaran disetujui walaupun tidak ada konfirmasi.
Teori Pengiriman (verzendings theorie): Bukti pegiriman adalah kunci dari lahirnya pernjajian, artinya jawaban dikirim, pada saat itulah sudah lahir perjanjian yang dimaksud.
Kompetensi relatif dalam dunia maya (cyber) dapat menjadi acuan bagi pihak berperkara dalam dunia maya atas dasar teori-teori berikut ini:[3]
Teori akibat (leer van het gevolg): Teori ini menitikberatkan pada akibat suatu peristiwa hukum yang melawan hukum ditempat di mana tindak pidana itu memunculkan akibat.
Teori alat (leer van instrument): Tempat terjadinya tindak pidana selaras dengan instrument yang digunakan dengan tindak pidana itu
Teori perbuatan materiil (leer van lechamelijke daad): Teori ini menunjuk tempat terjadinya tindak pidana adalah kunci
Teori gabungan: Teori yang juga merupakan gabungan ketiganya: akibat alat dan perbuataan materiil
Aspek Hukum Aplikasi Internet
Aplikasi internet sendiri sesungguhnya memiliki aspek hukum. Aspek tersebut meliputi aspek hak cipta, aspek merek dagang, aspek fitnah dan pencemaran nama baik, aspek privasi.[3]
Aspek Hak Cipta
Hak cipta yang sudah diatur dalam UU Hak Cipta. Aplikasi internet seperti website dan email membutuhkan perlindungan hak cipta. Publik beranggapan bahwa informasi yang tersebdia di internet bebas untuk di-download, diubah, dan diperbanyak. Ketidakjelasan mengenai prosedur dan pengurusan hak cipta aplikasi internet masih banyak terjadi.
Aspek Merek Dagang
Aspek merek dagang ini meliputi identifikasi dan membedakan suatu sumber barang dan jasa, yang diatur dalam UU Merek.
Aspek Fitnah dan Pencemaran Nama Baik
Hal ini meliputi gangguan atau pelanggaran terhadap reputasi seseorang, berupa pertanyaan yang salah, fitnah, pencemaran nama baik, mengejek, dan penghinaan. Walau semua tindakan tadi dilakukan dengan menggunakan aplikasi internet, namun tetap tidak menghilangkan tanggung jawab hukum bagi pelakunya. Jangan karena melakukan fitnah atau sekadar olok-olok di email atau chat room maka kita bebas melenggang tanpa rasa bersalah. Ada korban dari perbuatan kita yang tak segan-segan menggambil tindakan hukum
Aspek Privasi
Di banyak negara maju di mana komputer dan internet sudah diaskes oleh mayoritas warganya, privasi menjadi masalah tersendiri. Makin seseorang menggantungkan pekerjaannya kepada komputer, makin tinggi pula privasi yang dibutuhkannya. Ada beberapa persoalan yang bisa muncul dari hal privasi ini. Pertama, informasi personal apa saja yang dapat diberikan kepada orang lain? Lalu apa sajakah pesan informasi pribadi yang tidak perlu diakses orang lain? Apakah dan bagaimana dengan pengiriman informasi pribadi yang anonim.
Asas-asas Yurisdiksi dalam Ruang Siber
Dalam ruang siber pelaku pelanggaran sering kali menjadi sulit dijerat karena hukum dan pengadilan Indonesia tidak memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan perbuatan hukum yang terjadi, mengingat pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia. Menurut Darrel Menthe, dalam hukum internasional, dikenal tiga jenis yuridikasi, yaitu:
Yurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the jurisdiction to prescribe)
Yurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to enforce), dan
Yurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate)
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku, dikenal beberapa asa yang biasa digunakan, yaitu:
Subjective territoriality: Menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasakan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
Objective territoriality: Menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum di mana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan
Nationality: Menentukan bahwa negara mempunyai yurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
Passive nationality: Menekankan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
Protective principle: Menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk menlindungin kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah.
Perkembangan teknologi informasi pada umumnya dan teknologi internet pada khususnya telah mempengaruhi dan setidak-tidaknya memiliki keterkaitan yang signifikan dengan instrumen hukum positif nasional.[1]
UU Perlindungan Konsumen
Subjek, materi muatan, dan pasal yang menyangkut Keterkaitan UU Perlindungan Konsumen dengan Hukum Siber adalah:[1]
Kasus Pertama di Indonesia yang Menyangkut Cyberlaw
Artikel atau bagian dari artikel ini menggunakan gaya bahasa naratif yang tidak sesuai dengan Wikipedia sehingga menurunkan kualitas artikel ini. Bantulah Wikipedia memperbaikinya. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini.
Kasus Mustika Ratu adalah kasus cybercrime pertama di Indonesia yang disidangkan. Belum usai perdebatan pakar mengenai perlu tidaknya cyberlaw di Indonesia, tiba-tiba di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mulai disidangkan kasus cybercrime. Pelakunya, menggungakan domain namemustikaratu.com untuk kepentingan PT. Mustika Berto, pemegang merek kosmetik Sari Ayu. Jaksa mendakwa pakai undang-undang apa?
Tjandra Sugiono yang tidak sempat mengenyam hotel prodeo karena tidak “diundang” penyidik dan jaksa penuntut umum, pada kamis (2/8) duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tjandra didakwa telak melakukan perbuatan menipu atau mengelirukan orang banyak untuk kepentingan perusahaannya sendiri. Kasus ini berawal dengan didaftarkannya nama domain name mustikaratu.com di Amerika dengan menggunakan Network Solution Inc (NSI) pada Oktober 1999 oleh mantan general Manager International Marketing PT. Martina Berto ini. Alamat yang dipakai untuk mendaftarkan domain name tersebut adalah Jalan Cisadane 3 Pav. Jakarta Pusat, JA. 10330.[3]
Akibat penggunaan domain name mustikaratu.com tersebut, PT. Mustika Ratu tidak dapat melakukan sebagian transaksi dengan calon mitra usaha yang berada di luar negeri. Pasalnya, mereka tidak dapat menemukan informasi mengenai Mustika Ratu di website tersebut. Mereka kebingungan ketika menemukan website mustikaratu.com yang isinya justru menampilkan produk-produk Belia dari Sari Ayu, yang notabene adalah pesaing dari Mustika Ratu untuk produk kosmetik.
Tjandra Sugiono didakwa dengan Pasal 382 bis KUHP mengenai perbuatan curang (bedrog) dalam perdagangan, yang ancaman hukumannya 1 tahun 4 bulan. Selain itu, jaksa juga memakai Undang-undang No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Menurut jaksa, perbuatan terdakwa telah melanggar Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pasal ini melarang pelaku usaha untuk menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan atau menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu.
“Dia (Tjandra, Red) memakai nama mustikaratu.com. Jadi PT. Mustika Ratu merasa namanya dipakai orang lain dan dia melaporkan ke penyidik, maka jadilah perkaranya di pengadilan,” komentar Suhardi yang menjadi Jaksa Penuntut Umum untuk perkara ini.[3]
Referensi
^ abcdefghijklmnopqrstuRamli, Ahmad M. Cyber Law dan Haki Dalam Sistem Hukum Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2006.
^ abMagdalena, Merry dan Maswigrantoro R. Setyadi. Cyberlaw, Tidak Perlu Takut. Yogyakarta: Andi, 2007
^ abcdefghSulaiman, Robintan. Cyber Crimes: Perspektif E-Commerce Crime. Pusat Bisnis Fakultas Hukum: Universitas Pelita Harapan, 2002