Foto jurnalistik
Foto jurnalistik adalah sebuah bentuk dari jurnalisme (mengumpulkan, menyunting, dan memperlihatkan bahan berita untuk publikasi atau penyiaran) yang menggunakan gambar-gambar dalam rangka mengabarkan sebuah berita. Foto jurnalistik sekarang sering hanya merujuk gambar-gambar diam, meskipun dalam beberapa kasus istilah tersebut juga merujuk kepada video yang digunakan dalam jurnalisme penyiaran. Foto jurnalistik berbeda dengan cabang-cabang terdekat lainnya dari fotografi (contohnya fotografi dokumenter, fotografi dokumenter sosial, fotografi jalanan atau fotografi selebriti). Foto jurnalistik biasa dibagi tiga yaitu foto berita spot (spot news), foto berita umum (general news) dan foto esai. Foto spot biasa foto berita yang dibuat tidak terduga seperti kejadian bencana alam, penembakan kepala negara, terorisme dan berita berita lain yang akan membuat foto ini dipasang di halaman muka surat kabar. Foto bertia umum merupakan foto berita yang merekam kejadian yang sudah bisa dipresiksi seperti pelantinkan presiden, upacara bendera kemerdekaan RI, pembukaan sidang MPR dan berita-berita lain yang terjadual dan dianggap punya nilai berita. Sedangkan yang terakhir adalah foto esei yaitu foto yang dibuat berupa rangkaian kejadian yang menceritakan suatu peristiwa. Ada pendapat bawah foto esei bukan monopoli para jurnalitik, foto ulang tahun, foto perkawinan, foto sunatan termasuk dokumentasi foto esei tetapi tidak mempunyai nilai jual pada surat kabar atau media. SejarahSejarah foto jurnalistik bermula pada tahun 1890-an. Bermula dari Jimmy Hare yang merupakan seorang fotografer jurnalistik Inggris meliput perang Spanyol-Amerika sampai akhir Perang Dunia I dengan dua kamera yang ditenteng menyerupai tas jinjing berbungkus kulit. Foto-fotonya menjadi dasar-dasar kerja seorang fotografer jurnalistik.[1] Tahun 1891 surat kabar harian New York Morning Journal merupakan pemrakarsa surat kabar yang melampirkan foto tercetak menggunakan halftone screen (perangkat yang mampu memindai titik-titik gambar ke dalam pelat cetakan).[1] Tahun 1897 halftone photographs mampu dicetak dengan cepat secara masal. Fotografi media cetak semakin terkenal.[1] Tahun 1930-1950 merupakan era fotojurnalistik di mana terbitan Port Illustrated, The Daily Minror, The New York Daily News, Vu dan LIFE menunjukkan keseriusan dalam bidang foto jurnalistik dengan menampilkan foto-foto yang menawan. Era ini disebut dengan “golden age”.[1] Tahun 1947 Magnum Photos berdiri. Magnum merupakan agensi foto berita pertama yang menyediakan foto jurnalistik dari berbagai isu di belahan dunia. Menjadi penyedia foto perang paling update. Selain foto perang, Magnum juga mendokumentasikan detail-detail pertumbuhan suatu generasi, para pemuda dan perempuan dan human interest. Black Star juga merupakan agensi yang berkembang dengan pesat di era golden age[1]. Tahun 1959 National Geographic Magazine yang saat ini dikenal dengan National Geographic (NG) mulai memasang foto pada sampul depannya dam berperan dalam perkembangan kemajuan foto jurnalistik. National Geographic (NG) merupakan sebuah media yang menerapkan standar teknis tinggi dalam menghasilkan kualitas fotonya.[1] Tahun 1976 istilah foto jurnalistik dipopulerkan oleh Prof. Clifton Edom di AS, melalui bukunya Photojournalism, Principles and Practices dan lewat kuliah yang diampunya di Universitas Missouri.[1] DefinisiMenurut Wilson Hicks (editor foto majalah Life dari 1937-1950),[2] foto jurnalistik merupakan kombinasi dari kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi saat ada kesamaan antara latar belakang pendidikan dan sosial dari pembacanya. Sedangkan menurut Kenneth Kobre:[3] foto jurnalistik bukan hanya melengkapi berita sebuah edisi sebagai ilustrasi dalam berita, namun foto jurnalistik saat ini mewakili alat terbaik yang ada untuk melaporkan peristiwa umat manusia secara ringkas dan efektif. Mary Warner Marien:[3] juga menjelaskan bahwa efek fotografi bukan terletak pada efek visual namun pada nilai sosialnya. Dalam pengerian lain Oscar Motuloh:[3] pun menjelaskan bahwa, foto jurnalistik merupakan media komunikasi yang menggabungkan elemen verbal dan visual. Elemen verbal berupa kata-kata yang disebut caption yang melengkapi sebuah gambar, karena sebuah foto tanpa keterangan akan kehilangan maknanya. dan James Nachtwey:[3] pun menjelaskan bahwa, sebuah foto dapat merasuki pikiran dan menjangkau hati dengan kekuatan kesegaran. Hal ini mempengaruhi bagian jiwa di mana makna hanya sedikit bergantung pada kata-kata dan membuat satu dampak mendalam, lebih mendasar, lebih dekat mendekat dengan pengalaman mentah. Foto jurnalistik merupakan bagian dari dunia jurnalisme yang menggunakan bahasa visual untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat luas dan tetap terikat kode etik jurnalistik. Dalam foto jurnalistik ada etika yang dijunjung tinggi, pesan dan berita yang ingin disampaikan, ada batasan yang tidak boleh dilanggar dan ada peristiwa yang harus ditampilkan dalam sebuah frame. Hal terpenting dalam fotografi jurnalistik adalah nilai-nilai kejujuran yang berlandaskan pada fakta objektif semateri. Keunggulan dari foto jurnalistik adalah mampu mengatasi keterbatasan manusia pada huruf dan kata. Sedangkan aspek penting dalam foto jurnalistik yaitu mengandung unsur-unsur fakta, informatif dan mampu bercerita. Perlu juga memperhatikan nilai estetika dan sentuhan seni yang menjadi nilai tambah. Nilai Foto Jurnalistik
Anatomi Foto Jurnalistik
KarakteristikDelapan karakteristik dalam foto jurnalistik tersebut antara lain:[2]
EtikaTerdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menyampaikan sebuah peristiwa melalui foto:[3]
Berikut ini Penggunaan Photoshop dalam foto jurnalistik:[3] a. Yang boleh dilakukan:
b. Tidak boleh dilakukan
Jenis
Merupakan foto yang dibuat dari peristiwa yang tidak terjadwal atau tidak terduga, yang diambil fotografer dari lokasi kejadian tersebut.[2]
Merupakan foto yang diabadikan dari peristiwa yang terjadwal, rutin dan biasa. Temanya bisa beragam, seperti politik, ekonomi dan humor.[2]
Merupakan foto tentang orang atau masyarakat dalam suatu berita. Yang ditampilkan adalah sosok atau pribadi orang yang menjadi pokok berita tersebut. Tokoh dalam foto bisa merupakan tokoh penting atau populer, namun bisa juga tokoh yang tidak penting atau biasa saja, yang kemudian menjadi populer setelah foto tersebut dipublikasikan.[2]
Merupakan foto yang menampilkan kehidupan sehari-hari manusia dipandang dari segi kemanusiawiannya (human interest).[2]
Merupakan foto yang menampilkan wajah seseorang secara close up dan “mejeng”. Ditampilkan karena terdapat kekhasan atau hal yang menarik pada wajah tersebut.[2]
Merupakan foto yang diambil berdasarkan peristiwa olahraga. Ditujukan untuk menunjukkan gerakan dan ekspresi dari atlet dan hal lain yang menyangkut olahraga. Hal ini dikarenakan penonton tidak dapat melihat dengan jelas gerakan dan ekspresi dari atlet dengan jarak yang jauh.[2]
Merupakan foto yang diambil dari peristiwa-peristiwa yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.[2]
Merupakan foto yang diambil dari peristiwa seni dan budaya.[2]
Merupakan foto yang menyangkut kehidupan sosial masyarakat serta lingkungan hidupnya[2] SyaratDi Indonesia, etika yang mengatur fotojurnalistik terdapat dalam Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia, khususnya pada Pasal 2 dan 3. Pada pasal 2 menyebutkan bahwa: “Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan atau keyakinan suatu golongan yang dilindungi oleh Undang-Undang.” Sedangkan pada pasal 3 menyebutkan mengenai cara pemberitaan dan menyatakan pendapat, yaitu sebagai berikut: “Wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan memutar balikkan fakta, bersifat fitnah, cabul serta sensasional”.[2] Dinamika di IndonesiaDi Indonesia, Fotografi diperkirakan masuk pada tahun 1841 oleh Juriaan Munich, seorang utusan kementerian kolonial lewat jalan laut di Batavia.[1] Setelah itu muncul seorang tokoh pribumi bernama Kassian Cephas yang dilansir sebagai fotografi pribumi pertama Indonesia dengan foto pertama yang diidentifikasi pada tahun 1875. Sejak abad ke-19, foto jurnalistik telah dikenal di tanah air melalui foto dokumenter sebagai akar dari foto jurnalistik. Pada masa penjajahan Belanda terdapat seorang juru foto bernama H.M. Neeb yang terkenal. Neeb berhasil menjadi fotografer dokumenter perang Aceh pada tahun 1904. Tanpa kehadiran Neeb, sejarah perang Aceh tidak bisa disaksikan dan kenang. Sejak itu foto jurnalistik semakin berkembang di Indonesia. Sejarah foto jurnalistik Indonesia bermuara dari kantor berita Domei, surat kabar Asia Raya dan agensi foto Indonesia Press Photo Service (IPPHOS) Fotografer bertugas untuk merekam situasi politik saat itu untuk kantor berita milik Jepang. Saat inilah pergerakan foto jurnalistik bermula. Pada tanggal 2 Oktober 1946, didirikan Indonesia Press Photo Service (IPPHOS). Foto-foto yang dihasilkan oleh fotografer disana mengalami penerimaan. Terbukti dengan adanya sebuah foto fenomenal karya Frans Mendur dengan judul Imaji Proklamasi 17 Agustus 1945. Sebelum tahun 1980, seorang jurnalis fotografi sangat berat dalam mengerjakan tugasnya.[4] Wartawan foto harus membawa seperangkat peralatan fotografi serta film jenis lembaran untuk menghasilkan reportase foto. Seiring berjalannya waktu, muncul kamera dengan ukuran 135mm dengan jenis gulungan film yang sedikit meringankan tugas seorang pewarta foto. Walau demikian, pewarta foto masih sulit untuk mengirimkan foto yang telah diambilnya. Setelah mengambil gambar, pewarta foto harus melakukan proses pencucian film agar gambar yang diambilnya dapat terlihat. Apabila, sang pewarta foto mengirim gulungan film kepada media cetak, pihak perusahaan pun juga tetap harus mencuci dan memilah film yang akan masuk untuk diterbitkan. Selain itu, dalam proses pengirimannya sendiri, seorang jurnalis fotografi harus pandai-pandai untuk menitipkan foto kepada penumpang pesawat atau bisa melalui jasa cargo. Cara lain dilakukan dengan saluran jasa telepon yang memakan waktu 20 menit, meskipun biaya yang dikeluarkan cenderung lebih mahal. Hal ini akan sangat memakan waktu, padahal dalam penyampaian berita, kecepatan menjadi hal yang paling utama. Sekitar abad 21 keadaan berubah, di mana jurnalis dimanjakan dengan kamera digital (digital camera). Pengambilan gambar cenderung lebih mudah, pewarta foto pun tak perlu membawa perangkat yang berat-berat. Hanya dengan satu kamera, dapat mengambil gambar maupun video. Data digital yang telah ada tak perlu melakukan proses pencucian dan cetak terlebih dulu. Proses mengirimnya pun semakin mudah dan murah dengan adanya internet. Foto akan tiba hanya dalam hitungan menit. Pewarta foto mengamati dan mengambil gambar sesuai dengan kejadian atau peristiwa pada saat itu, sehingga mereka harus fokus dan selalu siap untuk menangkap objeknya. Demikian, gambar akan menceritakan peristiwa yang sebenarnya terjadi serta dapat memantik respon emosional dari khalayak. Khalayak pun menjadi lebih tertarik dengan informasi-informasi yang dilengkapi dengan foto. Pasalnya, berita narasi memerlukan waktu yang lebih lama melalui proses membaca dan penalaran, sedangkan berita foto langsung mengundang respon dari khalayak.[5] Meski demikian, keduanya akan saling melengkapi dalam proses penyajian berita sehingga penyampaian informasi akan semakin jelas. Hal ini yang menjadikan media cetak mensejajarkan antara wartawan tulis dan wartawan foto. Kemajuan teknologi tidak sepenuhnya memberikan kemudahan yang bersifat positif. Rekan-rekan pewarta foto dapat mengubah gambar sesuai dengan keinginannya agar dapat terlihat bagus, indah, dan sebagainya hanya dengan menggunakan program Photoshop. Pewarta foto dapat mengurangi atau memberi tambahan objek pada foto. Hal ini tentu tidak dibenarkan, dianggap penipuan serta melanggar etika berita. Selain itu, hasil dari pengubahan foto akan menimbulkan pendapat yang berbeda antara benak masyarakat dan kejadian yang sebenarnya. Perkembangan pewarta foto di Indonesia sendiri banyak menghasilkan generasi yang memperoleh penghargaan-penghargaan di dalam negeri hinggap mencapai kancah dunia. Meski banyak yang belajar dari otodidak, mereka terus tekun belajar dari buku dan jurnalis fotografi senior. Berikut beberapa nama pewarta foto yang namanya sudah melalang buana.
Bacaan tambahan
Referensi
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Photojournalism.
|