Farid HusainFarid Husain (9 Maret 1950 – 23 Maret 2021)[1] adalah salah satu anggota delegasi pemerintah Indonesia dalam perundingan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia pada tahun 2005.[2][3][4] Perundingan yang dimediasi oleh Martti Ahtisaari ini berhasil mewujudkan Kesepakatan Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005.[5] Dengan kesepakatan ini, Konflik Aceh yang telah berlangsung 30 tahun diakhiri. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia gerakan separatis diselesaikan dengan solusi politik yang komprehensif.[6] Peran utama Farid Husain adalah melaksanakan inisiatif Wakil Presiden Jusuf Kalla di belakang layar (second track diplomacy) sebelum dan dalam proses perundingan.[7] Sejak tahun 2003, ia menjalin komunikasi untuk membangun kepercayaan ke dalam lingkungan pimpinan GAM di dalam dan di luar negeri.[8] Bersama Juha Christensen, ia melakukan kontak awal dengan tokoh GAM di luar negeri, termasuk ke Thailand, Australia dan Amerika Serikat.[9] Dalam melaksanakan misi ini, mereka sering menerobos batas-batas protokoler.[10] Bertemu Hasan di TiroFarid Husain merupakan pejabat pemerintah Indonesia pertama yang bertemu dan berjabat tangan dengan Hasan di Tiro sejak tokoh sentral GAM itu mendeklarasikan kemerdekaan Aceh-Sumatera pada tahn 1976 dan mengasingkan diri ke Swedia pada 1979.[10] Pertemuan Farid Husain dan Hasan di Tiro terjadi pada bulan Desember 2005, empat bulan setelah Kesepakatan Helsinki ditandatangani.[11] Pertemuan berlangsung sore menjelang malam di apartemen Hasan di Tiro di Stockholm. Dalam kunjungannya selama dua jam, Farid Husain menyampaikan undangan kepada Hasan di Tiro untuk menghadiri pertemuan segitiga antara Wakil Presiden RI, Martti Ahtisaari dan GAM. Hasan di Tiro tidak dapat memenuhi undangan tersebut.[11] Selama beberapa dekade Hasan di Tiro menjadi pemimpin utama GAM dan mengendalikan gerakan separatis itu dari luar negeri. Walaupun keputusan organisasi ini diambil secara kolektif, peran Hasan di Tiro sebagai Wali Naggroe Aceh sangat menentukan. Dalam berbagai perundingan, GAM memandang tinggi restu dari Hasan di Tiro. Selama perundingan antara pemerintah RI dengan GAM di Helsinki dari Januari hingga Agustus 2005, Hasan di Tiro berada di balik layar. Dia menghindar dari pertemuan dengan pihak Indonesia.[11] Ia mendelegasikan wewenangnya kepada para perunding GAM, terutama kepada Malik Mahmud dan Zaini Abdullah. Kesediaan Hasan di Tiro menemui pejabat Indonesia merupakan sinyal perubahan sikap GAM ke arah yang lebih kooperatif dalam mengupayakan dan menjaga perdamaian pasca Kesepakatan Helsinki.[11] Pada 11 Oktober 2008, Hasan di Tiro kembali ke Aceh setelah 30 tahun di pengasingan.[12] Farid Husain turut menjemputnya dari Kuala Lumpur, tempat Hasan di Tiro transit sebelum bertolak ke Banda Aceh. Dalam penerbangan ke Banda Aceh, Hasan di Tiro duduk di kursi penumpang bernomor 1A.[10] Hasan di Tiro meninggal dunia pada tanggal 3 Juni 2010 di Rumah Sakit Zainoel Abidin, Banda Aceh.[10] Farid Husain berada bersama dengan kerabat Hasan di Tiro di rumah sakit pada saat-saat terakhir hidupnya.[10] Mendekati Tokoh-tokoh GAMDalam tugas menjalin kontak dengan tokoh-tokoh utama GAM, Farid Husain mengawali pendekatannya kepada orang-orang yang dianggap memiliki pengaruh besar atas tokoh utama.[11] Dengan pendekatan ini diharapkan jalan untuk berkomunikasi dengan tokoh-tokoh kunci lebih terbuka. Di antaranya, Farid Husain menemui Abu Abdullah pada bulan Agustus 2003 di kediamannya di Ciputat.[11] Abu Abdullah adalah kakak Hasan di Tiro, dan ayahanda dari Zaini Abdullah dan Hasbi Abdullah. Pertemuan tersebut difasilitasi oleh tokoh Aceh, Mahyudin.[11] Farid Husain juga menemui Sayid Mustafa, yang kala itu dikenal sebagai Panglima GAM untuk Aceh Timur, di Bandara Schipol, Amsterdam. Bersama Sayid Mustafa, ada Fadlun, perwakilan GAM di Belanda yang baru tiba dari Vanuatu. Selanjutnya, Farid Husain mempertemukan mereka dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla.[13] Pada bulan Desember 2004, Farid Husain bersama Mahyudin menemui Tengku Idi, tujuh hari sesudah bencana tsunami melanda Aceh. Tengku Idi adalah sesepuh di kalangan anggota GAM. Ia dipandang sebagai penasihat spiritual yang ramalannya kerap menjadi kenyataan. Pertemuan tersebut merupakan bagian dari cara Farid Husain membangun kepercayaan antara pihak GAM dan pemerintah Indonesia.[11] Pada tahun 2005, di antara jeda putaran perundingan dengan GAM, Farid Husain bertemu dengan Irwandi Yusuf di Singapura. Irwandi Yusuf ketika itu merupakan koordinator think tank GAM. Ia merupakan salah seorang tokoh faksi angkatan muda GAM dan di pertengahan perundingan ikut bergabung dengan delegasi GAM di Helsinki.[11] Masih di Singapura, Farid Husain juga mencari dan akhirnya dengan bantuan Irwandi Yusuf menemukan Tengku Amir. Tengku Amir adalah kakak Malik Mahmud. Di Singapura Tengku Amir yang hidup membujang mengasuh salah serang putra Malik Mahmud.[11] Pada bulan Juni 2005, menjelang perundingan dengan pihak HAM berakhir, Farid Husain mendapat perintah untuk menemui panglima GAM, Sofyan Dawood di markas GAM di rimba Aceh. Farid Husain diutus untuk menyampaikan perkembangan di meja perundingan dan memastikan kesediaan anggota GAM yang berada di hutan menerima hasil perundingan bila sudah disepakati.[11] Dalam upaya menjalin kontak dengan sebanyak mungkin tokoh GAM, Farid Husain beberapa kali menemukan kesulitan. Di antaranya karena keengganan tokoh untuk bertemu atau karena keliru dalam menilai ketokohannya.[3] Pertemuan Jusuf Kalla dan Damien KingsburyDalam proses perundingan antara delegasi pemerintah RI dan GAM di Helsinki, semakin jelas terlihat peran penting Damien Kingsbury. Associate Profesor pada The School of International and Political Studies dan merangkap Direktur International and Community Development Deakin University Diarsipkan 2019-09-27 di Wayback Machine., Victoria, Australia ini dikenal sebagai penasihat utama dan think tank GAM. Namun pada kenyataannya, lebih dari itu, ia juga turut dalam tim perunding GAM di Helsinki dan memiliki pengaruh yang kuat dalam merumuskan sikap perunding GAM.[14] Pandangan tentang adanya ambivalensi peran Kingsbury datang dari pihak Indonesia, terutama karena sikap dan keberadaannya yang tidak dapat dibedakan sebagai penasihat atau anggota tim perunding GAM.[11] Komentar-komentar Damien Kingsbury di media massa juga dinilai mengganggu jalannya perundingan. Dia juga dinilai menjadi salah satu faktor yang memperalot perundingan. Dia masuk dalam daftar black list untuk masuk ke Indonesia.[14] Pada tanggal 24 Januari 2005 tulisan Damien Kingsbury yang berjudul Aceh's Disasters Could Herald Political Change terbit di harian The Jakarta Post, yang di kemudian hari mendapat perhatian serius dari Wakil Presiden Jusuf Kalla.[9] Dalam artikel ini Damien Kingsbury mengemukakan gagasan "self governing" bagi Aceh, yang oleh Jusuf Kalla dipandang sebagai gagasan yang perlu dikaji lebih mendalam tentang kesesuaian atau ketidaksesuaiannya dengan undang-undang yang ada di Indonesia. Perlunya pengkajian itu karena selama dalam perundingan dengan GAM, gagasan tentang self-governing berulang kali dikemukakan oleh pihak GAM.[9] Untuk mengetahui lebih mendalam gagasan itu dari sumbernya langsung, Jusuf Kalla berencana bertemu dengan Damien Kingsbury, sebuah keinginan yang sulit untuk diwujudkan karena banyak pihak di Indonesia tidak menyukai Damien Kingsbury.[14] Oleh karena itu kedatangan Damien Kingsbury diupayakan dilakukan secara rahasia ke Jakarta dari Singapura dan 'diselundupkan' ke rumah dinas Wakil Presiden. Inisiatif menyelundupkan Damien Kingsbury datang dari Jusuf Kalla sendiri.[9] Di lapangan, sebagai pelaksananya adalah Farid Husain dan Juha Christensen.[11] Farid Husain menjemput langsung Damien Kingsbury di Bandara Soekarno Hatta, setelah sebelumnya nama Damien Kingsbury tidak lagi tercantum dalam black list.[11] Damien Kingsbury melalui bagian pemeriksaan paspor tanpa kesulitan dan selanjutnya memasuki mobil yang dikemudikan sendiri oleh Farid Husain menuju kediaman Jusuf Kalla.[11] Pertemuan 'diam-diam' tersebut berlangsung selama satu jam. Keesokan harinya Damien Kingsbury keluar dari Indonesia menuju Singapura melalui Bandara Soekarno Hatta dengan diantar oleh Farid Husain.[11] Pertemuan 'diam-diam' tersebut mendatangkan kritik, antara lain dari Anggota DPR Djoko Susilo dari Partai Amanat Nasional yang menyatakan sangat menyesalkan adanya pertemuan.[9] Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Marty Natalegawa, mengatakan tidak tahu-menahu atas adanya pertemuan tersebut.[9] Penyelesaian Konflik PosoFarid Husain ikut berperan dalam penyelesaian Konflik Poso yang menelan ratusan korban jiwa, ribuan rumah musnah terbakar dan menyebabkan sekitar 90.000 penduduk Poso mengungsi. Konflik yang diawali oleh konflik politik lokal dan konflik anak muda melebar menjadi konflik agama berhasil diselesaikan melalui Deklarasi Malino pada 20 Desember 2001. Peran Farid Husain adalah membantu menjalankan panduan Panduan Rekonsiliasi Poso yang digagas oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Jusuf Kalla, ketika itu, selaku pejabat yang diberi tugas oleh Sidang Kabinet pada 13 Desember 2001 untuk menangani Konflik Poso. Salah satu upaya awal menyelesaikan konflik di Poso adalah mencari dan mengumpulkan tokoh-tokoh representasi kedua pihak yang berkonflik untuk saling dipertemukan. Upaya ini menghasilkan disepakatinya 20 tokoh sebagai representasi masyarakat, 10 orang dari masing-masing pihak. Mediasi kedua belah pihak dilakukan oleh Menko Kesra sendiri.[11] Pertemuan pertama yang dilaksanakan secara tertutup dan rahasia, diadakan pada tanggal 14 Desember 2001 di Makassar. Tokoh kelompok Kristen ditempatkan di Hotel Delia, Panaikan, Makassar, sementara tokoh kelompok Muslim ditempatkan di Hotel Delta, di Jalan Hasanuddin, Makassar.[11] Mengenai pengaturan tempat ini masing-masing kelompok tidak saling mengetahui. Bahkan mereka juga tidak diberitahu bahwa kelompok yang menjadi lawan mereka diundang pada pertemuan tersebut.[11] Pada pertemuan pertama kedua kelompok tidak bertatap muka secara langsung. Masing-masing kelompok hanya dipertemukan dengan Menko Kesra Jusuf Kalla selaku wakil pemerintah, secara terpisah. Jusuf Kalla didampingi oleh Gubernur Sulawesi Selatan, Zainal Basri Palaguna dan Farid Husain. Pertemuan dengan kelompok Kristen diadakan di hotel tempat mereka menginap. Sedangkan pertemuan dengan kelompok Muslim diadakan di Rumah Sakit Faisal, Makassar.[11] Pertemuan selanjutnya diadakan pada 19 Desember 2005 di Malino. Seperti pada pertemuan sebelumnya, kali ini Jusuf Kalla sebagai mediator menemui masing-masing kelompok secara terpisah. Baru pada pertemuan berikutnya, yaitu pada 20 Desember kedua belah pihak yang berkonflik ditempatkan dalam satu ruangan.[11] Di sela-sela pertemuan formal, Farid Husain aktif melakukan pendekatan personal dan informal kepada masing-masing pihak agar menerima dan mendukung upaya perdamaian. Pada 20 Desember kedua belah pihak sepakat untuk saling menerima permohonan maaf dan mengakhiri konflik.[11] Mengakhiri Konflik AmbonUpaya penyelesaian konflik Ambon diawali dengan pertemuan pendahuluan antara wakil kedua pihak yang berkonflik pada 30 Januari 2002. Pertemuan diadakan di rumah dinas Gubernur Maluku, di Mangga Dua, Ambon. Selain dihadiri oleh Menko Kesra Jusuf Kalla, juga dihadiri oleh Menko Polkam, Kapolri dan para staf.[11] Pertemuan pertama masing-masing pihak yang berkonflik dilakukan secara terpisah. Pertemuan dengan kelompok Kristen pada pagi hari sedangkan dengan pihak Muslim pada siang hari. Pada pertemuan ini disepakati bahwa pertemuan selanjutnya akan diadakan di luar kota Ambon demi menghindari tekanan publik berupa aksi unjuk rasa. Farid Husain bertanggung jawab untuk memastikan terpilihnya representasi dari masing-masing pihak yang berkonflik, yang totalnya 30 orang. Pada pertemuan pertama masing-masing kelompok sudah dapat menetapkan representasinya.[11] Pertemuan selanjutnya diadakan di Makassar. Pertemuan dengan kelompok Kristen diadakan di Losari Beach Hotel sedangkan pertemuan dengan kelompok Muslim diadakan di Hotel Kemari. Pertemuan ini menghasilkan 17 butir keinginan.[11] Pertemuan selanjutnya diadakan di Hotel Sedona pada 17 Januari 2002. Kali ini masing-masing kelompok hanya mengutus empat representasinya. Para wakil kelompok ini dipertemukan dalam satu ruangan dan mereka membicarakan upaya perdamaian bersama dengan Menko Kesra Jusuf Kalla.[11] Dalam upaya menarik dukungan terhadap upaya perdamaian, Farid Husain mengupayakan pendekatan dengan tokoh-tokoh masyarakat di Ambon. Ia antara lain merancang kunjungan Menko Kesra Jusuf Kalla ke kantong-kantong penduduk Kristen termasuk dengan mengunjungi secara mendadak kediaman uskup.[11] Pertemuan ketiga diadakan di Makassar pada 31 Januari 2002. Dalam pertemuan dengan kedua kelompok, diadakan pembicaraan untuk merumuskan konsep penghentian konflik.[11] Pertemuan puncak kedua belah pihak diadakan di Malino pada 11 dan 12 Februari 2002. Pada hari pertama, Jusuf Kalla sebagai mediator, menerima masukan dari masing-masing pihak secara terpisah. Pada hari kedua, pertemuan dengan kedua belah pihak diadakan dalam satu ruangan dan masing-masing pihak memberikan pendapat. Pertemuan ini menghasilkan Perjanjian Maluku di Malino yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, diawali oleh Ustadz H. Wahab dari kelompok Muslim dan Pendeta Hendrik dari kelompok Kristen. Pejabat pemerintah RI yang membubuhkan tanda tangannya adalah Menko Kesra Jusuf Kalla, Menko Polhukam Susilo Bambang Yudhoyono, Kapolri Da'i Bachtiar, Gubernur Sulawesi Selatan, HZB Palaguna, Gubernur Maluku, Saleh Latuconsina.[11] Utusan Khusus untuk PapuaPada bulan Desember 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi tugas kepada Farid Husain sebagai utusan khusus Presiden untuk dialog Papua.[15] Farid Husain menjadi bagian dari sebuah tim yang diberi nama Tim Penyelesaian Konflik Papua yang selain diisi oleh Farid Husain, juga Velix Wanggai, Staf Khusus Presiden untuk Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, dan Letjen Bambang Dharmono yang di kemudian hari menjadi kepala Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Tim ini diminta membantu Presiden SBY menyelesaikan konflik Papua melalui penjajagan dialog. Model dialog di Aceh dipandang dapat dijajaki. Walaupun kelompok-kelompok di Papua yang berseberangan dengan Jakarta tidak memiliki satu komando seperti yang ada pada Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Farid memandang kelompok-kelompok Nasionalis Papua memiliki satu kesamaan yaitu semua pihak membuka diri untuk mengadakan dialog. Hal ini juga ia temukan di kalangan faksi-faksi GAM . Walaupun memiliki kekecewaan yang tinggi terhadap Jakarta, kemungkinan dialog selalu terbuka bagi mereka.[15] Dalam kapasitas sebagai utusan khusus pemerintah untuk Papua, Farid Husain secara maraton menemui tokoh-tokoh Papua selama tiga bulan (Mei-Juli 2011) untuk berbicara dengan sebanyak mungkin representasi rakyat Papua. Dalam upaya ini, Farid Husain telah berbicara dengan para tokoh-tokoh gereja Papua yang berasal dari berbagai sinode dan denominasi, bertemu dengan mahasiswa aktivis Papua yang belajar di berbagai kota, khususnya Yogyakarta, menjumpai sejumlah pentolan Tentara Pembebasan Nasional TPN-OPM, termasuk Kolonel Jonah Wenda, juru bicara TPN-OPM dan orang-orang kepercayaan Brigen Richard Hans Howeni, yang merupakan salah satu sosok yang dihormati di kalangan OPM.[10] Dalam menangani konflik baik di Aceh maupun di Papua, Farid Husain menggunakan latar belakang profesi sebagai dokter untuk memahami apa yang terjadi. Ia tidak pernah langsung percaya dari hanya membaca suatu diagnosis. Juga tak bisa mengambil keputusan hanya dari mendengar keluhan pasien. Dokter harus melihat langsung dan memeriksa kondisi pasien. Dalam menangani konflik, untuk menemukan solusi, harus didahului dengan mendengar dan melihat langsung persoalan, menemui dan berbicara langsung dengan pihak-pihak yang berkonflik.[11] Dari hasil dialog yang telah ia lakukan, Farid Husain menyimpulkan perlu upaya memfasilitasi faksi-faksi nasionalis Papua agar dapat menemukan representasi mereka dalam dialog dengan Jakarta yang direncanakan. Informasi yang dia himpun mengatakan pertemuan sesama faksi-faksi itu diharapkan dilaksanakan di luar Indonesia dengan alasan keamanan. Vanimo di Papua Nugini atau kota di Vanuatu pernah terlontar sebagai lokasi pertemuan. Farid Husain menilai diperlukan political will yang kuat dari semua pihak untuk mengetuk palu bagi berlangsungnya dialog dengan Papua. Masa Kecil dan RemajaFarid Husain lahir di Soppeng, Sulawesi Selatan pada 9 Maret 1950.[11] Ayahnya, Haji Muhammad Husain, adalah guru, pernah menjadi kepala sekolah SMP Negeri Pinrang, Sulawesi Selatan dan mendapat predikat Guru Teladan dari pemerintah Indonesia pada tahun 1974.[11] Ibunya bernama Hajjah Sitti Saidah.[11] Setelah menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD) di Pinrang, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Frater di Makassar dan Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 di Makassar, ia melanjutkan studi ke Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Farid Husain menyelesaikan pendidikan kedokteran pada tahun 1978 dan meraih gelar spesialis bedah (Dr.Sp.B/Sp. I) pada 1981 dari almamater yang sama. Pada tahun 1984 Farid Husain menyelesaikan pendidikan spesialis bedah digestif (Dr Sp.BD/Sp.II/Konsultan) di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.[11] KarierFarid Husain pada awalnya berkarier di dunia pendidikan. Pada tahun 1979, ia mulai bekerja sebagai dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Sebagai akademisi, ia pernah menjabat wakil dekan Fakultas Kedokteran (1991-1995). Pada periode 1995-2001 Farid Husain menjabat sebagai direktur utama Rumah Sakit Islam Faishal, Makassar (1995-2002). Pada periode yang sama ia juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Dokter Indonesia wilayah Sulawesi Selatan. Pada periode 1996-2001 Farid Husain menjabat Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia wilayah Sulawesi Selatan.[11] Pada tahun 2001, Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla meminta Farid Husain membantunya sebagai Staf Ahli Menko Kesra Bidang Peran Serta Masyarakat (2001-2002) dan kemudian menjadi Deputi II Menko Kesra Bidang Kesehatan, Lingkungan Hidup dan Sosial (2002-2005). Dalam kapasitas ini, Farid Husain turut terlibat dalam mengupayakan perdamaian di Poso dan Ambon.[16] Sejak tahun 2005 hingga tahun 2010, ia menjabat Direktur Jenderal Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan.[17] Beberapa penugasan Farid Husain lainnya adalah Ketua Dewan Pengawas RSCM (2006-2011), Utusan Utusan Khusus Wakil Presiden RI dengan Pemerintah Thailand untuk proses Perdamaian di Thailand Selatan (2007-2008), Komisaris Utama PT ASKES (2008-2013), Utusan Khusus Presiden RI Untuk Damai Papua (2011 – 2014), Dewan Pengawas RSUP Persahabatan (2011- 2016), Ketua Dewan Pengawas RS PMI Bogor (2011-sekarang), Ketua Dewan Penasehat Medis (DPM) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan (2014-2016), Ketua Pengurus Pusat PMI (2014-sekarang), Komisaris Utama PT Kimia Farma (2015 - 2018), Dewan Pengawas RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar (2016-2021), dan Komisaris Utama PT Bio Farma (Persero) (2018-2021).[18] MeninggalFarid meninggal dunia di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar pada 23 Maret 2021 karena COVID-19 pada usia 71 tahun.[19] Referensi
|