Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

 

Efek media bermusuhan : misinformasi dan disinformasi dalam era digital

Efek Media Bermusuhan sangat tidak baik bagi kehidupan politik dan sosial masyarakat. Di era digital saat ini, platform berita online dan media sosial telah menjadi sumber informasi utama bagi banyak orang. Namun, kemudahan dalam menyebarkan informasi juga membuka peluang bagi masalah besar, yakni misinformasi dan disinformasi. Misinformasi mengacu pada informasi yang salah atau tidak akurat tanpa adanya niat jahat, sementara disinformasi merujuk pada penyebaran informasi palsu dengan tujuan menipu atau memanipulasi. Kedua fenomena ini dapat menciptakan "media bermusuhan," di mana perbedaan pandangan politik atau sosial dapat memicu konflik lebih besar dan memperburuk polarisasi dalam masyarakat.[1] Artikel ini akan mengulas dampak dari media bermusuhan yang dipicu oleh misinformasi dan disinformasi, masalah yang ditimbulkan, serta pengaruhnya terhadap masyarakat.

Pengertian misinformasi dan disinformasi

Misinformasi adalah informasi yang salah atau keliru yang tersebar tanpa ada niat untuk menyesatkan. Sering kali, misinformasi disebarkan karena ketidaktahuan atau kelalaian dalam memverifikasi kebenaran suatu informasi[2][3]. Misalnya, seseorang yang membagikan artikel yang tidak benar karena mereka tidak tahu bahwa isinya salah.

Disinformasi adalah informasi yang sengaja disebarkan untuk mempengaruhi opini publik atau menggiring masyarakat menuju suatu tujuan tertentu. Disinformasi biasanya memiliki agenda politik, ekonomi, atau sosial di balik penyebarannya[4]. Contohnya adalah berita palsu yang dibuat dengan tujuan untuk merusak reputasi seseorang atau kelompok, atau mempengaruhi hasil pemilu.

Media Bermusuhan dan Polarisasi

Fenomena media bermusuhan sering terjadi ketika media atau platform sosial mulai mendukung kelompok atau ideologi tertentu dan menyebarkan informasi yang menguntungkan pihak tersebut, sambil merendahkan pihak lawan. Dalam kondisi ini, media tidak berfungsi lagi sebagai sumber informasi yang netral, melainkan sebagai sarana untuk memperkuat posisi politik atau sosial tertentu. Hal ini dapat mengarah pada polarisasi, di mana masyarakat terbelah menjadi kelompok-kelompok yang saling berlawanan.

Misinformasi dan disinformasi memiliki dampak signifikan dalam menciptakan lingkungan media yang saling bertentangan. Misinformasi dapat memperburuk polarisasi dengan menyebarkan informasi yang salah, yang memperkuat pandangan ekstrem atau keliru dari suatu kelompok. Di sisi lain, disinformasi lebih berisiko karena informasi yang disebarkan dengan tujuan sengaja untuk memanipulasi opini publik dapat meningkatkan ketegangan sosial dan memperburuk perpecahan dalam masyarakat.

Permasalahan yang dihadapi

  1. Erosi Kepercayaan terhadap Media. Misinformasi dan disinformasi yang beredar luas di media sosial dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap media yang sah. Ketika masyarakat mulai meragukan kebenaran informasi yang disampaikan oleh outlet berita tradisional atau media sosial, mereka cenderung mencari sumber informasi yang sesuai dengan pandangan mereka, memperburuk polarisasi dan menciptakan ruang echo chamber. Hal ini mempersulit upaya untuk mencari kebenaran dan solusi yang adil terhadap masalah sosial dan politik.
  2. Peningkatan Ketegangan Sosial dan Politik. Ketika informasi yang salah atau menyesatkan menyebar luas, ia dapat memperburuk ketegangan sosial, memperbesar perbedaan ideologi, dan meningkatkan permusuhan antar kelompok. Misalnya, disinformasi terkait dengan isu-isu sensitif seperti ras, agama, atau politik dapat mengarah pada kekerasan sosial, kebencian, atau diskriminasi. Ketegangan politik seringkali disulut oleh berita palsu yang menyesatkan tentang kandidat atau kebijakan tertentu, yang menyebabkan terjadinya polarisasi yang lebih tajam dalam masyarakat.
  3. Krisis Demokrasi dan Pemilu. Dalam konteks politik, disinformasi sering kali digunakan untuk memanipulasi pemilih, menurunkan tingkat partisipasi, atau mengubah hasil pemilu. Penyebaran informasi yang salah tentang calon atau kebijakan tertentu dapat membuat pemilih membuat keputusan yang tidak berdasarkan pada fakta yang benar. Sebagai contoh, berita palsu yang menuduh calon tertentu terlibat dalam skandal besar dapat merusak reputasi mereka tanpa dasar yang jelas. Fenomena ini merusak integritas pemilu dan berisiko mengurangi kualitas demokrasi.
  4. Kesulitan dalam Verifikasi Informasi. Di dunia digital, terutama media sosial, informasi dapat dengan cepat tersebar tanpa adanya mekanisme yang memadai untuk memverifikasi kebenarannya. Platform digital seperti Twitter dan Facebook sering kali menjadi tempat penyebaran informasi yang tidak terverifikasi, yang memperburuk masalah misinformasi dan disinformasi. Karena banyak orang tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk memverifikasi informasi secara kritis, mereka cenderung mempercayai apa yang mereka lihat tanpa memeriksa kebenarannya terlebih dahulu.

Dampak dari misinformasi dan disinformasi

  1. Merusak Kualitas Diskusi Publik. Ketika media sosial dipenuhi dengan misinformasi dan disinformasi, kualitas diskusi publik menurun. Alih-alih berfokus pada perdebatan yang sehat dan berbasis fakta, diskusi menjadi lebih emosional, disesatkan oleh informasi yang salah, dan sering kali berujung pada permusuhan. Polarisasi politik semakin tajam, dengan masing-masing kelompok mempercayai versi informasi yang bertentangan dengan pihak lainnya.
  2. Menghancurkan Kepercayaan pada Institusi. Misinformasi dan disinformasi tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat terhadap media, tetapi juga terhadap institusi-institusi penting seperti pemerintah, lembaga pendidikan, dan lembaga peradilan. Ketika informasi yang salah mengenai kebijakan pemerintah atau keputusan hukum beredar luas, hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap integritas institusi tersebut.
  3. Kehilangan Integritas Berita dan Jurnalisme. Media tradisional yang biasanya berusaha untuk mengikuti standar jurnalistik yang ketat kini terpaksa bersaing dengan media sosial yang tidak memiliki pengawasan editorial. Ketika berita palsu lebih cepat menyebar daripada fakta yang diverifikasi, masyarakat menjadi lebih skeptis terhadap semua sumber informasi. Hal ini menurunkan nilai jurnalisme yang berbasis pada fakta dan bukti.

Referensi

  1. ^ Borwankar, Sameer; Zheng, Jinyang; Kannan, Karthik (2022-08). "Crowdsourcing and Misinformation on Social Media". Academy of Management Proceedings. 2022 (1). doi:10.5465/ambpp.2022.15259abstract. ISSN 0065-0668. 
  2. ^ Lewandowsky, Stephan; Ecker, Ullrich K. H.; Cook, John (2017-12). "Beyond misinformation: Understanding and coping with the "post-truth" era". Journal of Applied Research in Memory and Cognition. 6 (4): 353–369. doi:10.1016/j.jarmac.2017.07.008. ISSN 2211-369X. 
  3. ^ Pennycook, Gordon; Bear, Adam; Collins, Evan T.; Rand, David G. (2020-11). "The Implied Truth Effect: Attaching Warnings to a Subset of Fake News Headlines Increases Perceived Accuracy of Headlines Without Warnings". Management Science. 66 (11): 4944–4957. doi:10.1287/mnsc.2019.3478. ISSN 0025-1909. 
  4. ^ Gelfert, Axel (2018-03-15). "Fake News: A Definition". Informal Logic. 38 (1): 84–117. doi:10.22329/il.v38i1.5068. ISSN 2293-734X. 
Kembali kehalaman sebelumnya