Dyah Raṇawijaya
Girindrawardhana Dyah Ranawijaya atau Bhre Keling adalah maharaja terakhir Majapahit dari dinasti girindrawardhana kediri yang memerintah tahun 1474—1518, dengan ibukota di Daha /Kediri.[1] Namanya dikenal melalui Prasasti Jiyu (I, II, III, IV), Prasasti Petak, Serat Pararaton dan Suma Oriental. Girindhrawardhana Ranawijaya diketahui menggulingkan Prabu Singhanegara Wijayakusuma Brawijaya V Identifikasi Dyah Ranawijaya dan BrawijayaSeorang raja dalam tradisi Majapahit memiliki gelar kerajaan dan nama muda yang dicirikan dengan penggunaan gelar kebangsawanan atau abhiseka Dyah, terutama berlaku untuk tokoh laki-laki dan perempuan. Gelar Girindrawardhana (transliterasi: Girīndrawarddhana) adalah gelar bagi raja Majapahit, Dyah Ranawijaya. Gelar ini ditemukan dalam Prasasti Waringinpitu yang bertahun 1369 Saka (1447 M), serta Prasasti Ptak (OJO XCI) dan Prasasti Jiwu (OJO XCII-XCV) yang keduanya bertahun 1408 Saka (1486 M).[2] Pada Prasasti Jiwu I bertarikh 1486, yang menceritakan penganugerahan tanah oleh 'Dyah Raṇawijaya' kepada kepada pendukungnya 'Sri Brahmaraja Gangadhara' dalam perang saudara melawan Bhre Kertabhumi dan menyebutkan bahwa Girīndrawardhana Dyah Raṇawijaya adalah raja yang berkuasa atas Wilwatiktapura (nama lain Majapahit), Janggala (Kahuripan), dan Kaḍiri (Daha).[2] Sedangkan gelar Brawijaya juga dianggap identik dengan Dyah Ranawijaya, yang namanya terdapat dalam penutupan naskah Pararaton. Kemungkinan hal ini berasal dari ejaan Batara Vojyaya yang terdapat pada naskah Suma Oriental (Ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya) yang disederhanakan menjadi Bhra Wijaya, yang kemudian familiar disebut Brawijaya di era Jawa Baru. Mengalahkan Bhre Kertabhumipada tahun 1466, Girisawardhana wafat dan digantikan oleh Suraprabhawa (Singhawikramawardhana), adiknya. Hal ini mengakibatkan, Bhre Kertabhumi melakukan pemberontakan terhadap Suraprabhawa pada tahun 1468, karena ia adalah salah satu putra Rajasawardhana, dan merasa lebih berhak atas takhta Majapahit dibanding pamannya. Kemudian Dyah Suraprabhawa dan keluarganya termasuk Dyah Wijayakarana, Dyah Wijayakusuma, Dyah Ranawijaya melarikan diri ke daerah Keling, Kediri dan menjadi penguasa Keling dengan gelar Girindrawardhana. Setelah mengumpulkan kekuatan, mereka menyerang balik Kerthabumi. Kekuasaan Bhre Kertabhumi berakhir setelah dikalahkan oleh Dyah Ranawijaya, yang kemudian menjadi raja Majapahit yang memerintah sejak tahun 1474. Hal ini diperkuat juga dalam prasasti Jiyu (I, II, III, IV) dan Petak, tahun 1486, yang isinya yaitu memperingati 12-tahun kematian Singhawikramawardhana. Dyah Ranawijaya memberikan penghargaan tanah untuk pembangunan "Trailokyapuri" kepada "Sri Brahmaraja Ganggadara" yang membantunya mengalahkan Kertabhumi [3], serta memindahkan ibu kota Majapahit ke Daha (Kediri). Kekalahan Bhre Kertabhumi memicu perang antara Majapahit melawan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan Bhre Kertabhumi. Masa Akhir MajapahitPatih UdaraPada tahun 1513 saat Tomé Pires mengunjungi Jawa, ibu kota sudah pindah ke Dayo (ejaan Portugis untuk Daha). Saat itu raja sudah tidak berkuasa penuh. Dyah Raṇawijaya hanya sebagai raja simbol belaka. Yang menjalankan roda pemerintahan adalah Guste Pate (ejaan Portugis untuk Gusti Patih) yang sebelumnya dikenal dengan nama Pate Amdura (ejaan Portugis untuk Patih Mahodara).[1] Cerita ini diperkuat oleh catatan Duarte Barbosa dari Italia yang menyebutkan pada tahun 1518 yang berkuasa atas Jawa pedalaman bernama Pate Udra (Patih Udara). Patih Udara memerintah segala aspek menggantikan Ranawijaya. Ia menggenggam raja di tangannya, bahkan berhak memberikan perintah. Sang raja sudah tidak memiliki suara dalam hal apa pun. Rakyat sudah kehilangan kepercayaan kepada raja karena kecewa telah kehilangan sebagian besar tanah mereka. Perang Majapahit - DemakTomé Pires (1513) mencatat sering terjadi peperangan antara Pate Amdura (ejaan Portugis untuk Patih Mahodara) melawan persekutuan para pate (patih) pesisir utara yang dipimpin Pate Rodim dari Demaa (ejaan Portugis untuk Demak). Pate Rodim dan para pate yang beragama Islam itu membentuk aliansi melawan Daha. Meskipun demikian, tidak semua pate yang beragama Islam mendukung Pate Rodim. Ada seorang bernama Pate Vira dari Tuban yang meskipun muslim tetapi mendukung Guste Pate di Daha. Pate Vira ini adalah narasumber Tomé Pires mengenai kondisi politik di Jawa saat itu.[1] Ketika Tomé Pires datang ke Jawa (1513), peperangan terjadi antara Daha melawan Demak. Terkadang Demak yang menyerang dahulu, kadang Daha yang ganti menyerang. Pihak Daha selaku penerus Majapahit ingin merebut kembali deretan kota pelabuhan utara yang dikuasai Dĕmak. Hanya Tuban saja di wilayah pantura yang masih setia kepada Daha, sedangkan Surabaya kadang melawan Daha, kadang menjadi kawan.[1] Pada tahun 1522 penulis Italia bernama Antonio Pigafetta mendapat keterangan dari para pelaut lainnya, bahwa ada kota besar di Jawa bernama Magepaher (Majapahit) yang rajanya bernama Pate Unus (kakak Pate Rodim) telah meninggal. Menurut catatan Tomé Pires di tahun 1513 Pate Unus adalah pate yang berkuasa di Japara, yang merupakan pate Islam terbesar kedua sebelum Pate Rodim raja Demak. Jika keterangan ini benar, maka Pate Udra (Patih Mahodara) patih yang berkuasa di Daha telah dikalahkan oleh Pate Unus sesudah tahun 1518, sebelum tahun 1522. Sementara itu, Babad Sĕngkala mencatat Tuban dan Daha (sekarang Kediri) baru bisa ditaklukkan oleh Demak pada tahun 1527. Saat itu yang menjadi raja Dĕmak adalah Sultan Trenggana (Pati Rodim) putra Raden Patah. Sisa-sisa keluarga Majapahit keturunan Girindrawardhana kemudian melarikan diri ke wilayah Blambangan (sekarang daerah Kabupaten Banyuwangi). Referensi
Kepustakaan
|