Hardi (pelukis)
Hardi (26 Mei 1951 – 28 Desember 2023) adalah seorang seniman pelukis dan budayawan Indonesia.[1] Terlahir dengan nama R. Soehardi ia adalah salah satu pelukis aliran ekspresionis yang terkenal dan aktivis lintas seni dan kebudayaan di Indonesia yang sekarang bermukim di Jakarta. Sejarah kehidupannyaSejak tahun 1970 hidup di Ubud, Bali melukis bersama W. Hardja, Anton Huang, kemudian kuliah di Akademi Seni Rupa Surabaya. Antara 1971 - 1974 Hardi kuliah di STSRI ASRI Yogyakarta, berlanjut tahun 1975 - 1977 kuliah di De Jan Van EYC Academie di Maastricht, Belanda. Dalam bidang senirupa Hardi berguru kepada Daryono, Fadjar Sidik, Widayat, Prof. Hans Seur, Prof. Pieter De Fesche, Nyoman Gunarsa, dan Drs. Sudarmadji. Tanggal 5 Desember 1978 merupakan babak sejarah bagi Hardi. Saat itu ia ditangkap dan meringkuk di tahanan Laksusda Jaya, karena lukisan foto dirinya, berukuran 60 x 30 cm, dengan pakaian jendral berbintang dan bertajuk Presiden tahun 2001, Soehardi. Pamasangan foto dirinya di tengah pemerintah represif dan militeristik Orde Baru merupakan protes dan perlawanan, sekaligus tantangan kepada penguasa. Namun, berkat campur tangan Wakil Presiden Adam Malik saat itu, Hardi dibebaskan. KaryaPresiden RI Th 2001 SuhardiTahun 1979, dalam pameran Seni Rupa Baru, sebuah lukisan bertuliskan "Presiden RI th 2001 Suhardi", sebuah potret dirinya berseragam tentara yang menantang hegemoni Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, memancing perhatian publik. Tahun 1980, Karya tersebut kembali ditampilkan dalam pameran seni Forum Pelukis Muda Indonesia di Taman Ismail Marzuki; Hardi ditangkap Laksusda Jaya, dengan tuduhan makar. Hardi dibebaskan atas permintaan Wakil Presiden Adam Malik. Tahun 2001, Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, perempuan pertama dalam sejarah yang memegang jabatan tersebut. Wajah dan mode rambut Megawati tahun 2001 terlihat memiliki kemiripan dengan sosok potret diri Hardi dalam lukisan "Presiden RI th 2001 Suhardi", sehingga lukisan tersebut mengandung daya magis, seolah meramalkan masa depan. Dikoleksi Keluarga CendanaMemiliki kepribadian terbuka dan blak-blakan, kadang meledak-ledak - seorang kolektor dan pengamat karyanya menandai perubahan karya lukis Hardi di era 1970 - 1980an yang banyak mengekspos masalah sosial dan menjadi pencetus Gerakan Seni Rupa Baru yang fenomenal, menjadi karya-karya yang teduh, meski tetap dengan sapuan yang galak. Gerakan Seni Rupa Baru terdiri FX Harsono, Bonyong Munni Ardhi, Siti Adiyati, Jim Supangkat, dan Nanik Mirna. Karyanya dikoleksi Keluarga Cendana, menteri-menteri kabinet Orde Baru dan Orde Reformasi, tokoh-tokoh nasional, kalangan pengusaha dan rekan-rekan seniman. Selain lembaga-lembaga bergengsi seperti Museum Purna Bhakti Pertiwi, Balai Senirupa DKI, Dinas Kebudayaan DKI, TIM, LBH, Wisma Seni Nasional, Bentara Budaya, PT. Coca Cola Museum Neka Ubud - Bali, Yayasan Pengembangan Bisnis Indonesia, dll. "Saya melukis setelah 26 tahun tak punya konsep baku. Saya melukis semau saya, menuruti kata hati. Semoga karya saya ada manfaatnya bagi kehidupan. Insya Allah!" Itulah catatan otentik Hardi. Terakhir dia aktif dan menjadi Ketua UMUM Ormas Seniman Indonesia Anti Narkoba (SIAN) di bawah naungan bersama Badan Narkotika Nasional (BNN).[2]. PameranSejak 1976 seniman pengagum Bung Karno ini mengadakan pameran tunggal di Heerlen Belgia, kemudian di Taman Ismail Marzuki, Bentara Budaya, Balai Budaya, Komala Galerry Ubud, Wisma Seni Depdikbud, Hotel Sahid, kemudian pameran bersama dengan berbagai kelompok pelukis, sampai tahun 1992-an Hardi tidak mencatat lagi pameran-pamerannya karena nyaris tiap bulan mengadakan pameran. Pada tanggal 18 April 1999 sampai dengan 18 Mei 1999, Hardi mengadakan pameran tunggal di Graha Budaya Indonesia di Tokyo.[3] Akhir Mei 2008 mengikuti pameran bersama "Manifesto" di Galeri Nasional Hardi menghadirkan karya bertema tersangka terorisme berjudul Waiting for the death penalty.[4] Lukisan Hardi di Luar NegeriLukisan Hardi digunakan untuk kulit depan 4 buku di Rusia, antaranya buku puisi "Kembalikan Indonesia Padaku" oleh Taufiq Ismail (2010),[5] antologi cerpen Malaysia dan Indonesia "Darah Melayu" (2011),[6] Buku Rujukan Ringkas "Indonesia" (2013),[7] Mencari Mimpi. Puisi Modern Indonesia dalam terjemahan Victor Pogadaev[8] Rujukan
Pranala luar
|