Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Gharar

Gharar atau taghrir adalah istilah dalam kajian hukum Islam yang berarti keraguan, tipuan, atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan orang lain. Gharar dapat berupa suatu akad yang mengandung unsur penipuan karena tidak adanya kepastian, baik mengenai ada atau tidaknya objek akad, besar kecilnya jumlah, mahupun kemampuan menyerahkan objek yang disebutkan di dalam akad tersebut. Menurut Imam an-Nawawi, gharar merupakan unsur akad yang dilarang dalam syariat Islam.[1]

Perbedaan taghrir dengan tadlis adalah apabila tadlis terjadi pihak A tidak mengetahui apa yang diketahui pihak B (unknown to one party), sedangkan dalam taghrir baik pihak A dan pihak B sama-sama tidak memiliki kepastian mengenai sesuatu yang ditransaksikan. Gharar bisa terjadi apabila mengubah sesuatu yang bersifat certain atau pasti menjadi uncertain atau tidak pasti.[2]

Gharar berasal dari bahasa Arab Al-Khatr yang bermakna pertaruhan. Al-gharar adalah al-mukhatarah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidakjelasasan) sehingga termasuk ke dalam perjudian. Sehingga dari penjelasan tersebut, yang dimaksud jual beli gharar adalah dalam perdagangan tersebut semua jual beli yang transaksinya mengandung ketidakjelasan, pertaruhan, atau perjudian.[3]

Secara etimologi, garar dalam bahasa Arab adalah sesuatu yang pada lahirnya disenangi tetapi sebenarnya dibenci. Para ahli fikih mengemukakan beberapa definisi gharar yang bervariasi dan saling melengkapi. Menurut Imam al-Qarafi, garar adalah suatu akad yang tidak diketahui dengan tegas apakah efek akad terlaksana atau tidak, seperti melakukan jual beli terhadap burung yang masih di udara atau ikan yang masih di dalam air.

Gharar dapat terjadi dalam empat hal iaitu:

  1. Kuantitas.
  2. Kualitas.
  3. Harga.
  4. Waktu penyerahan.

Apabila salah satu atau lebih faktor-faktor di atas diubah dari pasti (certain) menjadi tidak pasti (uncertain), maka terjadilah gharar. Meskipun pada awalnya terjadi kesepakatan secara sukarela, namun kondisi ketidakjelasan tersebut di kemudian hari akan membuat salah satu pihak (penjual atau pembeli) merasa terzalimi.

Lihat Pula

Referensi

  1. ^ Dahlan, Abdul Aziz (1996). Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. hlm. 399. ISBN 979-8276-93-0. 
  2. ^ Karim, A. (2004). Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada ISBN 979-421-997-5
  3. ^ Sholahuddin, M. & Hakim, L. (2008). Lembaga Ekonomi dan Keuangan Syariah Kontemporer. Surakarta: Muhammadiyah University Press ISBN 978-979-636-086-4
Kembali kehalaman sebelumnya