Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Gametofit

Protalium, fase gametofit paku.

Gametofit (gametophyte, dari gamos, "kawin", dan phyton, "tumbuhan") adalah bentuk kehidupan yang berfungsi melakukan reproduksi seksual/generatif pada organisme yang mengalami pergiliran keturunan. Pada tumbuhan daratan (Viridiplantae), pergiliran keturunan diwakili oleh dua fase kehidupan yang berulang-ulang: gametofit dan sporofit.

Tumbuhan lumut

Gametofit tumbuhan lumut (lumut hati, lumut tanduk, dan lumut daun/sejati) adalah bentuk yang biasa dikenal oleh orang dan menjadi sasaran untuk identifikasi. Fase gametofit cenderung untuk bertahan bertahun-tahun lamanya, dan bahkan menopang kehidupan sporofitnya. Suatu koloni gametofit dapat menghasilkan sporofit berulang-ulang.

Gametofit tumbuhan lumut tumbuh dari spora yang disebarkan oleh sporogonium yang dibawa sporofit. Spora berkecambah membentuk berkas-berkas talus yang dinamakan protonema (jamak: protonemata). Tumbuhan lumut yang biasa dikenal sebenarnya adalah struktur pembawa gamet (gametofora) yang umumnya fotosintetik, jaringannya terdiferensiasi (kormus), tetapi tidak memiliki pembuluh angkut sejati (trachea). Gametofora adalah haploid, artinya hanya membawa separuh bilangan genomnya. Gametofit menyerap hara dari media tumbuh menggunakan rhizoid.[1] Gametofora jantan akan menghasilkan anteridium, yang selanjutnya akan membentuk sel-sel sperma. Gametofora betina akan membentuk arkegonium pada ujungnya, yang kemudian membentuk sel telur.

Nutrisi mineral juga disalurkan dari bagian gametofit ke bagian sporofit yang masih dalam tahap perkembangan.[2]

Tumbuhan paku

Pada tumbuhan paku, gametofit adalah individu berbentuk seperti lumut hati yang tipis, berukuran biasanya kurang dari 1 cm, hidup di tempat-tempat lembap dan basah. Sebutan untuk individu gametofit paku adalah protalus (prothallus, ketika baru berkecambah dari spora) atau protalium (prothallium, dalam bentuk dewasa dan siap menghasilkan organ kelamin/seksual). Protalium tidak memiliki pembuluh seperti bentuk sporofit, bahkan cenderung thalloid (menyerupai thallus, alias tidak terspesialisasi sel-sel jaringannya). Meskipun tidak menghasilkan akar sejati, protalium membentuk rhizoid sebagai penopang dan penyerap hara dari media tumbuhnya. Gametofit paku kebanyakan bersifat autotrof karena memiliki klorofil untuk fotosintesis, tetapi hampir selalu berasosiasi dengan cendawan tanah dalam asosiasi mikoriza. Protalium beberapa spesies bahkan sepenuhnya mengandalkan cendawan untuk dapat bertahan hidup karena tidak membentuk klorofil, seperti Ophioglossum. Meskipun ada pustaka menyatakan bahwa fase sporofit paku lebih dominan daripada fase gametofitnya,[1] sejumlah spesies memiliki gametofit yang hidup bertahun-tahun lamanya di tanah semetara sporofitnya hanya muncul satu musim saja, untuk menghasilkan spora, kemudian mati.

Tumbuhan berbiji

Gametofit pada tumbuhan berbiji tidak pernah merupakan individu bebas, tetapi menjadi parasit bagi sporofitnya. Tumbuhan berbiji akan membentuk struktur reproduktif khusus (strobilus ataupun bunga, tergantung kelompok tumbuhannya) sebagai persiapan membentuk spora. Spora dibentuk secara tersembunyi pada struktur itu. Seluruh tumbuhan berbiji adalah heterospor, artinya sporanya berbeda ukuran tergantung kelaminnya: mikrospora adalah spora yang akan membentuk gametofit jantan, dan megaspora(atau makrospora, ukurannya lebih besar) adalah spora yang akan membentuk gametofit betina. Serbuk sari (pollen), yang dibentuk di kepala sari, adalah perkembangan mikrospora menuju gametofit yang terlindung oleh lapisan khusus. Gametofit jantan berumur sangat pendek, yaitu saat serbuk sari jatuh di kepala putik, lalu tumbuh membentuk pembuluh untuk mengantarkan sel sperma / inti generatif menuju bakal biji untuk membuahi sel telur dan sel kutub/polar. Megaspora, di sisi lain, berkembang di dalam bakal biji (ovulum). Di dalam bakal biji terdapat kantung embrio (embryo sac), yang sesungguhnya adalah megagametofit (gametofit betina).

Rujukan

  1. ^ a b Susilowarno RG, Hartono RS, Mulyadi, Mutiarsih TE, Murtiningsih, Umiyati. 2007. Biologi SMA/MA Kls X. Jakarta: Grasindo.
  2. ^ Shaw AJ, Goffinet B. 2000. Bryophyte Biology. Cambridge: Cambridge University.
Kembali kehalaman sebelumnya