Hermann Jónasson, 25 Desember 1896 – 22 Januari 1976 adalah politisi yang dikenal sebagai perdana menteri Islandia dalam dua periode. Ia anggota Partai Progresif.[1]
Pemerintahan
Pemerintahan pertamanya dimulai sejak 28 Juli 1934 hingga 16 Mei 1942. Masa ini dikenang sebagai salah satu masa-masa sulit dalam sejarah Islandia. Ia harus menghadapi tekanan dari Nazi Jerman dan Inggris sekaligus dalam posisi diplomatik Islandia. Setelah Perang Dunia Kedua dimulai, pendudukan Jerman atas Denmark memutus hubungannya dengan Islandia, membuat Islandia harus mengurus sendiri kontrol atas kepentingan luar negeri yang sebelumnya diwakili oleh Denmark. Tak lama kemudian, Inggris menguasai Islandia pada tanggal 10 Mei 1940.
Periode keduanya dimuali sejak 28 Juli 1956 hingga 23 Desember 1958. Pada pemilihan 1956, Partai Progresif dan Partai Sosial Demokrat bergabung dan membentuk aliansi elektoral yang dinamai "Aliansi ketakutan" (Hræðslubandalagið), yang didasarkan atas ketakutan atas Partai Kemerdekaan. Setelah pemilihan, aliansi ini membentuk koalisi dengan Aliansi Rakyat, yang kemudian membentuk pemerintahan kiri Islandia, yang terganggu dengan berbagai masalah dari luar, termasuk di antaranya permusuhan dan ketidak percayaan atas Amerika Serikat dan anggota NATO lainnya. Koalisi ini runtuh dengan cepat, yang kemudian memberi jalan kepada Pemerintahan Rekonstruksi yang dibentuk Partai Kemerdekaan dan Partai Sosial Demokrat.
Hermann terkenal punya keinginan yang kuat dan bertemperamen panas (ia pernah menampar anggota sosialis di Althing). Namun ia mendapat penghormatan dari rekan politisinya, dan dianggap sebagai politisi terbaik Islandia dari Abad 20.
Kehidupan pribadi
Ia ayah dari Steingrímur Hermannsson, juga perdana menteri Islandia pada tahun 1980an. Cucunya, Guðmundur Steingrímsson, terplilih menjadi anggota Althing pada tahun 2009.
Pada tahun 2007 ia mengalami kontroversi, saat tes DNA, memperlihatkan ia memiliki beberapa anak di luar nikah saat masih menjabat. Seorang pengacara Lúðvík Gizurarson sudah beberapa tahun mengklaim sebagai anak haramnya. Setelah beberapa tahun perjuangan di jalur hukum, klaim ini terbukti melalui tes DNA.[2]
Referensi