Gereja Hati Kudus Yesus adalah sebuah gereja parokiKatolik yang terletak di Ganjuran, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Gereja ini juga dikenal dengan nama Gereja Ganjuran, berdasarkan tempat letaknya. Gereja ini merupakan gereja tertua di Bantul.[1]
Gereja Ganjuran didirkan pada tanggal 16 April 1924 oleh keluarga Schmutzer, yang memiliki sebuah pabrik gula di wilayah itu. Dari jumlah 25 orang Katolik di Ganjuran pada tahun 1922, pada tahun 2011 sudah ada 8.000. Gedung gereja sudah banyak diubah, termasuk dibangun ulang setelah Gempa bumi Yogyakarta 2006. Banyak orang sudah menulis tentang desainnya yang beraliran Jawa, dan gereja ini terus memasukkan budaya Jawa dalam liturgi.
Deskripsi
Gereja Ganjuran terletak di Ganjuran, Bambanglipuro, Bantul, 17 kilometer di sebelah selatan kota Yogyakarta. Gereja ini dibangun di tanah seluas 2,5 hektare dan termasuk tempat parkir, candi, gereja, pastoran, dan beberapa bangunan lain. Pada tahun 2011 ada sebanyak 8.000 anggota; sebagian besar merupakan petani, pedagang, dan buruh.[2]
Gedung gereja dibuat dengan gaya joglo dan dihiasi dengan ukiran gaya Jawa yang menutupi 600 meter per segi. Ini termasuk ukiran nanas dari kayu serta ukiran berbentuk jajar genjang yang disebut wajikan.[1][3] Altarnya dihiasi dengan malaikat yang berbusana tokoh wayang orang.[4] Karena gaya arsitektur ini, ilmuwan Belanda M. C. Ricklefs menyatakan bahwa gereja di Ganjuran mungkin merupakan manifestasi penyesuaian gereja Katolik di Jawa yang paling menonjol.[5] Ilmuwan Jan S. Aritonang dan Karel A. Steenbrink menyatakan bahwa gereeja merupakan "produk paling spektakular ... dari kesenian pribumi yang dibantu orang Eropa.".[6]
Sejarah
Tanah yang sedang digunakan untuk gereja Ganjuran dulunya bagian dari pabrik gula milik saudara Joseph dan Julius Schmutzer, dua orang Belanda. Pada tahun 1912 mereka mulai menjaga hak buruh sebagaimana ditentukan dalam Rerum Novarum;[2] mereka juga mulai mendirikan sarana pendidikan di wilayah tersebut, dengan tujuh sekolah untuk laki-laki dibuka pada tahun 1919 dan sekolah perempuan dibuka pada tahun 1920.[7] Mereka juga mendorong staff mereka untuk masuk agama Katolik.[6] Dengan hasil dari pabrik mereka, keluarga Schmutzer mendirikan Rumah Sakit St Elisabeth di Ganjuran.[8] Mereka juga mendirikan Onder de Bogen (kini Rumah Sakit Umum Panti Rapih) di kota Yogyakarta.[7] St Elisabeth sedang diurus oleh Tarekat Carolus Borromeus.[8]
Juga pada tahun 1920, RP. van Driessch, seorang Yesuit yang pernah mengajar di Kolese Xaverius di Muntilan, mulai berkhotbah di Ganjuran dan mendirikan komunitas Katolik di sana. Hingga tahun 1922 ada sebanyak 22 orang Katolik keturunan Jawa di sana; jumlah ini meningkat dengan cepat.[9] Pada tanggal 16 April 1924 keluarga Schmutzers mendirikan gereja di tanah mereka, dengan van Driessch sebagai pastor pertama.[10] Ukiran dan bagian gereja lain dikerjakan oleh seorang seniman Jawa yang bernama Iko.[6]
Tiga tahun kemudian masyarakat mulai membangun sebuah candi setinggi 10 meter, mirip candi yang ada di Prambanan;[7][11] Iko membuat patung Maria dan Yesus yang menggambarkan mereka sebagai penguasa dan guru Jawa. Patung ini diukir dengan motif batik.[6] Batu diambil dari kaki Gunung Merapi di bagian utara, sementara pintu masuk diarahkan ke Selatan; orientasi ini mencerminkan kepercayaan orang Jawa pada harmoni utara dan selatan.[12] Candi ini diresmikan pada tanggal 11 Februari 1930 oleh Uskup BataviaAntonius van Velsen.[10]
Van Driessch meninggal pada tahun 1934[13] dan diganti oleh RP. Albertus Soegijapranata;[10] Soegijapranata bertugas sekalian sebagai pastor Ganjuran dan Bintaran. Pada tahun ini jumlah orang Katoliknya sudah mencapai 1.350 orang.[8] Keluarga Schmutzer kembali ke Belanda pada tahun yang sama. Selama Revolusi Nasional Indonesia pabrik gula dibakar habis, tetapi sekolah, gereja, dan rumah sakit selamat. Pada tahun 1947 RD. Justinus Darmojuwono mulai menjabat; dia menjadi pastor sampai tahun 1950.[10]
Pada tahun 1981 pastoran diperluas di bawah pimpinan RD. Suryosudarmo,[10] dan tujuh tahun kemudian, di bawah pimpinan RD. Gregorius Utomo, gereja ini mulai lebih menekankan pengaruh Jawanya. Pada tahun 1990 Konferensi Federasi Uskup Asia mengadakan sebuah seminar mengenai masalah pertanian dan petani di Gereja Ganjuran. Sejak 1995 Gereja lebih menekankan pembangunan candinya, dan dengan sumbangan dari masyarakat sudah menambahkan 15 relief yang menggambarkan Jalan Salib;[14] relief ini awalnya dirancang oleh keluarga Schmutzer.[4] Setelah gereja lama dihancurkan oleh gempa bumi besar pada bulan Mei 2006, gereja ini dibangun ulang dengan gaya Jawa.[1] Pembangunan ulang ini menghabiskan sebanyak Rp 7 miliar.[3]